Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pohon Bisnis yang Tetap Tegak

Sebagian dahan pohon bisnis Salim sempat patah lantaran lengsernya sang patron, tapi kini dahan itu siap bertunas kembali. Grup Salim diperkirakan akan tampil kembali sebagai konglomerat nomor satu di Indonesia.

7 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KISAH tumbuh kembang kerajaan bisnis Salim layaknya dongeng saja. Bermula dari usaha kelontong yang menjual aneka kebutuhan rumah tangga di kota kecil Kudus, Jawa Tengah, pada tahun 1950-an. Empat puluh tahun kemudian bisnis kelompok Salim tumbuh pesat seperti pohon kacang dalam dongeng anak-anak, yang meraksasa mencapai awan. Dan, Liem Sioe Liong alias Soedono Salim, sang pemimpin, tercatat sebagai taipan nomor satu di Indonesia. Setelah sempat terguncang dihajar badai krisis ekonomi dan politik, dan diperkirakan bakal tumbang setelah Soedono Salim lengser, kelompok Salim kini kembali menguat dan diramalkan bakal kembali meraih posisinya sebagai konglomerat nomor satu. Sebagai kelompok bisnis, perkembangan fantastisnya terutama terpicu setelah empat sekawan Liem Sioe Liong, Liem Oen Kian (Djuhar Sutanto), Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono mendirikan CV Waringin pada 1967. Persabatan Om Liem dan kekerabatan Sudwikatmono dengan Presiden Soeharto membuat bisnis mereka memperoleh pelbagai kemudahan dari pemerintah. Ambil contoh izin monopoli impor kopi yang mendatangkan keuntungan. Juga, katebelece untuk menjadi pemasok berbagai kebutuhan pokok tentara. Sejak itu, usaha mereka terus berkembang. Waringin, yang kemudian diubah namanya menjadi Waringin Kentjana, pun menjadi cikal bakal kerajaan bisnis Salim. Selain itu, empat sekawan yang kemudian terkenal dengan julukan "The Gang of Four" menjadi pengusaha terpandang dalam dunia bisnis, tak hanya di Indonesia tapi juga sampai ke mancanegara. Kerajaan bisnis Salim benar-benar tipe konglomerasi yang merambah ke mana-mana. Di puncak kejayaannya, diperkirakan ada lebih dari lima ratus anak perusahaan yang mereka miliki, dengan karyawan 200 ribu orang. Bisnisnya yang terkenal antara lain di industri makanan (Indofood), semen (Indocement), mobil (Indomobil), bank (BCA), dan televisi (Indosiar). Di samping itu, mereka memiliki perusahaan investasi First Pacific di Hong Kong dan perusahan roti QAF yang terdaftar di bursa efek Singapura. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan usaha, tenaga muda pun bermunculan untuk menopang bisnis. Generasi kedua ini terutama berasal dari keluarga Om Liem, yaitu Anthony Salim (anak laki-laki bungsu), Andree Halim (anak laki-laki nomor dua), Fransiscus Welirang (menantu laki-laki), dan Benny Setiawan Santoso (profesional). Pada masa itu pula, kedekatan Salim dengan rezim Soeharto kian kental dengan masuknya anak-anak Soeharto menjadi pemegang saham perusahaan. Mereka, antara lain, Sigit Hardjojudanto dan Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), yang menguasai 15 persen saham BCA. Namun, pohon bisnis kelompok Salim mulai guncang sejak terjadi badai krisis ekonomi. Terlebih kemudian patron mereka, Soeharto, lengser dari kursi kekuasaannya. Pendapatan mereka pun merosot drastis dari US$ 4 miliar pada 1997 menjadi US$ 1,7 miliar pada 1998, dan akhirnya hanya US$ 1 miliar pada 1999. Bisnis mereka kian terpuruk lantaran terjerat utang Rp 52,6 triliun untuk menyelamatkan BCA, yang kehabisan dana akibat serbuan nasabahnya. Dalam situasi sulit itu, Om Liem mengundurkan diri dari bisnis dan lebih banyak bermukim di Singapura. Anthony Salim, yang mengambil alih pimpinan, kemudian menyerahkan 107 anak perusahaannya ke BPPN. Penyerahan aset ini belakangan dipersoalkan karena nilainya diperkirakan hanya Rp 20 triliun. Toh, Holdiko Perkasa, induk yang membawahkan perusahaan-perusahaan itu, tetap menjual aset tersebut untuk membayar utang Salim ke pemerintah. Habiskah kerajaan bisnis Salim? Tunggu dulu. Ketika badai ekonomi—dan terutama politik—mereda, kelompok Salim segera melakukan konsolidasi. Di pasar santer terdengar mereka ingin kembali membeli asetnya yang berada di bawah BPPN. Untuk itu, Anthony kabarnya menjual beberapa perusahaannya di luar negeri, antara lain perusahaan elektronik di Filipina serta perusahaan makanan dan minuman di Cina dan Korea. Juga saham perusahaan investasi First Pacific di Hong Kong. Sementara itu, perusahaan yang mampu bertahan terhadap krisis terus memperbaiki kinerjanya. Sebut saja kegiatan ekspansi ke luar negeri yang direncanakan raksasa mi instan Indofood, yang tahun lalu, di tengah gonjang-ganjing nilai tukar, masih bisa meraup untung Rp 646 miliar. Berpatungan dengan Berli Juckerm, Indofood saat ini tengah menyiapkan pendirian perusahaan makanan bayi di Thailand senilai US$ 20 juta, dengan kapasitas produksi 6.000 ton per tahun. Di perusahaan ini Indofood, yang per tahun punya dana cashflow Rp 2,8 triliun, ngotot ingin memiliki 51 persen sahamnya. Selain memiliki Indofood, kelompok Salim mempunyai Indosiar, yang kini telah berhasil menempatkan diri sebagai stasiun tv swasta paling populer dan tahun lalu paling banyak meraih iklan, yakni Rp 1,33 triliun. Selain itu, masih ada Indomobil, yang mampu bertahan sebagai pemain utama dalam industri otomotif. Dengan kesigapan dan keandalan manajemen seperti itu, tak salah bila Lin Che Wei meramalkan kelompok Salim akan bangkit kembali sebagai konglomerat nomor satu di Tanah Air, "Kendati pemulihannya akan memakan waktu dan tak bisa segera," ujar Direktur Riset SocGen Indonesia itu. Ibarat pohon, akar kerajaan bisnis Salim tampaknya sudah cukup tertanam kuat. Jangan heran bila dari bekas dahannya yang patah, cepat bersemi tunas-tunas baru. Nugroho Dewanto, Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus