Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Di Banten sedang ramai sidang korupsi hibah untuk lebih dari 3.000 pondok pesantren.
Kerugian negara mencapai Rp 70,89 miliar.
Apa peran Gubernur Banten Wahidn Halim dalam penyaluran hibah ini?
KETUA majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Serang Slamet Widodo mencecar mantan Kepala Biro Administrasi Pembangunan Provinsi Banten, Mahdani, dalam sidang pada Senin, 18 Oktober lalu. Hari itu Slamet memimpin sidang kasus korupsi hibah Pemerintah Provinsi Banten kepada lebih dari 3.000 pondok pesantren pada 2018 dan 2020 yang diduga merugikan negara hingga Rp 70,89 miliar.
Hakim Slamet mendapatkan ketidaksesuaian antara usul dan realisasi penyaluran hibah pada dua tahun tersebut. “Apakah realisasi anggaran hibah pada tahun itu terjadi permasalahan?” ujar Slamet.
Mahdani mengklaim tidak ada masalah dalam penyaluran hibah itu. Namun, ia mengakui, ada perbedaan nama antara nama penerima yang diusulkan dan realisasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur Banten Wahidin Halim/https://dpmptsp.bantenprov.go.id
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokumen lampiran hibah mencantumkan Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2018. Peraturan ini menyebutkan penerima hibah itu adalah Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) Banten. Sedangkan di dokumen pelaksanaan anggaran belanja tidak langsung (DPA BTL), penerima hibah tertulis nama-nama pondok pesantren.
Ketidaksesuaian ini menjadi temuan Kejaksaan Tinggi Banten. “Di dalam lampiran, data penerima sesuai dengan rekomendasi Biro Kesejahteraan Rakyat,” ujar Mahdani. “Pencairannya tetap ke FSPP.” Mahdani kini menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Banten.
Mendapati pengakuan atas kekeliruan data hibah itu, hakim Slamet kembali melontarkan pertanyaan apakah pencairan dana dilakukan atas perintah khusus dari Gubernur Banten Wahidin Halim. “Tidak ada,” ujarnya. “Karena mekanisme penyaluran hibah sudah sesuai prosedur.”
Pada hari itu, Mahdani menjadi saksi bagi lima terdakwa korupsi hibah bantuan pondok pesantren. Mereka adalah mantan Kepala Biro Kesejahteraan, Irvan Santoso; Kepala Bagian Sosial dan Agama Biro Kesra Toton Suriawinata; tenaga harian lepas Pemerintah Provinsi Banten, Agus Gunawan; pemimpin pondok pesantren Nurul Hikmah, Tb. Asep Subhi bin Ahmad Baidowi; dan pemimpin pondok pesantren lain, Epieh Saipudin.
Nota dinas hibah pondok pesantren guna mewujudkan visi akhlakul karimah oleh Gubernur Banten/Tempo/Istimewa
Irvan dan Toton didakwa bertanggung jawab atas penyaluran hibah karena permohonan dan pencairannya tak melewati tahap evaluasi dan verifikasi. Akibatnya, pencairan hibah pada 2018 dan 2020 merugikan keuangan negara. Adapun Agus dan Asep didakwa menerima keuntungan Rp 104 juta. Bagi Epieh, jaksa mendakwa dia menerima keuntungan Rp 120 juta karena menyunat bantuan itu. Semua terdakwa ditahan di Rumah Tahanan Pandeglang, Banten.
Irvan mengikuti persidangan secara daring. Ia membantah kesaksian Mahdani. Irvan menuding Mahdani sebagai kepanjangan tangan Wahidin untuk mengegolkan hibah kepada FSPP dan pondok pesantren. Ia mengatakan pernah ditemui Mahdani untuk membahas dana hibah ini pada 18 Oktober 2017. “Saudara saksi ini kan kepanjangan tangan gubernur waktu itu,” tutur Irvan sewaktu hakim Slamet memberinya kesempatan berbicara. “Pesan-pesan Gubernur disampaikan ke Biro Kesra oleh saudara saksi dengan menakut-nakuti bahwa ini pesan dari Gubernur.”
Mahdani menolak dicap sebagai kepanjangan tangan Wahidin. “Enggak, kita semua pegawai,” ujarnya. Ia juga membantah jika dikatakan pernah memanggil Irvan untuk menyampaikan pesan mengenai nota dinas yang tak sesuai dengan format Peraturan Gubernur Banten. Irvan Santoso menganggap nota dinas Nomor 978/395-Kesra/V/2019 yang ia buat untuk Sekretaris Daerah bukan rekomendasi sehingga tak bisa dijadikan pijakan dalam pencairan bantuan ke pensatren oleh bendahara daerah.
Juru bicara Gubernur Banten Wahidin Halim, Ujang Giri, mengatakan tudingan terhadap Wahidin tidak berdasar. Menurut dia, Gubernur memerintahkan bawahannya agar mengelola program dengan benar agar masyarakat merasakan manfaatnya. “Jangan dikorupsi, itu perintah Gubernur dalam setiap rapat dengan organisasi perangkat daerah,” katanya.
•••
KISRUH hibah pondok pesantren Banten bermula empat tahun lalu. Waktu itu, akhir Mei 2017, sejumlah pengurus Forum Solidaritas Pondok Pesantren (FSPP) Banten beranjangsana ke ruang kerja Gubernur Wahidin Halim.
Wahidin dilantik menjadi Gubernur Banten pada 12 Mei 2017 setelah mengalahkan gubernur petahana Rano Karno. Sekretaris Jenderal FSPP Fadullah mengatakan pertemuan itu mendiskusikan pembangunan berkonsep akhlakul karimah sesuai dengan visi-misi Wahidin saat berkampanye dalam pemilihan kepala daerah.
Fadullah mengatakan visi-misi Wahidin segaris dengan program FSPP. Ia mengklaim ada 4.000 pesantren yang berhimpun di bawah FSPP yang siap mendukung program Wahidin dalam memimpin Banten. “Karena itu, Pak Gubernur sangat mengapresiasi program FSPP dan sebaliknya. Jadi enggak ada penunjukan. Ini ketemu lewat program,” tutur Fadullah.
Nota dinas hibah pondok pesantren guna mewujudkan visi akhlakul karimah oleh Gubernur Banten/Tempo/Istimewa
Kepada Wahidin, Fadullah mengeluhkan rekomendasi Biro Kesejahteraan Rakyat yang hanya mengalokasikan hibah senilai Rp 6,6 miliar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Banten (APBD) 2018. Padahal FSPP ingin mendapat hibah Rp 27,76 miliar
Seusai pertemuan dengan Gubernur Wahidin, FSPP mengajukan proposal baru dengan nilai Rp 71,74 miliar. Namanya hibah Program Pemberdayaan Pondok Pesantren. Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Irvan Santoso menerima proposal baru ini pada pertengahan September 2017.
Heran atas nilai dana dalam proposal baru yang melonjak itu, Irvan bertanya kepada Ketua Presidium dan Sekretaris Jenderal FSPP. Menurut Alloy Ferdinand, pengacara Irvan, kedua pengurus FSPP itu kompak mengatakan proposal revisi merupakan hasil pertemuan dengan Gubernur Wahidin Halim. “Gubernur meminta FSPP mengajukan proposal hibah untuk seluruh pesantren di Banten,” kata Alloy.
Berbekal informasi itu, Irvan pun menghadap Wahidin untuk meminta konfirmasi. Kepada Irvan, Wahidin membenarkan perihal audiensi dengan FSPP. Gubernur Wahidin, ucap Alloy dengan mengutip Irvan, bahkan berkomitmen akan memberikan hibah kepada pesantren setiap tahun dengan nilai yang naik dalam setiap penyaluran. Wahidin, ujar Alloy, memerintahkan Irvan mengakomodasi keinginan itu.
Irvan mematuhi perintah itu dengan membentuk Tim Evaluasi Permohonan Hibah Biro Kesra. Dari hasil evaluasi, Biro Kesra menerbitkan rekomendasi FSPP bakal menerima hibah Rp 68,16 miliar. Atas perintah Wahidin pula, Alloy menambahkan, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) membahasnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Soalnya, tenggat pengajuan usul hibah sudah lewat. Seharusnya, pengajuan hibah maksimal adalah Mei untuk tahun berikutnya dan Juli untuk dibahas dalam APBD Perubahan. Keterlambatan itu membuat proposal FSPP tak bisa diakomodasi dalam APBD 2018. Pemerintah mengajukan dana dengan diambil dari penyertaan modal Bank Banten. Setelah pembahasan yang alot, DPRD setuju memakai anggaran itu.
Ujang Giri/facebook.com/ Ujang Giri
Dalam perjalanannya, Sekretaris Daerah Provinsi Banten selaku Ketua TAPD mengeluarkan nota dinas berisi Daftar Calon Penerima Hibah Uang 2018. FSPP disebutkan di sana. Dananya mengecil menjadi Rp 66,28 miliar untuk 3.122 pondok pesantren. FSPP sebagai organisasi akan menerima bantuan kegiatan operasional sebesar Rp 3,84 miliar.
Hibah itu cair pada 29 Maret 2018. Menurut Alloy, Gubernur Wahidin Halim memerintahkan hibah ini dicairkan menjelang Lebaran. “Uangnya akan dipakai membeli sarung,” ucap Alloy. Karena waktu yang mepet, Biro Kesra tak sempat memverifikasi satu per satu pondok pesantren yang diajukan FSPP menerima bantuan Rp 20 juta itu.
Untuk mempermudah hibah tahun berikutnya, Irvan meminta FSPP memakai dana operasional untuk membuat Sistem Informasi Pondok Pesantren (SIPP). Jika terbangun, sistem ini bisa merapikan data pesantren penerima bantuan. Biro Kesra menggelar sejumlah pelatihan kepada tenaga pengisi SIPP sebanyak 171 orang.
Dari pemutakhiran data terlihat jumlah pesantren yang terdaftar sebanyak 3.197. Namun sebagian pesantren belum memiliki izin operasional dari Kementerian Agama. Saat anggaran hendak dicairkan, jumlah pondok pesantren menyusut menjadi tinggal 3.079 karena beberapa pesantren mengundurkan diri akibat tak bisa memenuhi persyaratan. Jadi total hibah yang tersalurkan senilai Rp 61,58 miliar.
Pencairan tak berjalan mulus karena 563 pesantren tak menyampaikan laporan penggunaan hibah. Biro Kesra meminta FSPP membereskan soal laporan ini. Sanksinya, Biro Kesra meminta FSPP atau pondok pesantren mengembalikan hibah yang sudah mereka terima ke kas daerah pemerintah Banten.
Laporan itu akhirnya benar-benar tak tuntas. Anehnya, alih-alih mengembalikan hibah 2018, FSPP mengajukan proposal baru untuk anggaran 2020 pada Mei 2019. Kali ini jumlah pesantren penerima hibah bertambah menjadi 3.926 pesantren dengan nilai bantuan masing-masing pesantren naik menjadi Rp 50 juta.
Lagi-lagi Biro Kesra tetap memproses proposal itu karena menjadi program tahunan Gubernur Wahidin Halim. Biro Kesra mengusulkan hibah 2020 memakai anggaran Dinas Perumahan dan Pemukiman. Alasannya, hibah akan dipakai untuk pembangunan sarana dan prasarana pesantren.
Ketika akan mencairkan dana, Irvan Santoso kembali berkerut kening. Proposal FSPP diajukan secara manual. Padahal, berdasarkan syarat dalam Peraturan Gubernur Banten Nomor 10 Tahun 2019, permohonan hibah harus diajukan melalui situs web Pemerintah Provinsi Banten atau aplikasi online Ehibahbansos.bantenprov.go.id.
Gubernur Wahidin Halim pun menggelar rapat di rumah dinasnya pada awal September 2019. Dalam rapat itu, ia kembali menegur Irvan karena tak kunjung menyerahkan rekomendasi penerima hibah 2020. Saat itu, Wahidin memerintahkan Biro Kesra dan TAPD memproses hibah pondok pesantren sesuai dengan peran dan kewenangan masing-masing.
Sekretaris Jenderal FSPP Fadullah mengatakan organisasinya sudah berupaya mengikuti aturan dan memverifikasi pondok pesantren. Penunjukan FSPP sebagai pengepul dana hibah pondok pesantren di Banten, dia menjelaskan, dilakukan atas dasar kepercayaan pemerintah kepada FSPP. “Soal uang operasional itu adalah hak politik pemerintah,” ujar Fadullah.
Terdesak oleh perintah Gubernur, Irvan Santoso menetapkan calon penerima hibah 2020 sebanyak 3.626 pesantren berdasarkan data FSPP dengan nilai bantuan masing-masing menyusut tinggal Rp 35 juta. Totalnya mencapai Rp 126,9 miliar.
"Jika ada pihak yang menuding gubernur soal hibah pesantren, itu tidak mendasar dan lebih menjurus ke fitnah."
Juru bicara Gubernur Banten Wahidin Halim, Ujang Giri
Masalahnya, Biro Administrasi Pembangunan yang dipimpin Mahdani ketika itu menginformasikan Rancangan Kebijakan Umum APBD dan rancangan pembahasan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) telah mencantumkan bantuan pondok pesantren penerima hibah sebanyak 3.926. Jadi total dana hibah seharusnya Rp 137,4 miliar.
Akibat hibah acap kisruh, Wahidin mencopot Irvan sebagai Kepala Biro Kesra pada akhir 2019. Ia lalu menunjuk Toton Suriawiatna—belakangan juga menjadi terdakwa. Dalam proses pencairan dana hibah selama dua tahun itu, Wahidin empat kali mengganti Kepala Biro Kesra. “Klien kami dianggap menghambat program ini karena dicap sebagai orangnya gubernur lama,” ucap Alloy, merujuk pada Gubernur Rano Karno.
Juru bicara Wahidin Halim, Ujang Giri, mengatakan Irvan dipecat sebelum menjadi tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Banten. Menurut dia, justru Gubernur Wahidin ikut melaporkan dan mendorong kejaksaan mengusut kasus ini. “Korupsi ini terjadi di level implementasi sehingga merugikan pengurus pondok pesantren,” ujar Ujang.
Namun jaksa penuntut umum korupsi hibah pondok pesantren, Muhammad Yusuf Putra, mengatakan penyidikan kasus ini bermula dari laporan Aliansi Lembaga Independen Peduli Publik. “Pelapornya bukan Gubernur,” katanya.
Dengan peran Gubernur yang jelas dan menonjol dalam penyaluran hibah itu, Yusuf menjelaskan, penyidik merasa cukup dengan hasil pemeriksaan lima terdakwa untuk mengajukan kasus ini ke pengadilan. “Memeriksa Gubernur birokrasinya lama,” tuturnya. “Jadi yang ada saja dulu dinaikkan.”
Ujang Giri menyebutkan penyaluran hibah pesantren ini sudah sesuai dengan peraturan yang dibuat Gubernur Wahidin. “Hibah ini sudah melewati tahap-tahap kebijakan antara eksekutif dengan legislatif, juga mengacu ke aturan Kementerian Dalam Negeri,” ujarnya.
Selain tak menyentuh Gubernur, Yusuf mengakui lembaganya kesulitan menjerat pengurus FSPP karena anggota Presidium FSPP, KH Matin Jawahir, sudah meninggal. Padahal, menurut dia, permohonan hibah pesantren ini salah kaprah karena FSPP bukan lembaga yang berhak menerima bantuan pemerintah. “Masih kami cari siapa yang bertanggung jawab,” ucapnya.
Cecaran hakim Slamet Widodo dalam sidang Senin, 18 Oktober lalu, agaknya akan dipakai jaksa sebagai pintu masuk mencari peran para penanggung jawab hibah pesantren yang kacau balau ini. Jaksa Yusuf berjanji melihat peran Gubernur dalam hibah pesantren ini karena ia pejabat sentral dalam menentukan alokasi APBD.
MUHAMMAD IQBAL (SERANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo