Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Optimisme mekar menatap ekonomi 2022.
Potensi guncangan lebih besar di negara-negara berkembang.
Ekonomi Indonesia amat rentan terhadap pembalikan dana asing.
MEMASUKI tahun baru, ada berbagai risiko yang dapat membawa sentimen negatif bagi ekonomi Indonesia. Sebagian risiko itu sudah diantisipasi dan masuk perhitungan harga, Tapi pasar tak akan pernah bebas dari kejutan, apalagi dalam situasi bergejolak yang tampaknya akan mendominasi 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Risiko paling besar tapi juga sudah lama masuk perhitungan adalah kebijakan The Federal Reserve. Suntikan likuiditas dari The Fed, yang selama ini menjadi darah penggerak pasar finansial global, akan berhenti mulai Maret 2022. Dan, setelahnya, The Fed akan melanjutkan kebijakan kontraksi moneter dengan menaikkan bunga hingga tiga kali sampai akhir 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantaran pasar sudah cukup lama mengantisipasi kebijakan ini, tak ada kepanikan yang terjadi. Kondisi likuiditas masih membanjir setelah The Fed mencetak dolar besar-besaran dalam dua tahun terakhir. Banjir likuiditas itu masih cukup kuat menggerakkan pasar. Itu sebabnya harga saham di New York tidak runtuh ketika The Fed mengumumkan kebijakan barunya. Imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat berjangka panjang juga stabil. Semuanya mencerminkan pasar finansial yang tenang-tenang saja.
Proyeksi 2022 dari para pemain besar bahkan menunjukkan optimisme yang sama sekali tak terpengaruh perubahan kebijakan moneter The Fed. JP Morgan, salah satu bank investasi terkemuka di dunia, berani memprediksi 2022 sebagai tahun pemulihan global. Pasar akan kembali ke masa normal sebelum pandemi. Harga saham di New York akan naik delapan persen, yang tecermin pada kenaikan indeks S&P 500 hingga 5.050.
Namun, bagi negara-negara berkembang, terutama Indonesia, situasinya bisa sangat berbeda. Pengalaman 2013 menunjukkan, ketika The Fed mengurangi suntikan likuiditas dan menaikkan bunga, gelombang relokasi dana investasi yang terjadi bisa memukul pasar finansial negara berkembang.
Gelombang realokasi dana investasi itu pun sekarang sudah terjadi, meskipun tidak drastis. Dana asing yang tertanam di dalam negeri dalam bentuk obligasi pemerintah RI pelan-pelan mengalir keluar. Tren ini tetap harus menjadi perhatian investor. Jika kaburnya dana ini mengalir lebih kencang mendekati Maret nanti, saat The Fed benar-benar menghentikan suntikan likuiditasnya, pasar finansial Indonesia bisa menghadapi masalah besar.
Keluarnya dana asing dari obligasi pemerintah RI akan menekan kurs rupiah. Begini urutannya: setelah menjual obligasi pemerintah RI, investor asing tentu akan mengonversi rupiah hasil penjualan obligasi itu menjadi dolar atau mata uang asing lain untuk mereka bawa pulang. Pembelian valuta asing dalam jumlah besar akan otomatis menaikkan harganya. Kurs rupiah pun tertekan turun. Sekadar catatan, sejak akhir Agustus 2020 hingga 16 Desember 2021, sudah ada Rp 85 triliun dana asing yang pelan-pelan merembes keluar.
Ketika selera investor asing kian menurun pada obligasi pemerintah RI, tahun depan pemerintah justru akan tetap kencang menjual obligasi, senilai Rp 991,3 triliun. Pemerintah belum mempunyai kemauan politik yang cukup kuat untuk mengurangi belanja agar dapat memangkas defisit dan mengurangi utang dari penjualan obligasi.
Itu sebabnya pemerintah kembali harus mengandalkan sokongan Bank Indonesia. Rencananya, selama 2022, BI akan membeli obligasi pemerintah senilai Rp 224 triliun. Pemerintah menyebut kebijakan ini sebagai berbagi beban. Sedangkan pasar menganggapnya sebagai monetisasi utang, bank sentral mencetak duit untuk secara langsung membiayai defisit anggaran pemerintah. Kebijakan tak populer ini dapat menggerus kredibilitas Indonesia—salah satu sebab mengapa pelan-pelan makin banyak dana asing keluar dari obligasi pemerintah RI.
Semestinya mekanisme berbagi beban antara BI dan pemerintah hanya berlangsung selama 2020. Namun utang memang membuat kecanduan. Sedangkan BI menuruti saja permintaan berbagi beban. Walhasil, kebijakan ini terus berlanjut hingga tahun depan.
Pada 2022, situasi finansial global bakal amat berbeda dari saat ini. Tentu reaksi pasar terhadap kebijakan monetisasi utang yang mulai kebablasan ini bakal berbeda pula.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo