Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa PMK Mewabah Lagi

Wabah penyakit mulut dan kuku kembali merebak di sejumlah wilayah. Banyak peternak terpaksa menjual sapinya dengan harga murah.

15 Januari 2025 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemeriksaan kesehatan sapi ternak untuk pencegahan penyebaran wabah penyakit mulut dan kuku (PMK), di Mojosongo, Solo, Jawa Tengah, 8 Januari 2025. ANTARA/Maulana Surya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejak akhir 2024 hingga awal 2025 kasus penyakit mulut dan kuku (PMK) di sejumlah daerah meningkat.

  • Sejumlah peternak memilih menjual sapi dan domba daripada merugi lebih jauh tinggi.

  • Pemerintah tak sigap menyediakan vaksin dan melakukan vaksinasi berkala sejak kasus ini merebak pada 2022.

TRI Wahyuni, peternak asal Dukuh Kutu, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, terpaksa menjual sapi-sapinya dengan harga murah. Perempuan berusia 56 tahun ini melego dua sapinya yang masih hidup dengan harga sekitar Rp 23 juta kepada tukang jagal. Padahal, dalam kondisi normal, harga tersebut berlaku untuk seekor sapi. Selain merugi, kini Tri yang mulai menjadi peternak pada 2020, sudah tidak punya sapi barang satu ekor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tri buru-buru menjual sapinya karena khawatir bakal mengalami kerugian lebih besar jika sapinya mati mendadak akibat wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) yang kembali merebak. Apalagi ada satu sapi miliknya yang terjangkit penyakit tersebut. "Saya terpaksa menjual semua sapi daripada nanti ikut mati terkena penyakit (PMK) itu, termasuk yang sedang hamil," ujarnya kepada Tempo pada Senin, 13 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, sapi milik Tri terus mengeluarkan busa dan kakinya pincang. Petugas Dinas Peternakan setempat juga sempat mengobati dan memvaksin sapi tersebut. Namun Tri mengatakan, pada sore harinya, sapinya mati. Tak berhasilnya pengobatan dan vaksin terhadap salah satu ternaknya itu lantas mendorong Tri menjual sisa sapi yang ia punya.

Kondisi serupa terjadi di Jawa Timur. Muhammad Arif, 36 tahun, salah satu peternak asal Kabupaten Malang, mengatakan 20 domba miliknya terkena PMK dalam sebulan terakhir. Ia segera memisahkan domba-domba yang terkena penyakit dari domba yang sehat. Hingga saat ini 20 domba miliknya yang terkena PMK masih dalam tahap pengobatan.

Saat tahu ternaknya terkena PMK, Arif segera melapor ke Dinas Peternakan melalui mantri hewan. Ia sudah menginformasikan kondisi dombanya yang terkena PMK agar Dinas bisa segera memberikan vaksin. Namun Dinas Peternakan belum merespons laporannya. Bahkan, kata Arif, Dinas juga sama sekali belum menyurvei soal penyebaran PMK tersebut. 

Pemilik PT Kelompok Ternak Hutan Rakyat (KTHR) Indonesia itu menyayangkan lambatnya tindakan pemerintah terhadap kasus ini. “Vaksin didatangkan biasanya paling cepat, ya, seminggu-dua minggu. Kalau lama, bisa berbulan-bulan, seperti tahun lalu,” ucap Arif kepada Tempo, Selasa 14 Januari 2025.

Vaksin cavac penyakit mulut dan kuku (PMK) untuk disuntikkan ke sapi ternak di peternakan Desa Jatisura, Cikedung, Indramayu, Jawa Barat, 7 Januari 2025. ANTARA/Dedhez Anggara

Hingga pekan kedua Januari 2025, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Yogyakarta mencatat sudah ada 1.915 hewan ternak yang terpapar PMK. Kasus PMK terjadi di sejumlah kabupaten, seperti Kabupaten Kulon Progo, Bantul, Gunungkidul, dan Sleman. 

Walau sudah banyak laporan kasus PMK, Sekretaris Daerah Istimewa Yogyakarta Beny Suharsono menyebutkan sampai saat ini masih belum ada penetapan status tanggap darurat atas penyakit tersebut. "Dari hasil evaluasi Kementerian Pertanian untuk wilayah DIY, belum sampai kondisi pandemi PMK karena penyebarannya belum menyeluruh," ucapnya.

Pemerintah DIY mengimbau kabupaten-kabupaten dengan tingkat kasus tinggi agar segera menetapkan status darurat PMK. Sebab, kata Beny, penyebaran kasus PMK pada awal tahun ini lebih cepat dan lebih besar dibanding pada tahun lalu. Beberapa daerah, kata dia, seharusnya mulai mempertimbangkan status darurat.

Serangan wabah PMK membuat Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Bantul menutup sementara Pasar Hewan Imogiri sejak Selasa, 14 Januari 2025, hingga dua pekan ke depan. Penutupan ini dilakukan untuk menekan penyebaran PMK di kabupaten tersebut. 

Kepala DKPP Kabupaten Bantul Joko Waluyo menyebutkan, dari data terakhir yang dihimpun, sebanyak 322 ekor ternak sapi di Bantul terserang PMK. Sebanyak 32 ekor sapi di antaranya mati dan 2 ekor disembelih paksa.

Di Jawa Timur, angka temuan kasus PMK pun cukup tinggi. Penjabat Gubernur Jawa Timur, Adhy Karyono, mengatakan, hingga Senin, 13 Januari 2025, terdapat 11.317 ternak yang terjangkit PMK. Sebanyak 70 persen di antaranya sedang menjalani proses pengobatan. “Paling banyak di Malang dan Pasuruan,” kata Adhy, Senin, 13 Januari 2025.

Saat ini, Adhy mengatakan, pihaknya sedang menggencarkan vaksinasi sebanyak 25 ribu dosis. Seiring dengan itu, pemerintah provinsi dalam proses menambah 320 dosis vaksin untuk pekan ini. “Minggu depan datang lagi 1,7 juta dosis vaksin,” ujarnya.

Adhy mengklaim sejauh ini 22 persen hewan ternak di Jawa Timur sembuh dari PMK. Sedangkan sebanyak 2,5 persen hewan ternak mati dan dipotong paksa akibat PMK.

Adhy menyebutkan PMK rawan menyerang hewan ternak milik petani perorangan. Alasannya, petani yang tergabung dalam koperasi biasanya sudah melakukan pengobatan dan vaksinasi, serta memberikan vitamin secara mandiri. Bahkan mereka juga memiliki stok vaksin untuk enam bulan ke depan.

Selain memberi vaksin, menurut Adhy, pihaknya melakukan berbagai langkah pencegahan lain, seperti menggalakkan penyemprotan disinfektan dan pemberian vaksin untuk petani perorangan. Pemprov juga memantau lalu lintas perdagangan sapi dan melakukan operasi pasar hewan. “Sekarang ada pasar hewan yang tutup sementara atas permintaan warga, yakni Situbondo, Tulungagung, dan Ponorogo,” tuturnya.

Wabah PMK juga sudah menyebar ke wilayah Jawa Barat. Pelaksana tugas Kepala DKPP Jawa Barat, Siti Rochani, mengatakan kasus PMK pertama di Jawa Barat muncul di Kabupaten Bandung pada Desember 2024. Ada empat sapi yang mati di wilayah tersebut. “Awalnya di Kabupaten Bandung, dari situ. Jadi memang datangnya dari ternak yang berasal dari Jawa Timur,” katanya. 

DKPP Jawa Barat mencatat penyebaran kasus PMK di Jawa Barat muncul di 14 kabupaten dan kota, yakni di Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Bogor, Cirebon, Karawang, Kota Banjar, Kota Cirebon, Kuningan, Pangandaran, Purwakarta, Subang, Sumedang, serta Tasikmalaya.

Sepanjang 28 Desember 2024 hingga 13 Januari 2025, sebaran PMK tercatat telah menular ke 1.240 hewan ternak. Dari jumlah tersebut, 53 ekor ternak mati, 51 dipotong bersyarat, 111 sembuh, 898 kasus aktif, dan sisanya diduga terpapar PMK.

Pada 6 Januari 2025, DKPP mengirim surat edaran kepada semua kabupaten/kota untuk memastikan pemeriksaan surat keterangan kesehatan hewan (SKKH) terhadap semua pengiriman ternak dari luar wilayah Jawa Barat. Langkah ini juga dilakukan untuk memastikan hewan ternak melintas dalam keadaan sehat.

Imbas kondisi ini, di Jawa Barat, Pasar Ternak Manonjaya di Tasikmalaya akhirnya tutup sementara untuk mencegah penularan PMK. Penutupan sementara pasar ternak tersebut berlangsung sejak 14 Desember 2024 dan akan berakhir pada 27 Januari 2025.

Pemerintah Jawa Barat baru menyiapkan anggaran Rp 1,5 miliar untuk penyediaan vaksin ternak guna mencegah PMK. Dana tersebut untuk penyediaan 52 ribu dosis vaksin atau setara dengan penyuntikan 26 ribu hewan ternak. 

Penyemprotan disinfektan untuk mencegah penularan wabah penyakit mulut dan kuku (PMK), di Pasar Hewan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, 8 Januari 2025. ANTARA/Adeng Bustomi

Vaksinasi dan Regulasi Impor Jadi Biang Kerok

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia Rochadi Tawaf menilai kelemahan pemerintah menyediakan vaksin dan melakukan vaksinasi menjadi faktor utama wabah PMK kembali merebak. Musababnya, pemerintah tak memvaksin ternak secara berkala. "Selama ini tidak ada jadwal vaksinasi yang jelas dan konsisten. Jadi kekebalan ternak terhadap PMK menjadi lemah dan meningkatkan risiko penularan," tutur Rochadi kepada Tempo, Selasa, 14 Januari 2025. 

Saat ini Kementerian Pertanian mengalokasikan 4 juta dosis vaksin PMK di wilayah-wilayah dengan risiko tinggi penyebaran PMK. Ternak perbibitan, sapi perah, dan ternak yang akan lalu lintas masuk daftar prioritas. Untuk perusahaan peternakan dan kelompok ternak, pemerintah pusat mendorong pelaksanaan vaksinasi mandiri. Kementerian Pertanian juga meminta peternak rakyat melaksanakan vaksinasi di peternakan rakyat dengan radius 3 kilometer dari kandang.

Rochadi menambahkan, minimnya edukasi, keterbatasan tenaga, dan kurangnya dukungan finansial membuat peternak-peternak kecil enggan melaksanakan vaksinasi mandiri, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang sulit. "Peternak rakyat disuruh membeli vaksin. Mereka akan memilih menjual sapinya karena panik," tuturnya. 

Hal itu akhirnya berdampak pada belum optimalnya penerapan biosekuriti atau langkah pencegahan penyakit di tingkat peternak. Pengawasan dan pengendalian mobilitas ternak antarwilayah, menurut Rochadi, juga kurang efektif. Dia menyebutkan banyak peternak diam-diam menjual hewan ternaknya yang sedang dalam masa inkubasi sehingga hewan tersebut tetap berpindah antarwilayah dan berpotensi menyebarkan penyakit.

Dari sisi regulasi, Rochadi berpandangan perubahan kebijakan impor daging melalui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 menjadi UU Nomor 18 Tahun 2009 turut memperburuk situasi. Sebab, sebelumnya, impor daging hanya boleh berasal dari negara yang 100 persen bebas PMK. Hal ini bertujuan menjaga keamanan dan kesehatan ternak dalam negeri.

Namun revisi itu mengubah kriteria impor sapi dari berbasis negara menjadi berbasis zona. Artinya, pemerintah boleh mengimpor sapi dari zona bebas PMK, meski wilayah lain di negara itu terjangkit penyakit menular atau belum sepenuhnya bebas PMK, asalkan wilayah asal daging tersebut dinyatakan bebas PMK berdasarkan standar internasional Organisasi Kesehatan Hewan Dunia.

Asosiasi peternak, kata Rochadi, menolak revisi aturan tersebut dan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada 2010. Para peternak menang. Alasannya, Indonesia belum punya sistem kesehatan hewan nasional dan otoritas veteriner untuk melindungi negara dari serangan kemungkinan munculnya penyakit. Impor sapi tetap berbasis negara.

Namun, di era pemerintahan Joko Widodo, revisi aturan impor sapi ini kembali bergulir lewat UU Nomor 41 Tahun 2014. Saat itu pemerintah hendak mengimpor sapi dari India. Para peternak kembali mengajukan judicial review, tapi mental. Aturan yang membolehkan impor sapi dari zona bebas PMK muncul lewat Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016. Permohonan judicial review yang diajukan para peternak ke Mahkamah Agung juga ditolak. "Kalah lagi di situ. Ya sudah, kami lemas saja. Akhirnya, sudah kejadian kayak sekarang, enggak ada yang mau tanggung jawab, kan," tutur Rochadi saat dihubungi pada Sabtu, 11 Januari 2025.

Imbas kelalaian ini, tutur Rochadi, peternak mengalami kerugian besar akibat ternaknya mati atau terpaksa dimusnahkan untuk mencegah penyebaran penyakit. Ia memperkirakan total kerugian peternak mencapai Rp 20 triliun. Para peternak di wilayah yang terkena PMK otomatis mengalami banyak kerugian, antara lain, harga jual ternak anjlok signifikan, biaya operasional peternakan meningkat, serta ada pengeluaran tambahan untuk membeli disinfektan, vaksin, dan perawatan khusus.

Peneliti dari Lembaga Kajian Next Policy, Shofie Azzahrah, juga berpandangan rendahnya cakupan vaksinasi pada hewan ternak menjadi faktor utama penyebab PMK kembali merebak. Setelah wabah besar pada 2022, ia menilai pemerintah semestinya memperluas cakupan vaksinasi di wilayah-wilayah berisiko. 

"Kurangnya distribusi dan pelaksanaan vaksinasi menyebabkan ternak menjadi rentan, terutama di daerah dengan populasi ternak tinggi dan mobilitas hewan yang padat," tutur Shofie kepada Tempo, Selasa, 14 Januari 2025. 

Shofie membeberkan tiga indikasi kelalaian pemerintah dalam pencegahan dan pengendalian PMK. Pertama, distribusi vaksin yang tidak optimal. Kedua, karantina yang lemah sehingga hewan ternak yang masuk ke wilayah tertentu sering kali tidak menjalani proses yang memadai. Ketiga, lemahnya pengawasan terhadap hewan impor dari negara yang belum bebas PMK. 

Untuk mengatasi situasi ini, menurut Shofie, Kementerian Pertanian perlu memprioritaskan vaksinasi massal untuk mencegah penyebaran lebih lanjut. Pemerintah juga harus menyediakan fasilitas karantina yang memadai untuk menangani jumlah ternak yang besar, terutama pada masa-masa kritis seperti ini. 

Selain itu, Shofie menegaskan, pemerintah harus menegakkan aturan larangan lalu lintas hewan tanpa sertifikat kesehatan dengan ketat. Dalam jangka panjang, upaya yang lebih berkelanjutan perlu dilakukan melalui penguatan sistem biosekuriti nasional, termasuk pelatihan peternak dan peningkatan infrastruktur karantina di daerah-daerah strategis. 

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Agung Suganda tak menampik bahwa kembalinya wabah PMK disebabkan oleh vaksinasi yang belum optimal, terutama sejak masuknya kembali PMK ke Indonesia pada 2022. "Adanya dinamika populasi, seperti kelahiran ternak baru, ternak yang belum divaksin, dan peningkatan lalu lintas ternak antarwilayah mendekati hari besar keagamaan nasional, mengakibatkan peningkatan kerentanan ternak tertular PMK," tuturnya kepada Tempo pada Selasa, 14 Januari 2025. 

Selain itu, menurut Agung, pemahaman peternak akan pentingnya vaksinasi belum merata. Masih ada peternak yang tak memvaksin ulang ternaknya yang sudah pernah divaksin sesuai dengan jadwal. Hal ini, kata Agung, mengakibatkan kekebalan terhadap PMK menurun dan dapat terjadi infeksi ulang PMK. 

Untuk mencegah penyebaran, Agung berujar pemerintah telah melakukan peningkatan kewaspadaan ke sentra-sentra peternakan, pengawasan dan pembatasan lalu lintas ternak, serta koordinasi dalam rangka peningkatan vaksinasi di daerah-daerah sentra peternakan di Pulau Jawa, Provinsi Lampung, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.

Kini Kementerian Pertanian sedang menyusun peta jalan operasional sebagai panduan pengendalian PMK periode 2025-2029. Agung menyatakan tahun ini pemerintah akan mulai melaksanakan kampanye vaksinasi PMK secara serentak di wilayah-wilayah sentra ternak untuk segera membentuk kekebalan kelompok pada ternak yang rentan tertular PMK.

Han Revanda Putra dari Jakarta, Pribadi Wicaksono dari Bantul, Ahmad Fikri dari Bandung, Eko Widianto dari Malang, dan Hanaa Septiana dari Surabaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus