Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peternak ayam petelur.mandiri terpaksa menempuh jual rugi.
Harga telur ayam jeblok sejak awal tahun, tak sebanding harga pakan.
Ketika banyak ayam tak lagi banyak rezeki.
DI beranda rumahnya di Dusun Jogonandan, Desa Triwidadi, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumi Lestari tetap menelateni ritual pembersihan telur ayam, tanpa tahu kapan telur-telur itu akan laku. Telur yang mengisi lima timba itu ia gosok supaya bersih dari tinja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telur itu masih hangat. Jumi baru mengambilnya dari kandang di belakang rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada hari itu, ratusan telur lain yang sudah bersih tertata di peti kayu. Ditunggu seharian, pengepul tak kunjung datang mengambilnya dari rumah Jumi. Biasanya merekalah yang mengedarkan telur ayam Jumi ke warung dan pasar di Yogyakarta. “Kami tombok. Tidak bisa balik modal,” kata Jumi ketika ditemui di Pajangan, Jumat, 22 Oktober lalu.
Sudah berbulan-bulan Jumi merugi. Harga telur terjungkal dan belum bisa bangkit lagi. Subiyanto, suami Jumi, menghitung, mereka rugi Rp 9.000 per 5 kilogram telur.
Sepekan lalu, harga telur dari peternak di sekitar mereka memang sempat naik sedikit menjadi Rp 15.600 per kilogram, setelah pekan sebelumnya cuma Rp 14.200 per kilogram. Tapi perbaikan itu tidak berarti banyak bagi Jumi dan sekitar 50 peternak ayam petelur lain di Dusun Jogonandan, atau ratusan peternak lain di Desa Triwidadi, yang menjadi sentra penghasil telur ayam sejak 1980-an. Sebab, biaya pokok produksi mereka sudah menyentuh Rp 21 ribu per kilogram, imbas kenaikan harga pakan ayam, terutama jagung.
Peternak mandiri seperti Jumi harus membeli pakan jadi. Jika hendak mengolah pakan sendiri, mereka harus merogoh kantong lebih dalam karena harga jagung sebagai komponen utama pakan ayam tak kalah tinggi. Harga konsentrat campuran jagung, misalnya, telah naik dari Rp 4.000 menjadi Rp 7.000 per kilogram. Kenaikan ini berlangsung sejak enam bulan lalu.
Kini yang bisa dilakukan Jumi dan 50 peternak ayam petelur lain di Jogonandan hanyalah bertahan sambil berdoa supaya tidak bangkrut dan tak terjerat utang segunung. Sembari mengharapkan uluran tangan pemerintah, Jumi menjual rugi telurnya ke warung di sekitar rumah. “Ketimbang busuk,” tuturnya. Telur ayam hanya bisa bertahan tiga-empat hari jika tidak ditaruh di dalam kulkas.
Leopold Halim alias Atung, pemilik Atung Farm, juga menjual rugi telurnya. Di peternakannya yang seluas 10 hektare di Kampung Cakung, Desa Babat, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, Banten, Atung melayani segala pembeli. “Yang penting telur bisa keluar,” ujarnya, Jumat, 22 Oktober lalu.
Siang itu, puluhan masyarakat sekitar Babat antre di depan jendela gudang sortir telur yang difungsikan sebagai kios telur eceran. Novitasari, 32 tahun, datang bersama adik dan loyang penanak nasi elektronik untuk membeli 5 kilogram telur. Sang adik difungsikan sebagai pembawa telur, sementara loyang menjadi wadahnya.
Warga Desa Cirarab, 2 kilometer dari peternakan Atung, itu mengincar dua jenis telur. Pertama, telur retak kecil dengan harga Rp 13.500 per kilogram. Kedua, telur yang sebagian cangkangnya bolong seharga Rp 12.500 per kilogram. Bagi Novitasari, yang biasa membuat kue bolu untuk dijual kembali, harga tersebut jauh lebih murah ketimbang harga telur utuh—tidak retak, apalagi pecah—di pasar yang mencapai Rp 18 ribu per kilogram. “Apalagi di warung Batak, grosiran apa sih namanya itu, bisa kena Rp 20-21 ribu per kilogram,” katanya.
Sama dengan di Yogyakarta, harga telur di tingkat peternak Tangerang masih Rp 15 ribu per kilogram. Harga itu tak beranjak sejak Januari 2021. Atung mulanya berharap ada berkah dari bulan Maulid alias Rabiulawal dalam kalender Hijriah—1 Oktober-1 November 2021 dalam kalender Masehi. Biasanya, di masa ini banyak permintaan telur untuk hajatan umat Islam. “Tapi tetap enggak nolong,” ucap Atung.
Permintaan telur dari konsumen masih jeblok. Sebelum pandemi Covid-19 terjadi, Atung biasanya sanggup melepas 4 ton telur per hari. Kini pengusaha yang membuka peternakan ayam petelur di Tangerang sejak 1978 itu hanya sanggup melepas 3 ton. Itu pun ia jual rugi, Rp 15 ribu per kilogram harga jual berbanding Rp 21 ribu per kilogram harga pokok produksi.
Atung mengaku sudah menempuh berbagai cara untuk bertahan. Dia telah mengafkir 35 ribu ayam sejak Januari 2021. Caranya: menjual murah ayam kepada pedagang soto dan sop serta pengelola restoran olahan ayam lain. Satu ayam petelur ia jual Rp 17-18 ribu.
Beberapa kandang terbuka di peternakan Atung memang tampak kosong. Sebagian terisi separuh. Setiap kandang itu biasanya berisi 3.000-3.500 ayam.
Solusi lain, melepas ayam afkir ke pabrik daging unggas—untuk dijadikan ayam beku serta bahan makanan anjing, kucing, dan ikan atau diolah menjadi makanan dalam kemasan seperti abon ayam—juga Atung jajaki. “Enggak ada yang menyerap. Harganya sudah mahal,” ujarnya. “Komponen pembentuk harga pakan ternak ayam kita mahal. Mungkin termahal di dunia.”
Sisa ayam petelur milik Atung masih sekitar 80 ribu. Setiap 1.000 ayam bisa menghasilkan 40 kilogram telur per hari. Kini Atung bingung, bagaimana mengurangi ayam-ayamnya yang tak pernah kenyang itu tanpa harus menambah kerugian. Dengan harga telur Rp 15 ribu per kilogram tapi biaya produksi Rp 21 ribu per kilogram, ribuan unggas itu tidak lagi menjadi alat produksi, melainkan beban.
Atung kini rajin menonton video di YouTube dan mengikuti seminar. Dia sedang belajar sekaligus “mengompori” peternak lain untuk melakukan ranggas paksa atau forced molting terhadap ayam. Strategi ini sebetulnya lazim dilakoni peternak untuk sementara mengurangi produksi telur agar kuantitas dan siklus produksi meningkat setelahnya. Tapi kali ini Atung punya tujuan lain. “Benar-benar untuk menghentikan produksi telur agar suplai di pasar berkurang,” tuturnya.
Ranggas paksa melibatkan manipulasi pakan, minum, dan cahaya serta pemberian zat kimia tertentu. Targetnya: merontokkan bulu ayam secara serempak supaya mereka berhenti bertelur. “Ini seperti memaksa ayam berpuasa, 40 hari saja,” kata Atung. “Dalam waktu sepekan, stok telur yang berlebih pasti terserap pasar.”
Atung menjamin, jika semua peternak kompak memaksa ayam mereka berpuasa, suplai telur di pasar bakal normal kembali. Ujungnya, cara itu bakal memperbaiki harga di tengah permintaan yang turun selama masa pandemi Covid-19.
Itulah langkah jangka pendek yang menurut Atung layak dicoba. Sebab, peternak ayam mandiri seperti dia dan Jumi Lestari bukanlah peternak kelas industri terintegrasi yang bisa kapan saja menghentikan produksi. Ayam bukanlah mesin. “Industri bisa stop produksi dengan mematikan mesin. Pantat ayam mana bisa disetop?” ujar Atung.
Sambil mengilik-ngilik peternak lain, Atung masih mengharapkan uluran tangan pemerintah. Lewat Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia, dia meminta pemerintah memaksa industri retail modern membeli telur peternak minimal sesuai dengan harga acuan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen yang sebesar Rp 19-21 ribu per kilogram. “Saya jamin harga itu masih masuk di konsumen,” ucap Atung. “Itu peternak masih rugi, tapi tidak banyak.”
Paksaan pemerintah itu, menurut Atung, menjadi seperti insentif buat peternak mandiri di tengah pandemi. Jika dibandingkan dengan beragam stimulus untuk korporasi, misalnya pembebasan pajak, insentif yang diharapkan peternak ini jelas tak ada apa-apanya.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo