Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Teka-teki vaksin dan kelas menengah-atas akan jadi kunci nasib ekonomi 2021.
Pandemi jadi pelajaran pentingnya ekonomi hijau.
Inisiatif bisnis berkelanjutan berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang mengejar pertumbuhan ekonomi cepat.
UNTUK urusan vaksin Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), semua elemen gampang bersepakat. Dari ekonom, pengusaha, pemerintah, sampai bank sentral sepaham: vaksin akan menjadi pengubah permainan pada 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Urut-urutannya begini. Vaksin akan meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa virus sudah bisa dikendalikan. Masyarakat kelas menengah-atas mulai membuka pundi-pundinya untuk berbelanja. Permintaan yang meningkat akan menggerakkan pengusaha untuk menambah produksi. Mereka membutuhkan modal. Kredit bank pun keluar. Akhirnya, semua kembali berputar dengan normal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari rantai tersebut, rupanya kelas menengah-atas adalah kunci bagi Indonesia. “Kepercayaan konsumen kelas menengah-atas di Indonesia adalah komponen penting bagi dunia bisnis untuk bertahan dan melanjutkan pemulihan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Bloomberg Economy Forum, 18 November lalu.
Data komponen pertumbuhan ekonomi mendukung argumentasi Sri Mulyani. Konsumsi domestik mendominasi komposisi produk domestik bruto (PDB) nasional dengan kontribusi mencapai 58 persen. Konsumsi unggul atas investasi yang berkontribusi 32 persen dan perdagangan yang hanya menyumbang 18 persen terhadap PDB.
Lahan yang terbakar di Indralaya Utara, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, pada September 2019/ ANTARA/Nathan
Dari porsi konsumsi terhadap PDB itu, pembelanja terbesar berasal dari kelompok atas dan menengah. Sebanyak 40 persen penduduk termiskin hanya menyumbang 17,7 persen belanja. Postur konsumsi domestik inilah yang menyebabkan pandemi memukul amat kencang ekonomi kita.
Pendapatan kelompok menengah-bawah turun sehingga daya beli mereka anjlok—walaupun sudah mendapat guyuran bantuan sosial tunai dan nontunai. Sementara itu, kelompok menengah-atas menahan belanja. Indikatornya, menurut Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia, dana tabungan di perbankan meningkat. “Ini indikasi belanja yang ditahan,” ujar Faisal, pertengahan November lalu.
Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan, dana pihak ketiga di perbankan pada September 2020 berlimpah, mencapai Rp 6.651 triliun, atau tumbuh 12,88 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Di sisi lain, bank tidak bisa menyalurkan kredit. Rasio pinjaman terhadap tabungan di bulan itu pun anjlok menjadi 83,16 persen dari sebelumnya 85,11 persen pada Agustus 2020.
OJK dan para bankir yang semula masih yakin kredit bakal tumbuh 5 persen pada 2020 akhirnya merevisi optimisme tersebut menjadi 0-1 persen saja. “Pelemahan kredit terjadi karena demand dan supply yang selektif,” tutur Andry Asmoro, Kepala Ekonom Bank Mandiri, pertengahan November lalu. “Positifnya, bank sangat prudent dibandingkan dengan krisis yang lalu-lalu.”
Resesi tak terelakkan. Akhir November lalu, Sri Mulyani memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2020 bakal terjerembap ke jurang negatif, di rentang minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen. Sebelumnya, pemerintah memperkirakan pertumbuhan berada di rentang minus 1,1 persen sampai plus 0,2 persen dan minus 0,4 persen sampai plus 2,3 persen.
Atas dasar itu, pemerintah memutuskan melanjutkan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) pada 2021 dengan anggaran sebesar Rp 372,3 triliun, turun dibanding anggaran pemulihan 2020 yang mencapai Rp 695,2 triliun.
Anggaran terbesar dalam PEN 2021, yakni Rp 136,7 triliun, akan dialokasikan ke program sektoral kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Selanjutnya, anggaran perlindungan sosial akan kebagian Rp 110,2 triliun. Program dukungan usaha mikro, kecil, dan menengah akan disokong bujet Rp 48,8 triliun. Anggaran kesehatan dialokasikan Rp 25,4 triliun. Adapun untuk dukungan kepada dunia usaha berupa insentif perpajakan dan pembiayaan korporasi masing-masing tersedia dana Rp 20,4 triliun dan Rp 14,9 triliun.
Di luar PEN, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021 mengalokasikan dana jumbo untuk perlindungan sosial sebanyak Rp 421,7 triliun. Angka yang nyaris sama, sebesar Rp 413,8 triliun, disiapkan untuk belanja pembangunan infrastruktur. Akan halnya dana pembangunan pariwisata tersedia Rp 15,7 triliun. Pemerintah mengklaim semua kebutuhan belanja tersebut akan menyokong target pertumbuhan ekonomi 2021 yang dipatok 5 persen.
Namun agaknya pemerintah lupa, seluruh dunia sedang berkontemplasi. Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyebutkan pandemi virus corona merupakan peringatan kepada manusia agar berhenti melampaui batas mengeksploitasi bumi. Deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim dipercaya telah membuat pandemi lebih mungkin terjadi.
Penggundulan hutan memperbesar peluang interaksi manusia dengan hewan liar sehingga memungkinkan bagi virus zoonosis seperti SARS-CoV-2 melompat lintas spesies dan berbagi kuman. Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim juga telah memperingatkan bahwa pemanasan global mungkin akan mempercepat munculnya virus baru.
Direktur Pusat Iklim, Kesehatan, dan Lingkungan Harvard University, Amerika Serikat, Aaron Bernstein mengakui bahwa bukti langsung yang menegaskan perubahan iklim telah mempengaruhi penyebaran Covid-19 memang belum ada. Tapi Bernstein dan para pakar lain tahu, perubahan iklim mengubah cara manusia berhubungan dengan spesies lain.
Saat planet memanas, hewan-hewan berpindah, berkontak dengan hewan lain, yang biasanya tidak mereka lakukan. Ini menciptakan peluang bagi patogen untuk masuk ke inang baru. “Kita punya banyak alasan untuk menyelamatkan iklim, untuk meningkatkan kesehatan kita. Mengurangi risiko munculnya penyakit menular salah satunya,” ucap Bernstein.
Tidak hanya bertafakur, semua negara di dunia juga didorong mengambil kesempatan dari Covid-19. Pandemi telah memicu pembatasan penerbangan lokal dan internasional, menurunkan volume perdagangan, serta mengurangi mobilitas orang. Kondisi ini melahirkan penurunan emisi gas rumah kaca terbesar yang pernah terjadi. Pada akhir tahun ini, emisi gas rumah kaca diperkirakan turun 8 persen.
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menghitung, emisi gas rumah kaca global harus turun 7,6 persen setiap tahun sepanjang 2020-2030. Hal tersebut diperlukan untuk menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1,5 derajat Celsius pada akhir abad ini.
Banyak ekonom dan pegiat lingkungan mendesak semua negara agar kembali memperhatikan target-target tersebut. Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris, yang mencakup komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sampai 29 persen pada 2030. Janji penurunan emisi ini bisa melompat hingga 41 persen jika ada bantuan internasional.
Tidak ada alasan lagi. Sejumlah bantuan internasional telah mengucur, baik lewat hibah maupun pinjaman hijau.
•••
TEMPO menyiapkan laporan khusus Proyeksi Ekonomi 2021 ini ketika pandemi Covid-19 masih mengintai—bahkan kembali memburuk. Indonesia baru saja mencetak rekor terbaru pada 3 Desember 2020: angka penduduk yang terinfeksi Covid-19 mencapai 8.369. Rasio kasus positif pada penduduk yang dites pada November lalu juga menyentuh 13,55 persen, melampaui standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang hanya 5 persen.
Jika kondisi ini berlanjut, agaknya skenario kepercayaan masyarakat yang diprediksi segera pulih untuk keluar dan berbelanja bakal mundur lagi. Pelaku bisnis juga akan menimbang ulang rencana ekspansi. Bertahan atau menggeser fokus ke barang dan jasa yang masih laku di masa pandemi bisa menjadi solusi.
Namun, di tengah ketidakpastian yang masih mengintai pada 2021, sejumlah pelaku bisnis di aneka sektor usaha kini tengah memulai atau memperdalam penetrasi mereka pada ekonomi berkelanjutan. Langkah ini ditopang peluang, juga dituntut keadaan.
Bagi Adi Satria, perubahan perilaku konsumen turut mendorong Accor Group, jaringan hotel internasional, untuk mempercepat langkah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi keberlanjutan. Vice President Sales Marketing Distribution and Loyalty Accor Malaysia, Indonesia, dan Singapura ini mencontohkan, hotel jaringan Accor secara bertahap mengurangi penggunaan kertas dan mengganti semua layanan secara digital. Langkah ini sebenarnya telah lama diambil, tapi kini dipercepat seiring dengan kecenderungan pelanggan yang kian memperhatikan aspek kebersihan, kesehatan, keamanan, dan ramah lingkungan (CHSE).
Upaya menerapkan ekonomi berkelanjutan memang menuntut tambahan biaya investasi. Namun, menurut Adi, langkah ini diperlukan untuk menjaga kepercayaan pelanggan di tengah sulitnya memprediksi bisnis jangka pendek. “Ini juga komitmen kami yang tak menjadikan bisnis semata-mata untuk keuntungan,” kata Adi, Selasa, 1 Desember lalu.
Seperti halnya di perhotelan, industri pariwisata sangat bergantung pada kepercayaan turis. Kendati masuk kategori sektor yang paling terakhir bangkit, sektor ini tergolong yang paling maju menerapkan konsep usaha CHSE.
Tingginya perhatian terhadap kebutuhan ekonomi hijau juga membuka potensi pendanaan bagi pelaku usaha di sektor ini. Kabar teranyar datang dari Star Energy, operator pembangkit listrik energi panas bumi milik Barito Group, yang baru saja menerbitkan surat utang hijau global senilai US$ 1,11 miliar. Penerbitan itu kelebihan permintaan tiga setengah kali.
Star Energy membuktikan bahwa pembiayaan hijau makin ramah bagi pelaku bisnis nasional. Hal ini ditopang komitmen lembaga pembiayaan dan investor global yang mulai menghindari energi fosil.
Tapi kondisi agak berbeda bagi investor lokal. PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero), misalnya, tidak mendapat bunga yang menarik ketika menerbitkan surat utang hijau senilai Rp 500 miliar pada 2018 kepada investor domestik. Tingkat kupon surat utang itu mencapai 7,55-7,80 persen. “Belum ada insentif bagi penerbit bond dan investor,” ujar Darwin Trisna Djajawinata, Direktur Operasional dan Keuangan PT Sarana Multi Infrastruktur, Rabu, 2 Desember lalu.
Untuk mendukung pembiayaan hijau ini, Otoritas Jasa Keuangan sedang menyusun peta jalan keuangan berkelanjutan kedua, menggantikan peta jalan pertama yang kurang menggigit. “Makin jelas nanti klasifikasinya, mana saja yang bisa dibiayai oleh perbankan,” tutur Kepala Departemen Internasional OJK Rendra Zairuddin Idris pada Senin lalu, 30 November lalu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 5 Oktober lalu./TEMPO/M Taufan Rengganis
Keuangan dan iklim investasi hijau juga bakal makin bergairah tahun depan. Bursa Efek Indonesia berencana meluncurkan green index pada 14 Desember 2020. Ini adalah daftar emiten yang operasinya paling memperhatikan tata kelola perusahaan, sosial, dan lingkungan (ESG). “Ada 25 konstituen pertama yang akan masuk. Semoga bisa naik terus,” kata Kepala Divisi Pengembangan Bisnis BEI Denny Wicaksono pada Rabu, 2 Desember lalu. Yang menarik, setiap emiten tersebut bisa terlempar dari daftar bila melanggar prinsip ESG di tengah jalan.
Di industri manufaktur—sektor yang menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar dari segi penggunaan energi—gerakan ekonomi hijau juga mulai muncul. Sejumlah perusahaan global yang beroperasi di Indonesia, seperti Coca-Cola Amatil dan Unilever, mulai mengurangi penggunaan bahan bakar tak ramah lingkungan di fasilitas produksi mereka.
Awal Oktober lalu, PT Coca-Cola Amatil Indonesia meresmikan pengoperasian panel surya yang menyokong 60 persen kebutuhan listrik mereka. PT Unilever Indonesia Tbk juga menggunakan biomassa sebagai pengganti gas untuk pengeringan produk.
Di sektor otomotif, gerak produksi mobil listrik juga diyakini bakal makin kencang seiring dengan masuknya sejumlah komitmen investasi penyimpan daya. Produsen baterai kendaraan listrik asal Cina, Contemporary Amperex Technology Co Ltd, misalnya, akan berinvestasi di Indonesia senilai US$ 5,1 miliar atau sekitar Rp 71,9 triliun.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan perusahaan asal Korea Selatan, LG Chem, juga sedang melakukan negosiasi dengan PT Aneka Tambang Tbk untuk membuat baterai di Indonesia. Situasi ini memicu sejumlah pabrik tancap gas mengeluarkan produk mobil listrik. Hyundai, misalnya, telah merilis dua mobil bertenaga listrik penuh, Ioniq dan Kona.
Bisnis startup pun tak mau ketinggalan masuk ke ekosistem ekonomi hijau. Sejumlah perusahaan rintisan muncul, di antaranya Sylendra Power yang bergerak di bidang energi bersih. Sektor energi memang masih akan menjadi pasar paling nyata bagi penyedia teknologi hijau di Indonesia.
•••
KETUA Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Perkasa Roeslani menambahkan satu lagi pengubah keadaan pada 2021: Undang-Undang Cipta Kerja. “Hanya ada dua game changer di 2021: vaksin dan Undang-Undang Cipta Kerja,” ucap Rosan pada pertengahan November lalu.
Dia optimistis undang-undang sapu jagat itu akan menjadi tulang punggung peningkatan investasi dan pembukaan lapangan kerja. Investasi sejauh ini baru menyumbang 32 persen—33,17 persen pada 2019—terhadap produk domestik bruto nasional. Perdagangan ekspor-impor hanya menyumbang porsi 18 persen. Indonesia kalah jauh dibanding Vietnam, yang porsi perdagangannya terhadap PDB sudah mencapai 210,4 persen pada 2019.
Namun dua ekonom lingkungan, Andhyta Firselly Utami dan Poppy Ismalina, melihat ada inkonsistensi antara Undang-Undang Cipta Kerja dan komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris. Menurut Andhyta, beberapa negara menggunakan justifikasi pemulihan ekonomi pasca-Covid-19 untuk berinvestasi di sektor dan cara yang tidak berkelanjutan. “Persepsi publik melihat Cipta Kerja memperlemah perlindungan lingkungan,” ujar Andhyta, ekonom lingkungan dari Think Policy Society, Senin, 30 November lalu.
Poppy sependapat. Dia melihat Undang-Undang Cipta Kerja merupakan ancaman bagi lingkungan hidup dan konservasi hutan di Indonesia. Paradigma dalam undang-undang tersebut, tutur Poppy, adalah pertumbuhan ekonomi. “Ekonomi sebagai panglima itu paradigma usang, bertolak belakang dengan pembangunan berkelanjutan,” kata ekonom lingkungan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada ini.
Septian Hario Seto menampik jika Undang-Undang Cipta Kerja dianggap tidak peduli terhadap lingkungan. Seto mencontohkan perubahan perizinan lingkungan bagi dunia usaha dalam wet itu. Menurut Seto, pemerintah menggeser perizinan menggunakan analisis risiko. Makin kecil risiko terhadap lingkungan, Seto menjelaskan, izin lingkungan makin tidak dibutuhkan. Sebaliknya, bila risiko terhadap lingkungan tinggi, perusahaan tetap wajib mengantongi izin lingkungan. “Izin lingkungan itu bahkan menempel ke izin usaha.”
Untuk urusan investasi hijau, Seto mengakui pemerintah belum mampu mengikuti cara negara-negara maju di Eropa yang memaksa dunia usaha bergerak ke arah pembangunan berkelanjutan. “Negara-negara maju sudah melalui perekonomian yang menghasilkan karbon tinggi sejak 30-40 tahun lalu,” ucapnya. “Kami bisa sekali mencapai Perjanjian Paris, tapi jangan dipaksa harus mengikuti cara mereka.”
Salah satu cara yang sedang disiapkan pemerintah adalah menyiapkan sumber daya alam yang bisa menghasilkan kredit karbon, seperti hutan tropis, gambut, bakau, dan koral. “Kalau kita bisa menjaganya, itu sudah signifikan dalam hal pengurangan karbon,” ujar Seto.
Sejumlah investasi luar negeri yang bakal masuk, Seto melanjutkan, juga sudah mulai berwawasan lingkungan. Salah satunya investasi pengolahan baja dari Fortescue Metals Group (FMG), Australia. “Andrew Forrest (CEO FMG) ingin energinya menggunakan pembangkit listrik tenaga air,” tutur Seto.
Debat pertumbuhan ekonomi versus perlindungan lingkungan sudah berlangsung panjang. Covid-19 semestinya menjadi penutup dengan bukti bahwa mengabaikan lingkungan demi pembangunan bisa membawa kehancuran lebih parah bagi perekonomian.
Penanggung jawab: Agoeng Wijaya
Kepala proyek: Aisha Shaidra
Penulis: Aisha Shaidra, Dini Pramita, Khairul Anam, Nur Alfiyah, Raymundus Rikang, Retno Sulistyowati
Penyunting: Agoeng Wijaya, Anton Septian, Bagja Hidayat, Sapto Yunus, Stefanus Teguh Pramono
Penyumbang bahan: Made Argawa (Bali), Murthadho (Bogor), Servio Maranda (Bangka Belitung)
Periset foto: Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama Ningsih
Penyunting bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian
Desainer: Rudy Asrori, Junianto Prasongko
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo