Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Balairung Hotel Alila, Pecenongan, Jakarta Pusat, Kamis pagi pekan lalu, tak ubahnya sebuah ruang sidang. Hakim pengawas Marsudi Nainggolan duduk di tengah, di depan sebuah meja panjang. Ia diapit kurator Duma Hutapea dan asistennya serta seorang panitera. Di hadapan mereka berjajar puluhan advokat yang mewakili kepentingan para kreditor PT Kertas Nusantara. Direktur Utama Kertas Nusantara Pola Winson beserta para penasihat hukumnya duduk di sisi lain tak jauh dari para perwakilan kreditor.
Kamis itu, di ruang yang terletak di lantai tiga tersebut, mereka tengah membicarakan dan memverifikasi utang perusahaan milik Prabowo Subianto dan Arifin Panigoro ini. Berdasarkan perhitungan awal, total utang Kertas Nusantara mencapai US$ 840 juta (sekitar Rp 7,2 triliun), terdiri atas US$ 390 juta utang berjaminan (secured creditor) dan US$ 450 juta utang tak berjaminan (unsecured creditor). Sumber Tempo membisikkan, total kreditor Kertas Nusantara awalnya mencapai 800-an.Satu per satu utusan kreditor dipanggil ke meja sidang berdasarkan abjad. Dengan saksama, Marsudi dan Duma mengecek dan memverifikasi klaim piutang para kreditor tersebut. ”Sudah diverifikasi, tapi belum bisa direkap hasilnya,” kata Duma kepada Tempo di Jakarta, Kamis pekan lalu. Verifikasi ini yang pertama kali dilakukan pengurus dan hakim pengawas setelah Kertas Nusantara lolos dari gugatan pailit PT Multi Alphabet Dinamika. Kini Kertas Nusantara sedang dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang sementara.
Awalnya, pencocokan tagihan sejumlah kreditor berjalan lancar. Perdebatan mulai terjadi ketika Duma dan Marsudi memverifikasi klaim tagihan dari Multi Alphabet. Duma dan Marsudi berbeda pendapat dengan Benemay, kuasa hukum dari Multi Alphabet. Benemay berkukuh tunggakan utang Kertas Nusantara kepada Multi Alphabet berjumlah Rp 194 miliar. Angka itu, kata dia, balik lagi ke perjanjian awal pada 2009 setelah Kertas Nusantara tak memenuhi janji melunasi utang pokok yang sudah dikurangi menjadi Rp 64 miliar. ”Mereka baru bayar Rp 18,5 miliar. Lantaran lalai, utang balik lagi ke perjanjian awal.”
Sebaliknya, hakim pengawas dan pengurus Kertas Nusantara berpendapat tunggakan perusahaan yang dulu bernama PT Kiani Kertas itu tinggal Rp 46 miliar. Dasarnya perjanjian Kertas Nusantara dan Multi Alphabet pada 25 Desember 2009. Kertas Nusantara mengklaim sudah membayar lebih dari Rp 60 miliar dengan cara mencicil 23 kali.
Suasana semakin hangat saat kuasa hukum Kertas Nusantara, Iyan Siregar, Antony Hutapea, dan satu penasihat lainnya, ikut nimbrung. Mereka sepakat dengan Duma dan hakim, dan berdebat dengan Benemay. Lantaran tak ada kesepakatan, hakim Marsudi mengusulkan angka tunggakan Kertas Nusantara kepada Multi Alphabet diputuskan oleh majelis hakim pemutus yang diketuai Tjokorda Rai Suamba. ”Kami menerima keputusan pengurus dan hakim pengawas,” kata Benemay kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Multi Alphabet merupakan kreditor yang paling ngotot menagih piutangnya di Kertas Nusantara. Perusahaan jasa pengangkutan dan pembongkaran serpih itu berusaha mempailitkan Kertas Nusantara pada 2007. Tapi upaya itu diurungkan setelah ada kesepakatan dengan Kertas Nusantara pada 2009. Namun Multi Alphabet tak puas dan kembali menggugat pailit pada Mei 2011. Gugatan itu tak diterima Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 9 Juni lalu.
Majelis hakim yang diketuai Tjokorda Rai Suamba, sesuai dengan undang-undang, memberikan kesempatan lebih dulu kepada Kertas Nusantara untuk melakukan penundaan pembayaran kewajiban utang sementara selama 45 hari. Dalam masa ini, Kertas Nusantara dengan bantuan pengurus dan hakim pengawas diberi kesempatan melakukan upaya perdamaian dengan semua kreditornya. Salah satu upaya perdamaian yang diusulkan Kertas Nusantara adalah restrukturisasi utang. ”Upaya perdamaian jalan terus,” kata Duma.
Sebagai konsekuensi dari penundaan kewajiban membayar utang, hakim pengawas dan pengurus Kertas Nusantara harus menghitung ulang seluruh tunggakan. Setelah ada pencocokan ulang sementara, kreditor yang mengklaim punya tagihan di perusahaan pulp itu turun dari 800-an menjadi hanya 120-an. Di antara kreditor itu ada sejumlah perusahaan investasi besar dan ternama, seperti JP Morgan, Credit Suisse, sindikasi Sumitomo, dan Allied Ever Investment Ltd. ”JP Morgan dan Credit Suisse mengklaim punya tagihan sekitar US$ 70 juta,” katanya. Kreditor lokal di luar Multi Alphabet antara lain PT Dhanawibawa Artha Cemerlang.
Klaim tagihan sindikasi Sumitomo tak kalah besar, mencapai sekitar Rp 1,8 triliun. Menurut sumber Tempo tadi, sindikasi Sumitomo punya tagihan besar setelah membeli hak tagih (cessie) Bank BNI di Kiani Kertas—sebelum berubah menjadi Kertas Nusantara. ”Mereka membeli dengan harga diskon, bahkan relatif murah,” ujarnya. ”Apalagi tagihan eks milik BNI berstatus utang berjaminan.”
Atmajaya Salim, kuasa hukum dari sindikasi Sumitomo, membenarkan bahwa tagihan sindikasi Sumitomo berasal dari piutang BNI. Total anggota sindikasi, kata dia, ada 16 perusahaan, di antaranya Sino Perfect Investment (Inggris) dan JP Morgan. Namun, menurut Atmajaya, dalam verifikasi awal di Alila, pengurus dan hakim pengawas menolak klaim Sino Perfect senilai Rp 1,6 triliun. Alasannya, Sino tak bisa menunjukkan dokumen asli sebagai bukti hak memiliki tagihan di Kertas Nusantara. ”Itu belum final. Kami akan banding dan segera melengkapi bukti-bukti,” ujar Atmajaya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Klaim tagihan Allied Ever Investment di Kertas Nusantara tak kalah gede, US$ 67 juta (sekitar Rp 600 miliar). Tiga tahun lalu, perusahaan investasi di Wanchai, Hong Kong, ini juga sempat menggugat pailit Kertas Nusantara. Allied kesal karena tagihannya waktu itu senilai US$ 20 juta tak kunjung dilunasi. Belakangan Allied mencabut gugatan. Kertas Nusantara merestrukturisasi utang kepada Allied.
Sumber Tempo lainnya mengatakan Letnan Jenderal (Purnawirawan) Luhut Binsar Panjaitan merupakan salah satu pemilik Allied Investment. Pada 2005, Luhut dan Prabowo semula bergabung mengambil alih Kiani dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Luhut juga pernah menjadi Komisaris Utama Kiani Kertas. Luhut belum bisa dimintai tanggapan. Permohonan Tempo untuk bertemu dan mewawancarainya belum direspons. Namun Sheila Solomo dari S & B Law Firm, sebagai kuasa hukum Allied, membantah Luhut pemilik Allied. ”Salah satu pemilik Allied itu hanya kenal Luhut Panjaitan,” katanya kepada Tempo pekan lalu.
Dirunut ke belakang, persoalan utang yang membelit Kertas Nusantara ini sejatinya bukan barang baru. Saat dikuasai pemilik lama, Bob Hasan, utang Kiani sudah besar. Ketika Prabowo, Luhut, dan Bank Mandiri mengambil alih Kertas Nusantara dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada 2004, masalah utang—juga seretnya modal—telah menjadi bom waktu yang membuat perusahaan ini oleng, bahkan karam. ”Saya menyelamatkan Kiani ini demi nasionalisme,” ujar Prabowo dalam situs pribadinya, Prabowosubianto.info.
Sekarang Prabowo dan juga manajemen Kertas Nusantara sedang berjuang agar kapal Kertas Nusantara tak kembali karam. Alhasil, selama masa penundaan pembayaran utang ini, Kertas Nusantara mengajukan usul restrukturisasi utang dengan skema berbeda-beda. Bagi kreditor berjaminan (separatis), utang akan dilunasi selama 15 tahun. Bagi kreditor tanpa agunan (konkuren), utang akan dibayar dalam 20 tahun. (Lihat tabel.)
Sayangnya, Prabowo belum bisa dimintai tanggapan. Pertanyaan Tempo lewat surat elektronik dan surat ke kantornya belum direspons. Upaya majalah ini meminta konfirmasi dari sahabatnya, Fadli Zon, juga nihil hasilnya. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra yang juga Komisaris Kertas Nusantara itu tak membalas pertanyaan lewat pesan pendek dan surat elektronik. Komisaris Kertas Nusantara Dwijono Harjanto, yang juga anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, pun tak bisa ditemui. ”Sudah lama ia tak pernah datang,” kata Wakil Ketua Komisi Energi Zainudin Amali. Kabarnya, Dwijono sakit.
Aksi tutup mulut juga menular ke para kuasa hukumnya. Iyan Siregar berkali-kali dihubungi, tapi selalu menjawab, ”Saya sedang rapat.” Namun Iyan kepada wartawan pernah mengatakan optimistis dengan prospek Kertas Nusantara. ”Perusahaan masih punya aset-aset bagus dan calon investor baru untuk menjalankan usaha kembali,” ujarnya.
Sampai saat ini memang belum jelas posisi para kreditor yang menerima dan menolak perdamaian. Yang terang, nasib Kertas Nusantara kini ada di tangan para kreditornya, terutama yang kakap. Jika mereka menerima usul restrukturisasi utang, Kertas Nusantara akan lolos dari lubang jarum dan terus beroperasi. Sebaliknya, jika para kreditor menolak upaya damai, bukan tak mungkin perusahaan itu hanya akan tinggal nama.
Padjar Iswara, Anne Handayani, Agoeng Wijaya, Wahyu Muryadi
Usul Restrukturisasi Utang Kertas Nusantara
A. Utang Berjaminan (separatis) -----> Pelunasan utang pokok selama 15 tahun
Cicilan tahunan US$ 5 juta
Cicilan tahunan naik jadi US$ 25 juta
Cicilan tahunan US$ 25 juta
Sisa utang US$ 115 juta dilunasi dengan pinjaman baru
B. Utang Tak Berjaminan (konkuren) -----> Pelunasan utang pokok selama 20 tahun
Cicilan tahunan US$ 1 juta
Cicilan naik jadi US$ 2 juta
Cicilan tahunan US$ 4 juta
Sisa utang US$ 383 juta dilunasi dengan pinjaman baru
Jalan Panjang Kiani
4 April 1991
Mohammad Bob Hasan mendirikan PT Kiani Kertas.
1996
Kiani mendapat pinjaman dana reboisasi Rp 250 miliar melalui Keppres Nomor 93/1996. Belakangan Kementerian Kehutanan menyatakan dana itu urung dikucurkan.
1997
Kiani mulai beroperasi komersial dengan kapasitas produksi lebih dari 500 ribu ton per tahun.
6 November 1998
Bob Hasan menyerahkan Kiani ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), terkait dengan utang macet Bank Umum Nasional Rp 8,917 triliun.
31 Oktober 2002
Bank Mandiri dan konsorsium PT Anugra Cipta Investa (Prabowo Subianto dan Luhut Panjaitan) membeli tagihan utang Kiani senilai US$ 990,8 juta dari BPPN dengan membayar US$ 200 juta (saat itu setara dengan Rp 1,76 triliun). Mandiri menyetor US$ 170 juta; Anugra US$ 30 juta.
27 Juni 2003
Fayola Investment (perusahaan yang terkait dengan Prabowo Subianto) membeli seluruh saham Kiani senilai Rp 7,106 triliun.
November 2003
Bank Indonesia menegur Bank Mandiri karena restrukturisasi utang Kiani tak beres dalam setahun pertama sejak pembelian hak tagih dari BPPN. Sejak itu status kredit Kiani menjadi kredit macet.
Oktober 2004
Kiani mengalami krisis modal kerja dan perlu sedikitnya US$ 50 juta. Prabowo, melalui Nusantara Energy, menyetor modal US$ 15 juta.
Desember 2004
Bank Mandiri merestrukturisasi utang Kiani yang sudah membengkak menjadi Rp 2,2 triliun.
Maret 2005
BPK menyerahkan hasil audit atas pengelolaan kredit Bank Mandiri kepada DPR. Pengambilalihan tagihan utang Kiani oleh Bank Mandiri dan konsorsium pada 31 Oktober 2002 dipersoalkan.
Mei 2005
Kejaksaan Agung mencurigai korupsi dalam proses pengambilalihan tagihan utang Kiani.
Januari 2007
Kiani mencicil bunga utangnya kepada Bank Mandiri US$ 37 juta. Sejak itu status kredit Kiani diubah menjadi lancar. Belakangan, pada akhir tahun yang sama utangnya dilunasi.
Maret 2007
Kiani berubah nama menjadi PT Kertas Nusantara.
Desember 2008
Allied Ever Investment Ltd, Hong Kong, menggugat pailit Kertas Nusantara lantaran tak bisa membayar utang dan bunga US$ 32,9 juta. Allied mencabut gugatannya sebulan kemudian.
Februari 2009
Digugat pailit PT Multi Alphabet Dinamika, tapi kemudian dicabut karena ada perjanjian penyelesaian utang.
Mei 2009
Allied kembali menggugat pailit. Tapi kemudian mencabutnya lagi.
Mei-juni 2011
Multi Alphabet kembali menggugat pailit Kertas Nusantara. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan Kertas Nusantara.
1 Juni 2011
Kejaksaan Agung menghentikan penyidikan dugaan korupsi pengambilalihan aset Kiani oleh Bank Mandiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo