Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suko barangkali punya nyali seember. Dia tak mundur kendati dijauhi tetangga, diintimidasi petugas penyuluh pemerintah, dan pada kartu penduduknya diberi cap anggota organisasi terlarang. Pada masa Orde Baru, cap seperti itu bisa berarti masa depan bakal suram.
Semua itu demi benih padi lokal. "Saya ini cuma petani yang ingin bertani," kata Suko, 73 tahun, sembari menyesap asap dari sebatang kretek Gudang Garam Djaja, pekan lalu.
Demi menggenjot produksi padi nasional, lewat program seperti Intensifikasi Massa dan Bimbingan Massa, dengan rupa-rupa cara, pemerintahan Presiden Soeharto "memaksa" petani menanam benih padi unggul. Suko menolak kebijakan ini. Di sawah seluas enam hektare yang dia sewa, Suko memilih menanam benih padi lokal, seperti Menthik Susu, Jowo Melik, Kenongo, Rening, dan Papah Aren. "Tak pernah sekali pun saya menanam benih padi unggul dan hibrida," ujar Mbah Suko—begitu dia biasa disapa. Dari Dusun Kenteng, Desa Mangunsari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, beras Mbah Suko dijual ke Jakarta dan pelanggan di kota-kota lain.
Dulu petani penanam benih lokal, seperti Mbah Suko dan Mbah Murdjiyo di Bantul, Yogyakarta, diintimidasi dan dimusuhi. Sekarang, di beberapa daerah, petani mulai kembali ke bibit padi lokal. Benih padi hibrida yang acap menjanjikan hasil panen yang mencengangkan mulai ditinggalkan. Tahun lalu, menurut data Kementerian Pertanian, luas sawah yang ditanami benih hibrida 300 ribu hektare. Tapi awal tahun ini berkurang menjadi 298 ribu hektare.
"Hasilnya kurang bagus," kata Sumanto, 43 tahun, petani dari Kecamatan Karangmojo, Gunung Kidul. Dia pernah mencoba menanam benih padi hibrida Bernas Rokan. Dari sawah seluas 1.000 meter hanya bisa dipanen 730 kilogram gabah Bernas Rokan. Jika menanam benih lokal, seperti Situbagendit, dia bisa mendapatkan lebih dari satu ton gabah. Bernas Rokan adalah benih hibrida yang lisensinya dimiliki PT Sumber Alam Sutra, anak usaha Grup Artha Graha.
Padi hibrida, kata Sumanto, juga lebih rewel. Padi jenis ini makan pupuk jauh lebih banyak ketimbang padi nonhibrida. Ketika menanam benih hibrida, Sumanto perlu tiga ton pupuk organik. Tapi sekarang, setelah beralih ke bibit lokal, dia hanya perlu pupuk dua ton.
Majeriansyah, petani di Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, punya cerita serupa. Dua kali menanam bibit hibrida, dua kali pula dia gagal panen. Kapok sudah. Kini dia menanam padi Siam Mutiara dan Siam Unus. Masa tanam tujuh bulan atau satu setengah kali lebih lama ketimbang bibit unggul atau hibrida buat Majeriansyah tak jadi soal. Bagi orang Banjar, padi Siam lebih cocok di lidah. Nasi beras hibrida atau unggul, kata dia, lembek sewaktu masih panas, tapi berubah jadi keras kala dingin. Padi Siam pun tak rewel. Ia irit pupuk dan relatif bandel dari serangan wereng.
Hajrial Aswidinnoor, peneliti padi di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor, mengatakan benih padi hibrida memang didesain menyerap pupuk dengan lahap. "Karena bibit ’elite’, untuk hidup dia perlu perlakuan serba mewah," kata Hajrial. Harga benih padi hibrida ini bisa sepuluh kali lipat dibanding benih padi unggul inbrida, seperti Inpari, Ciherang, Cisadane, atau Mamberamo.
Bukan cuma urusan janji panen yang sering gagal dipenuhi padi hibrida, menurut Nugroho Wienarto, Direktur Eksekutif Farmer’s Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy, benih buatan pabrik itu membuat petani kehilangan kemandirian atas bibit. Sekali ditanam, padi hibrida tak bisa ditangkarkan petani lagi. "Hasil panen keduanya pasti langsung jeblok," kata Nugroho. Untuk menjaga hasil panen, petani dipaksa membeli benih kembali dari perusahaan bibit hibrida.
Seperti Mbah Suko, yang tak pernah membeli bibit padi, sedari dulu petani sebenarnya selalu menangkarkan benih sendiri. Ada ribuan jenis padi lokal hasil pembenihan petani di pelbagai daerah di negeri ini. Namun sebagian besar benih padi lokal itu sudah sulit ditemukan akibat penyeragaman bibit unggul pada masa Orde Baru.
"Pemerintah lupa dengan kekayaannya sendiri," Nugroho menyesalkan hilangnya benih-benih padi lokal itu. Padahal, menurut Hajrial, benih-benih lokal ini sudah beradaptasi dengan kondisi tanah dan hama tanaman setempat. Keunggulan yang tak dimiliki benih hibrida, seperti Bernas Prima, yang didatangkan dari Cina. Hajrial menyarankan pemerintah mengembalikan keragaman benih padi dengan mengkombinasikan benih-benih lokal, bibit unggul, dan hibrida. "Jadi, kalau satu jenis padi gagal panen, masih ada penyangganya."
ANDA pasti belum pernah mendengar nama padi atau menemukan beras ini di hipermarket sekalipun: Alhamdulillah, Senapati, dan Saelong. Benih ini merupakan hasil penyilangan padi-padi lokal yang dilakukan kelompok tani Karya Peduli Petani di Desa Jengkok, Kecamatan Kertasmaya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Para petani di Desa Jengkok ini belajar menyilangkan padi dari pelatihan yang diadakan Farmer’s Initiative pada 2004. "Ternyata tidak sulit," ujar salah satu petani. Menurut Joharipin, Ketua Karya Peduli, awalnya mereka memilih lima jenis padi lokal sebagai induk, yakni Longong, Gundil Merah, Gundil Putih, Jalawara Merah, dan Jalawara Putih.
Butuh berulang kali uji coba penyilangan hingga didapatkan benih padi yang stabil. Akhirnya, pada keturunan kelima (filial 5), penyilangan jenis Kebo dengan Longong diperoleh benih padi yang diberi label Bongong. Si Kebo Longong alias Bongong ini lumayan tangguh dan produktif.
Biasanya dengan benih Kebo hanya bisa dipanen 8 ton gabah, sementara padi Ciherang hanya menghasilkan 5-6 ton gabah. Adapun panen padi Bongong bisa menembus 12,8 ton gabah. Penggunaan pupuk pun lebih irit. Benih lain dalam satu kali tanam perlu 12 kali pemupukan. Bongong hanya butuh empat kali pemupukan. Sekarang benih Bongong sudah menyebar ke pelbagai daerah hingga ke Sulawesi, bahkan diminati petani dari Filipina dan Malaysia.
Namun Joharipin dan kawan-kawannya sepertinya tak akan pernah bisa memperjualbelikan Bongong. Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman dan beberapa peraturan lain memasang syarat dan proses yang tak akan pernah bisa dipenuhi petani seperti mereka supaya mendapatkan lisensi penjualan (pelepasan) benih padi. "Untuk memenuhi syarat itu, paling tidak butuh biaya lima ratus juta rupiah," kata Nugroho. Sebuah angka yang hanya mungkin dipenuhi perusahaan-perusahaan benih.
SP, Khaidir Rahman (Banjarmasin), Ivansyah (Indramayu), Anang Z. (Yogyakarta)
Perlawanan dari Lereng Merapi
Harga beras organik biasanya berlipat kali lebih mahal ketimbang beras non-organik. Tapi jangan salah kira. Menurut Suko, 73 tahun, menanam benih padi lokal dengan cara organik (tanpa pupuk pabrik dan semprotan pestisida) justru lebih gampang dan lebih murah ketimbang padi hibrida.
Mbah Suko juga tak mau menyemprot sawahnya dengan pestisida dan tak pernah menggunakan pupuk pabrik. "Saya hanya beli kantong plastiknya untuk memuat beras," ujar dia terbahak. Sudah lebih dari 50 tahun Mbah Suko menanam benih lokal tanpa pestisida.
Ada 35 benih padi lokal yang ditangkarkan Mbah Suko di Kenteng, Desa Mangunsari, Kecamatan Sawangan, Magelang, di antaranya Rojolele, Menthik Susu, Jowo Melik, Kleri, Pandan Wangi, Kenongo, dan Andel Abang. Sekali tanam, dia hanya perlu dua kali memupuk padinya dengan kompos buatan sendiri. Mbah Suko juga beruntung tinggal di lereng Gunung Merapi, yang sangat aktif. Semburan abu Merapi kaya mineral yang menyuburkan tanah.
Untuk mengusir hama, Mbah Suko dan anggota kelompok Tani Lestari membuat ramuan batang atau daun bunga azar megar dicampur sari sirsak plus tumbukan daun pandang wangi. Wereng yang sangat bandel dilawan dengan menyebarkan musuh alaminya, laba-laba penjaring. "Kami juga selang-seling jenis padi lokal untuk memutus siklus wereng," katanya.
Pada mulanya tak gampang mengumpulkan benih-benih padi lokal. Kebijakan penyeragaman bibit unggul pada masa Orde Baru membuat benih-benih padi lokal menghilang. Dia harus berkeliling ke desa-desa di sekitar Magelang untuk mengumpulkan benih-benih lokal itu. "Kalaupun dapat benih," katanya, mengenang, "paling hanya dua ons, karena para petani ketakutan."
Sekian lama berkubang lumpur, Mbah Suko memilih tak memiliki sawah. Dia menyewa enam hektare sawah untuk ditanami benih padi lokal. Sawah itu dia sewa selama tiga tahun dengan ongkos Rp 1 juta per hektare.
SP, Pribadi Wicaksono (Magelang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo