Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Masih Bergaya Sinterklas?

Diperkirakan akan muncul ribuan lembaga keuangan mikro (LKM) untuk menyalurkan kredit bagi si kecil. Bila niatnya ingin memperkuat UKM dan meningkatkan citra koperasi, manajemen penyaluran kredit itu harus rapi dan selektif.

7 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REZEKI nomplok Rp 50 juta, apa iya? Pertanyaan ini muncul setelah terbetik berita tentang rencana Kementerian Koperasi, yang kini tengah giat mengembangkan pembentukan lembaga keuangan mikro—disingkat LKM. Dalam rangka itu, pihak kementerian akan menyalurkan Rp 50 juta untuk para anggota LKM tersebut. Syarat-syaratnya lumayan berat, tapi celah-celah untuk penyimpangan konon masih ada saja. Belum apa-apa, kekhawatiran dan sinisme sudah merebak, apalagi manajemen penyaluran Rp 50 juta itu terkesan tak cukup rapi, dan sanksi bila dana itu tak kembali tak pula ada. Akibatnya, timbul kesan bahwa Kementerian Koperasi lebih berperan sebagai sinterklas ketimbang instansi yang benar-benar serius memberdayakan usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia. Pada dasarnya, tujuan program itu mulia: menyalurkan kredit untuk perorangan dan usaha kecil. Agar lebih terjamin secara hukum, Menteri Negara Koperasi/UKM Alimarwan Hanan bahkan mengaku sedang menyiapkan rancangan undang-undang bagi LKM. Namun, ia belum bersedia memberi penjelasan lengkap tentang rencana itu. "Nanti saja, itu masih rencana," katanya. Pemberian kredit modal kerja tersebut, menurut Alimarwan, merupakan wujud tanggung jawab pemerintah untuk mendorong tumbuhnya usaha kecil, yang konon digarap oleh 40 juta wong cilik. Adapun pemilihan LKM adalah lantaran mereka dianggap memiliki keunggulan dibandingkan dengan bank umum. Soalnya, mereka berada di lokasi yang memungkinkan untuk menjangkau nasabah pengusah kecil/mikro. LKM juga dinilai lebih memiliki keluwesan dalam bertransaksi dengan nasabah lantaran memiliki kedekatan budaya dan psikologis. "Sebetulnya LKM sudah ada sejak ratusan tahun lalu," Alimarwan menjelaskan, "Cuma, mungkin dulu itu setengah ilegal karena dianggap rentenir. Nah, LKM yang sekarang akan lebih terbuka dan transparan." Persyaratan untuk diakui sebagai LKM memang berat. Betul, kelompok penyalur dana itu tak perlu berstatus berbadan hukum. Namun, mereka harus mengakar di masyarakat dan sudah melakukan usaha simpan-pinjam secara aktif kepada anggota selama setahun terakhir. Ketentuan lain menyebutkan, kelompok itu harus memiliki anggota produktif minimal 45 orang. Lalu, mereka belum pernah men-dapat bantuan dana bergulir dari proyek sejenis dalam lima tahun terakhir. Untuk bisa menyalurkan dana, mereka juga harus lolos seleksi tim pengawas yang berada di tingkat kabupaten/kota. Di luar itu semua, masih banyak persyaratan lain yang harus dipenuhi. Menurut rencana, LKM akan dikembangkan di 175 kabupaten. Tiap kabupaten mendapat dana untuk 5-6 LKM, dan tiap LKM memperoleh Rp 50 juta. Barulah dari sana duit tersebut dikucurkan secara bergulir kepada para tukang kue, bakul jamu, atau pedagang kaki lima di lokasi masing-masing. Bila mereka telah berhasil, dana itu akan ditarik kembali dan diberikan kepada orang lain yang juga membutuhkan. Berapa total duit yang akan dikucurkan kepada LKM-LKM itu? Sumber TEMPO mengatakan, akan ada dana sebesar Rp 4 triliun yang siap digelontorkan. Tapi belum jelas dari mana sumber dana itu. Soalnya, kondisi keuangan pemerintah saat ini dan di tahun-tahun mendatang masih pas-pasan. Alimarwan sendiri membantah ada dana sebesar itu untuk LKM. "Kalau LKM bisa dapat pinjaman sendiri dari bank sih mungkin saja," katanya, "tapi yang dari pemerintah hanya Rp 50 miliar." Itu pun penyalurannya menggunakan tangan bank-bank seperti BNI, BRI, Bukopin, dan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Duit itu merupakan jatah dana kompensasi BBM tahun ini yang disalurkan lewat Kementerian Koperasi. Sebetulnya jumlah itu merosot drastis. "Sebab, tahun lalu kita menyalurkan Rp 350 miliar," kata Solekan, Kepala Humas Kementerian Koperasi. Sekilas, program bagi-bagi duit lewat LKM itu memang terkesan indah. Namun, di masa lalu program semacam itu sering bermasalah karena banyak terjadi penyelewengan di lapangan. Ekonom Faisal Basri mempertanyakan sikap di kalangan aparat, yang cenderung menilai efektivitas penyaluran dana kompensasi BBM dari kecepatan penyalurannya. "Masa, menyalurkan Rp 350 miliar dalam waktu tiga bulan dianggap efektif," katanya menyebut contoh, "Padahal apa hebatnya kalau ternyata duit itu salah sasaran." Pendapat senada dilontarkan koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki, yang menganggap program dana kompensasi BBM sarat dengan korupsi. Karenanya, ia meminta agar program itu dihentikan dan segera dievaluasi. Reaksi yang berlebihan? Mungkin saja. Hanya, tak bisa dimungkiri adanya kekhawatiran bahwa program penyaluran dana lewat LKM itu pun akan mengulangi kesalahan di masa lalu. Apalagi indikasinya sudah mulai tampak. Pagi-pagi sumber TEMPO sudah membisikkan, "Persyaratan Kementerian Koperasi itu cuma akan berlaku di atas kertas." Dalam praktek, sebuah kelompok LKM bisa tetap mendapat dana Rp 50 juta kendati tak memenuhi persyaratan, "asal mereka mengantongi katebelece dari pejabat/politisi." Maka, jangan heran bila nanti LKM akan tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Kemungkinan penyelewengan makin terbuka lebar karena pemerintah tak menentukan kapan duit pinjaman itu harus dikembalikan, kendati Alimarwan berkilah, "Hal itu dimaksudkan agar duitnya bisa berputar di kalangan pengusaha kecil lebih lama." Tapi, untuk menangkal penyimpangan, ia sendiri mengaku sudah menyiapkan jurus jitu. Caranya? Dengan menunjuk bupati dan kepala dinas koperasi setempat untuk mengawasi penyaluran pinjaman tersebut. Pihaknya sendiri cuma akan menerima laporan. Kalaupun terjadi penyimpangan, "Dari laporan tahun lalu saja kan bisa dicek alamat-alamat penerimanya," ujarnya enteng. Dengan bekal alamat itu, petugas akan datang dan menagih kembali duit tersebut. "Jadi, di sini saya cuma akan memeriksa. Duitnya sendiri enggak pernah saya pegang," katanya mencoba meyakinkan. Nugroho Dewanto, Endah W.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus