Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UTANG memang melenakan dan dapat menimbulkan efek ketagihan. Bukan cuma individu atau korporasi, pemerintah pun bisa terbuai utang. Demikian pula halnya dengan pemerintah Indonesia saat ini. Asumsi anggaran tahun depan menunjukkan pemerintah masih terbelit ketergantungan pada utang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Biang keladinya adalah anggaran yang lebih besar pasak daripada tiang karena pandemi Covid-19. Dua tahun berturut-turut, 2020 dan 2021, pemerintah memanggul defisit anggaran masing-masing lebih dari Rp 1.000 triliun. Tahun depan, beban defisit diproyeksikan memang mulai menurun ketimbang tahun ini. Tapi jumlahnya masih sangat besar. Pemerintah mengasumsikan defisit anggaran 2022 antara Rp 808,2 triliun dan Rp 879,9 triliun. Untuk membiayainya, pemerintah mau tak mau harus berutang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Utang baru tahun depan, dalam skala cukup besar, menunjukkan bahwa pemerintah masih ingin berbelanja dengan royal demi pemulihan ekonomi. Meski penerimaan negara belum cukup untuk menutup semua pengeluaran itu, pemerintah tetap merasa perlu melanjutkan peran sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Caranya: memberikan sederet insentif dan bantuan sosial ataupun berbagai belanja lain agar ekonomi bergerak lebih cepat. Alasan itu sahih. Pemerintah tak punya pilihan selain membuat anggaran dengan defisit amat besar.
Namun, di pasar finansial, investor tentu mulai melihat kebijakan itu dengan perspektif berbeda. Pertanyaan kunci di sini adalah bagaimana pemerintah akan dapat keluar dari jurang ketergantungan pada utang? Pertanyaan ini penting dijawab. Sebab, jangkar utama kebijakan ekonomi Indonesia yang membuat investor asing tetap percaya membeli obligasi negara adalah disiplin fiskal yang dijalankan dengan ketat.
Sebelum pandemi meledak, Undang-Undang Keuangan Negara tegas membatasi rasio defisit anggaran negara terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio tidak boleh melampaui 3 persen. Ketika pagebluk menggebuk, pemerintah membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk langkah-langkah penanggulangan Covid-19 yang kemudian disahkan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
Perubahan peraturan ini memberikan kelonggaran kepada pemerintah untuk mengendurkan disiplin fiskal. Rasio defisit terhadap PDB boleh melampaui 3 persen. Tapi ada batas waktunya. Kelonggaran itu hanya berlaku hingga akhir 2022. Jadi rasio defisit anggaran terhadap PDB pada 2023 harus kembali ke angka 3 persen.
Jika asumsi defisit 2022 masih setinggi Rp 879,9 triliun, berarti rasionya terhadap PDB akan mencapai 4,85 persen. Upaya menurunkan rasio ini, dari 4,85 persen ke 3 persen pada 2023, akan menjadi tantangan amat berat bagi pemerintah. Agar lubang defisit tidak melampaui batas, pemerintah harus mampu menaikkan penerimaan, terutama dari perpajakan. Pilihan lain, yang juga bisa berjalan bersamaan, adalah pemerintah harus menahan diri mengurangi pengeluaran.
Tidak mudah bagi pemerintah menaikkan penerimaan pajak. Rekam jejak menunjukkan kemampuan memungut pajak birokrasi negeri ini justru menurun dari tahun ke tahun. Salah satu indikatornya adalah rasio penerimaan pajak terhadap PDB, yang pada 2020 bahkan tinggal 8,3 persen karena dampak Covid-19.
Hantaman pagebluk pun sama sekali tak bisa menjadi alasan pembenar. Penurunan rasio penerimaan pajak bahkan sudah berlangsung bertahun-tahun dan mulai merosot di bawah 10 persen sejak 2017. Jika rasio ini yang menjadi ukuran, menurut data Bank Dunia per 2019, kemampuan birokrasi Indonesia menarik pajak bahkan lebih rendah ketimbang Afganistan, yang masih tercabik-cabik peperangan.
Skandal main mata petugas pajak yang baru terungkap bulan lalu kian menebalkan keraguan investor terhadap kemampuan Indonesia keluar dari jurang defisit dengan cara menaikkan penerimaan pajak. Jika aparat pajak masih tega bermain curang dalam situasi krisis yang amat dalam ini, bagaimana mungkin pemerintah meminta rakyat membayar pajak lebih besar?
Sepertinya, satu-satunya jalan keluar adalah pemerintah menyisir kembali belanja negara dan memangkas pengeluaran yang tak mendesak. Itu pun harus lebih agresif dijalankan tahun depan, bukan menunggu hingga tenggat 2023 tiba.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo