Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KCI menjelaskan faktor yang mempersulit penambahan frekuensi KRL Jabodetabek.
KSP meminta para pengambil kebijakan tidak hanya melihat data, tapi juga kondisi faktual.
Sebanyak 200 ribu penumpang berpotensi tak terangkut jika armada KRL tak ditambah.
JAKARTA - Rencana pemerintah menambah frekuensi kereta sebagai solusi menjaga layanan di tengah rencana pensiun armada kereta rel listrik (KRL) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) diperkirakan sulit direalisasi. Musababnya, saat ini frekuensi di lintas Bogor dan lintas Tangerang sudah mencapai kapasitas maksimum. Sedangkan untuk lintas Bekasi, frekuensi sulit ditambah karena keterbatasan sarana kereta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Utama KAI Commuter, Suryawan Putra Hia, menjelaskan, saat ini waktu antara kereta alias headway di lintas Stasiun Manggarai, khususnya rute Stasiun Bogor-Stasiun Jakarta Kota, sudah mencapai 5 menit sehingga penambahan frekuensi menjadi sulit. "Solusinya adalah menambah kapasitas, dari jumlah kereta per rangkaian delapan dan sepuluh ke 12 kereta," ujar dia dalam diskusi bersama para pemangku kepentingan KRL Jabodetabek, kemarin, 13 April 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi tersebut berbeda dengan kondisi rute lintas Bekasi yang memungkinkan penambahan frekuensi karena waktu antarkereta masih 12 menit. Artinya, setiap satu kereta lintas Bekasi tiba di stasiun transit Manggarai, telah ada tiga kereta lintas Bogor. Akibatnya, jumlah penumpang yang transit pun menjadi tinggi.
Menurut Suryawan, secara teknis, penambahan frekuensi untuk lintas Bekasi dimungkinkan karena persinyalannya sudah elektrik dan blok terbuka. Dengan demikian, waktu antarkereta bisa dirapatkan menjadi lima menit. Meski demikian, dia mengatakan saat ini penambahan frekuensi tidak dimungkinkan karena armadanya tidak mencukupi.
Untuk menyiasati angka transit yang tinggi di Stasiun Manggarai, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) menyediakan kereta pengumpan, misalnya ke arah Tanah Abang, Kampung Bandan, dan Angke. Keberadaan kereta pengumpan ini akan mengisi kekosongan kereta dari arah Bekasi. Dengan demikian, penumpang yang turun di Manggarai dari arah Bogor bisa langsung terlayani ke rute-rute tersebut tanpa menunggu dulu kereta dari arah Bekasi.
Penumpang saat berada di dalam kereta rel listrik (KRL) di Stasiun Citayam, Depok, Jawa Barat, 14 September 2020. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Masalah Persinyalan KRL Lintas Tangerang
Masalah lain terjadi pada kereta lintas Tangerang. Suryawan berujar waktu antar-kereta yang masih 12 menit tidak bisa ditingkatkan lagi karena sistem persinyalannya masih memakai blok tertutup yang kapasitasnya terbatas. "Kami tidak bisa menambah headway lagi karena terkait dengan persinyalan. Masing-masing lintas punya karakter sendiri," kata dia.
KCI sebelumnya menjadwalkan penggantian sepuluh rangkaian KRL tua dari lintas Jabodetabek hingga akhir 2023. Rencana tersebut akan dilanjutkan dengan pensiunnya 19 rangkaian kereta lama pada tahun depan. Karena itu, KCI berencana mengganti kereta yang akan dipensiunkan itu dengan kereta bekas dari Jepang.
Gagasan penambahan frekuensi kereta mengemuka di tengah polemik penolakan impor kereta bekas oleh pemerintah. Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi sebelumnya memutuskan tidak merekomendasikan impor KRL bekas dari Jepang seperti yang diajukan KCI setelah mengantongi hasil reviu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
BPKP, dalam reviunya, menyatakan saat ini jumlah KRL yang beroperasi sebanyak 1.114 unit. BPKP menilai KCI masih bisa memenuhi kebutuhan penumpang karena prediksi rata-rata okupansinya baru 62,75 persen pada 2023. Kendati demikian, instansi pengawasan pemerintah tersebut menyadari bahwa saat ini kelebihan muatan atau overload penumpang terjadi pada jam-jam sibuk KRL.
BPKP juga menilai saat ini ada beberapa penempatan rangkaian kereta pada lintas tertentu yang tidak sesuai dengan kepadatan penumpang. Misalnya lintas Bogor dan lintas Cikarang yang sangat padat pada hari kerja diberi 15 rangkaian kereta dengan panjang delapan kereta. Sedangkan lintas Serpong dan Tangerang, yang menurut BPKP tidak terlalu padat, diberi 26 rangkaian kereta dengan panjang sepuluh kereta.
Berbekal tinjauan BPKP tersebut, Kemenko Kemaritiman meminta KCI meninjau pola operasi KRL Jabodetabek saat ini guna mengoptimalkan armada yang ada. Perseroan juga diminta segera meremajakan kereta-kereta yang sudah tua sembari menunggu armada baru yang dipesan dari PT Industri Kereta Api (Inka) selesai pada 2025.
Tak lama berselang setelah pernyataan Kemenko Kemaritiman tersebut, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Risal Wasal, mengatakan KCI harus mengoptimalkan layanan dengan menambah frekuensi selama kereta tambahan belum datang. Pengaturan pola operasi KRL dianggap bisa menjadi solusi dalam menyiasati berkurangnya armada.
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api Kementerian Perhubungan, Djarot Tri Wardhono, juga meminta KAI melakukan simulasi dengan berbagai skenario terhadap pola operasi KRL. "Dengan simulasi operasi, penumpang masih bisa terlayani (dengan armada yang ada)," kata dia. Dalam kesempatan lain, ia mengatakan, apabila pembangunan Stasiun Manggarai telah rampung, waktu antar-kereta bisa lebih singkat lagi, baik untuk lintas Bogor maupun Bekasi. Kondisi tersebut memberi peluang peningkatan kapasitas angkut.
Stasiun Citayam, Depok, Jawa Barat, 14 September 2020. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Kantor Staf Presiden Soroti Reviu BPKP
Atas gonjang-ganjing KRL tersebut, Tenaga Ahli Madya Kedeputian I Bidang Infrastruktur Kantor Staf Presiden, Gibran Sesunan, menyarankan para pemangku kepentingan melakukan triangulasi metode analisis dalam pengambilan kebijakan. Ia pun menyoroti hasil reviu BPKP yang menyatakan kapasitas KRL belum penuh dengan hanya berlandaskan data yang ada. Menurut dia, dinamika ini menjadi pelajaran bagi pemerintah agar mengambil kebijakan secara tepat dan komprehensif dengan melihat lebih banyak metode analisis.
"Kita tidak boleh hanya berbicara angka. Kita tidak bisa sibuk pada angka yang sifatnya kuantitatif, tapi melupakan hal fundamental yang kualitatif, yaitu suara pengguna KRL Jabodetabek yang tidak bisa dilihat dari angka," ujar Gibran. Ia mengatakan hal yang perlu menjadi patokan pemerintah dalam mengambil kebijakan adalah agar layanan kepada masyarakat tidak terganggu.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, mengatakan hasil reviu BPKP menunjukkan lembaga tersebut hanya berpijak pada data tangible, tapi tidak melihat hal-hal yang intangible. Ia menilai situasi di lapangan tidak sesederhana kesimpulan bahwa okupansi rata-rata di bawah 100 persen menunjukkan KCI tidak perlu mengimpor KRL tambahan untuk mengisi jumlah armada yang berkurang.
"Padahal keinginan kami adalah disediakan 200 persen karena pemerintah punya kepentingan shifting dari kendaraan pribadi menjadi angkutan umum. Kalau dibatasi, gimana orang mau shifting? Sudah seperti ini, tidak ada penambahan (armada) pula," kata Deddy.
Ia mengatakan saat ini tingkat keterisian KRL pada jam-jam sibuk bahkan bisa mencapai 300 persen. Asumsinya, jika standar pelayanan minimum 1 meter persegi area di kereta hanya bisa diisi enam orang, kenyataannya bisa mencapai sembilan orang. "Saya pernah merasakan juga tergencet di jendela dan pintu," tutur dia. Di luar jam sibuk, ia mengakui tingkat keterisian memang lebih longgar.
Kondisi tersebut menguatkan argumen bahwa impor kereta bekas saat ini diperlukan untuk melayani waktu sibuk selama kereta baru belum datang. Pasalnya, opsi retrofit yang digadang-gadang pemerintah juga memerlukan waktu paling tidak 16 bulan dengan asumsi onderdilnya tersedia. Sementara itu, opsi pengaturan pola operasi juga terbatas kondisi teknis dan sosial.
"Aneh juga kalau BPKP menyarankan pemindahan sarana, misalnya Serpong yang tidak padat ke Bogor. Itu akan ada kecemburuan penumpang antar-lintas. Jangan sampai adanya rekomendasi BPKP tidak menyelesaikan masalah malah menambah masalah," tutur Deddy.
Pemerhati kebijakan publik, Agus Pambagio, mengatakan, seiring dengan waktu yang terus berjalan, kebutuhan penambahan armada makin mendesak. Ia mewanti-wanti pemerintah segera menemukan solusi untuk mengadakan armada baru dalam waktu dekat. "Posisi saya adalah mau beli bekas, mau beli baru, mau dari Inka, silakan saja, asal keretanya ada," kata dia. Ia memproyeksikan ada sekitar 200 ribu penumpang tidak terangkut setiap harinya jika jumlah armada tidak segera ditambah.
KCI pernah memproyeksikan, apabila kereta uzur tidak diganti, tingkat okupansi rata-rata KRL Jabodetabek pada jam padat bisa menembus 126 persen hingga akhir 2023. Dalam skenario tersebut, KCI harus beroperasi dengan 86 rangkaian KRL per hari. Jika jumlah armadanya berkurang hingga 69 rangkaian, tingkat okupansi akan naik sampai 195 persen pada 2024 dan 204 persen pada 2025.
CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo