BAGI pengusaha kecil dan menengah, oleh-oleh yang dibawa Laksamana Sukardi dari Amerika dan Jepang tak lebih dari sebuah antiklimaks. Menteri Negara BUMN ini dalam salah satu keterangannya menyatakan bahwa pengusaha kecil dan menengah (UKM) dapat memiliki saham Bank Central Asia (BCA) dengan membelinya lewat bursa. Penjelasan Laks—demikian panggilan akrab Laksamana—tak bisa diartikan lain, kecuali ini: UKM nyaris tidak berpeluang tampil sebagai investor strategis bagi BCA.
Laksamana juga tak lupa menyebutkan sejumlah ketentuan yang mesti dipenuhi calon investor BCA. Dikatakannya bahwa calon pembeli saham pemerintah di BCA haruslah investor yang kredibel dan memiliki rencana bisnis. Soalnya, hanya investor kelas beratlah yang mampu mendatangkan kemajuan bagi BCA, bank retail terbesar di Indonesia yang memiliki 800 cabang dan 2.000 ATM (automatic teller machine) itu. Laks menambahkan, investor strategis itu harus mampu menebus obligasi rekapitalisasi di BCA senilai Rp 61 triliun. Ini penting karena, dengan demikian, beban utang pemerintah bisa dikurangi.
Syarat lain yang tampak sepele tapi tak kurang berat ialah bahwa calon investor harus menjelaskan asal-usul duit yang digunakan untuk membeli saham BCA. Syarat ini merupakan filter pencegah agar pemilik lama BCA tidak bisa masuk kembali, di samping untuk memastikan bahwa penanam modal yang terpilih adalah benar-benar pengusaha yang bonafide. Kemampuan menginjeksi modal diperlukan karena sewaktu-waktu BCA bisa saja membutuhkan modal tambahan. "Bila dana itu ternyata pinjaman dari BCA juga," kata Laks, "itu kan berarti cuma berputar-putar."
Para investor yang "naksir" BCA juga mesti memaparkan catatan keuangannya, termasuk konfirmasi apakah masih memiliki utang di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) atau tidak. Mereka juga harus mengikuti uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan Bank Indonesia (BI). Di sana mereka ditelisik, apakah pernah menjadi pemilik atau pengelola bank yang melanggar aturan dan masuk daftar orang tercela (DOT) atau tidak. Alhasil, dengan sederet persyaratan itu, pemerintah, menurut Laks, berharap memperoleh calon investor dengan penawaran tertinggi plus memiliki kredibilitas finansial yang baik. "Biar menawar dengan harga 10 kali lipat lebih tinggi," katanya, "kalau tak jelas juntrungannya, tak akan kita ambil."
Persyaratan berat itu tentulah bukan sekadar untuk gagah-gagahan. Di tengah iklim investasi yang kering-kerontang dan bisnis perbankan yang jalan di tempat, pemerintah memang harus mengambil tindakan tepat dalam penjualan saham BCA. Bila ditangani dengan benar dan berhasil, divestasi BCA diharapkan bisa menarik investor lain masuk ke Indonesia. Juga diharapkan kepercayaan terhadap perbankan nasional akan pulih sehingga bank dapat berfungsi sebagai lembaga intermediasi. Dan ia juga bisa mengeluarkan garansi letter of credit (L/C) yang diterima di luar negeri tanpa harus dijamin bank lain.
Berbagai persyaratan tersebut tampaknya akan membuyarkan impian kaum UKM untuk menguasai BCA. Pasalnya, banyak UKM yang masih memiliki utang di BPPN atau tersangkut pelanggaran praktek perbankan yang sehat. Bahkan, dari segi permodalan, duit yang akan digunakan untuk membeli saham BCA pun kabarnya akan diambil dari dana pihak ketiga.
Ibih Hasan, koordinator konsorsium para UKM, membantah isu tentang dana pihak ketiga itu. "Kami mengumpulkan dana sebesar Rp 10 juta per orang dari para anggota APWI, Iwapi, Hippi, Hipmi, dan pengusaha yang tergabung di Kadin," ujarnya. Ilham Poetranto bahkan menyiapkan dana Rp 1 miliar untuk iuran konsorsium. "Kalau punya duit," kata Ketua Koperasi Pegawai Indosat (Kopindosat) itu, "goblok sekali bila tak membeli saham BCA."
Hasrat para "UKM-wan" menguasai BCA bisa dipahami. BCA, yang memiliki aset senilai Rp 96 triliun, pada semester pertama tahun ini meraup laba bersih Rp 1,1 triliun. Bahkan, di akhir tahun, labanya diperkirakan naik menjadi Rp 2,5 triliun. Ini berarti, dengan memiliki 51 persen saham BCA, investor bisa mengantongi dividen Rp 1,3 triliun. Berarti pula, dana Rp 5 triliun yang mereka tanamkan bisa kembali dalam waktu lima tahun tahun saja.
Untuk memuluskan niat itu, terbetik kabar bahwa UKM membangun "aliansi" bersama para anggota parlemen seraya mengibarkan panji-panji nasionalisme. Namun, Laks tampaknya tak gentar. "Dalam program pembangunan nasional (propenas), yang disebut secara spesifik adalah kepentingan nasional. Dan kepentingan nasional itu lebih luas dari kepemilikan nasional," ia menjelaskan.
Kepemilikan dan kepentingan memang dua hal yang berbeda. Dulu bank asing dan bank lokal sama-sama mendatangkan manfaat karena membayar pajak. Tapi kini pemerintah harus merekap bank BUMN dan bank swasta nasional sebesar ratusan triliun rupiah. Para UKM-wan hendaknya tidak menutup mata atas kenyataan tak elok ini: bank lokal kini menjadi beban nasional, sementara bank asing tetap berfungsi sebagaimana mestinya.
Nugroho Dewanto, Agus S. Riyanto, Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini