Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi, tunggu. Ini bukan temu wicara. Sekelompok orang di depannya tidak membungkuk atau memanggilnya dengan rasa hormat yang dalam, "Bapak..." Mereka juga tidak sedang memujanya, lalu minta bantuan: membangun masjid, modal koperasi, membeli ternak. Bukan. Mereka adalah sekelompok jaksa yang memanggilnya, "Saudara..." Mereka bertanya dengan nada yang tegas, kadang menusuk. Nama? Pekerjaan? Saudara mengerti maksud pemeriksaan ini?
Rabu, 9 Desember, enam setengah bulan setelah lengser, Soeharto memulai hari baru. Bekas presiden dan orang kuat Indonesia itu kini duduk di depan satu tim jaksa pemeriksa. Soeharto memang belum lagi menerima sebutan tersangka. Ia baru terperiksa. "Soeharto diperiksa karena laporan masyarakat tentang dugaan adanya korupsi," begitu pernyataan resmi dari Kejaksaan Agung.
Korupsi? Bagaimana memulainya? Setelah begitu banyak tudingan penyalahgunaan kekuasaan terhadap Soeharto, agaknya tak mudah mencari titik awal. Tapi Kejaksaan Agung sudah punya target. Sebagai langkah awal, Soeharto diperiksa dengan dua sasaran bidik: proyek mobil nasional (mobnas) dan penyelewengan dana yayasan.
Sebenarnya ada satu materi lain yang sudah disiapkan. Tapi yang terakhir ini sifatnya masih menjaring-jaring informasi. Penyelidikan yang menyangkut "penyimpangan lain-lain" ini meliputi pertanyaan seputar kekayaan pribadi, mulai dari kepemilikan atas rumah, rekening, penguasaan atas tanah, bangunan, Taman Mini, hingga peternakan Tapos.
Dalam hal mobnas, indikasi penyalahgunaan kekuasaan memang tercium tajam. Untuk kelangsungan proyek berlabel "kemandirian industri mobil nasional" ini, Soeharto mengeluarkan jurus sapu jagat: instruksi presiden (inpres) dan keputusan presiden (keppres). Melalui dua keputusan ini, Soeharto memberikan fasilitas pembebasan pajak bea masuk dan pajak pertambahan nilai barang mewah (PPnBM) untuk impor mobil Timor. Proyek empuk ini diberikan kepada Hutomo Mandala Putra, anaknya sendiri.
Dengan fasilitas ini, Tommy mestinya gampang memperkaya diri sendiri. Hitung saja. Mobil yang diimpor utuh alias completely built up mestinya hanya bisa masuk ke Indonesia setelah membayar pajak bea masuk 200 persen dari harga beli. Setelah itu, masih pula harus membayar PPnBM 35 persen. Tapi, khusus untuk Timor, digratiskan (lihat boks).
Jadi, Tommy bebas mengimpor mobil KIA dalam bentuk utuh bulat-bulat dari Korea Selatan tanpa membayar pajak apa pun, lalu menjualnya di Indonesia dengan merek Timor. Kalau mau dihitung, dengan mengimpor 11 ribu unit Timor utuh dan 39 ribu unit dalam bentuk rakitan, Tommy Soeharto mestinya harus membayar pajak hingga US$ 1,3 miliar atau hampir Rp 10 triliun (pada kurs Rp 7.500 per dolar saat ini).
Dengan subsidi superdahsyat ini, Soeharto berharap pelan-pelan proyek mobnas ini bisa memproduksi sendiri mobil dengan memanfaatkan komponen lokal. Setelah satu tahun, porsi kandungan lokal yang diserap Timor diharapkan akan mencapai 20 persen. Porsi domestik ini terus dinaikkan hingga 60 persen pada tahun ketiga.
Hasilnya? Seperti sudah banyak diduga sebelumnya, cita-cita ini tak pernah kesampaian. Mobnas bukan cuma gagal memenuhi target pemakaian komponen lokal. Lebih dari itu, penjualan Timor macet. Sisa Timor yang belum terjual harus direekspor ke luar negeri, kabarnya, dengan bantuan kredit murah sebuah bank pemerintah. Utang Timor ke dua bank pemerintah macet tak terbayar.
Melawan hukumkah Soeharto? Mestinya memang mudah menudingnya begitu. Gara-gara keputusan ini, pendapatan pajak negara dirugikan Rp 10 triliun. Tapi, menurut Mohamad Assegaf, salah satu pengacara Soeharto, agaknya terlalu rumit untuk menyeret Soeharto ke pengadilan.
Soalnya, dalam tindak pidana korupsi harus ditemukan unsur melawan hukum. Nah, dalam hal mobnas, "Tak ada perbuatan melawan hukum," katanya. Keppres itu, menurut Assegaf, sesuai dengan amanat GBHN untuk membentuk perekonomian yang mandiri. Amanat ini kemudian dijabarkan Pak Harto, salah satunya dalam keppres mobnas.
Lagipula, masih menurut Assegaf, keppres tentang mobnas itu sudah dibuat pertanggungjawabannya di depan MPR. Dan--ini repotnya--lembaga yang mewakili suara rakyat itu sudah menerima pertanggungjawaban itu. Jadi, "Jelas, keppres soal mobnas itu sah secara hukum," katanya.
Memang masih bisa dipersoalkan, mengapa proyek prestisius ini hanya jatuh ke tangan Tommy. Tapi Soeharto agaknya juga sudah siap dengan jawaban, "Inpres itu berlaku umum, kebetulan Tommy yang mengajukan proposal." Tentu saja ini tangkisan yang terkesan lupa sejarah. Sejak awal pendirian PT Timor Putra Nasional, tak sedikit pengusaha yang cemburu lantaran merasa lebih siap menyandang proyek mobnas.
Bahkan, Bambang Tri pun tak ketinggalan. Kakak Tommy ini menggandeng raksasa mobil Korea Selatan, Hyundai, dan berniat berat mendapatkan proyek mobnas. Lalu mengapa kalau keppres ini berlaku umum, yang mendapatkan cuma Tommy? Menurut Assegaf, pemilihan ini tetap saja bukan pelanggaran hukum. Cuma, "Tak etis, kok kebangetan betul dikasih ke anaknya," katanya.
Kalaulah pemilihan Tommy ini benar melanggar, masih juga perlu dipertanyakan: apakah secara hukum ini semua merupakan kesalahan Soeharto sendiri? Ini juga sulit dijawab. Dalam babak pertama pemeriksaan, Soeharto berdalih cukup jitu: inpres dan keppres untuk Timor tidak begitu saja dikeluarkan. Keputusan untuk membuat proyek mobnas merupakan hasil rembukan bersama dengan para menteri.
Selama pemeriksaan, menurut Assegaf, Soeharto memang tak menyebut langsung nama para menteri yang membantunya mengegolkan mobnas. Ia cuma menyebut departemennya, yaitu Departemen Keuangan (ketika itu dipimpin Mar?ie Muhammad), Departemen Perdagangan dan Industri (Tunky Ariwibowo), dan Kantor Menteri Negara Investasi/Ketua BKPM (Sanyoto), serta Direktorat Jenderal Bea Cukai (Soehardjo). Jadi, "Ini bukan instruksi Soeharto saja," kata Assegaf.
Jika sulit menjaring soal mobnas dalam hal kebijakan, bisakah proyek mobnas akan menyeret Soeharto ke pengadilan untuk pelanggaran yang lain? Salah satunya, mungkin bisa saja ditelusuri dari pencairan kredit perbankan kepada proyek Timor. Untuk membantu pengembangan proyek mobnas, sebuah sindikasi bank nasional dibentuk. Sindikasi 16 bank yang dipimpin Bank Dagang Negara (BDN) ini sepakat untuk memberi Timor kredit hingga US$ 1,3 miliar.
Memang betul, selain BDN yang telanjur mencairkan US$ 100 juta, ke-15 bank yang lain, kabarnya, belum sempat mencairkan kredit untuk Timor. Tapi bukan itu persoalannya. Masalahnya, mengapa para direksi bank itu dengan gampang menyetujui pemberikan kredit raksasa US$ 1,3 miliar kepada Timor.
Sejauh ini memang belum ada bukti resmi bahwa para bankir itu ditekan untuk menyetujui kredit untuk Timor. Tapi petunjuk ke arah itu sebenarnya bukan hal baru. Sejumlah bankir merasa terpaksa meneken perjanjian kredit itu lantaran tak berani menolak keinginan putra presiden.
"Tekanan" mengegolkan kredit buat Timor juga terlihat dari campur tangan Bank Indonesia, otoritas moneter yang mengawasi bank-bank. Kabarnya, suatu hari, salah seorang direktur Bank Indonesia memanggil pengurus 13 bank. Sang direktur meminta agar para direktur bank komersial membantu pembangunan pabrik Mobnas. Ketika itulah, sindikasi kerdit untuk Timor diteken. Saat itu, kata seorang bankir, "Siapa berani menolak permintaan Timor yang sangat didukung penuh oleh Presiden?" Keterpaksaan yang sama juga dialami para direksi Bank Bumi Daya (BBD). Bank pemerintah ini memberikan kredit US$ 200 juta untuk mengimpor 39 ribu unit Timor.
Memang sulit membuktikan apakah tekanan ini datang atas perintah Soeharto atau muncul karena rasa takut atau rasa sungkan yang berlebihan dari para bankir. Juga tak mudah untuk menilai apakah rasa takut itu berlebihan atau tidak. Pada zaman pemerintahan Soeharto, penolakan berarti hilangnya jabatan. Pengalaman Omar Abdalla, yang kehilangan jabatan sebagai Direktur Utama BBD setelah menolak permintaan kredit Bimantara, hanya salah satu bukti. Ketakutan Maman Soeparman, Kepala Kantor Bappindo Cabang Rasuna Said, menolak permintaan kredit untuk Eddy Tansil menjadi petunjuk yang lain.
Karena itu, jika harus menunggu bukti hukum, jika harus mencari celah-celah pelanggaran peraturan, pemeriksaan Soeharto bisa-bisa cuma terjerumus dalam basa-basi politik yang percuma. Walau dengan sejumlah petunjuk yang terang, orang kuat Indonesia itu akan tetap tenang, tersenyum, seperti ketika menghadapi para peserta temu wicara.
Dwi Setyo, Mardiyah Chamim, Andari K. Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo