Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu Pak Harto baru saja lepas dari beban yang begitu berat mengimpitnya dalam dua bulan terakhir: kasus Bank Duta. Bank swasta yang sebagian besar sahamnya dikuasai yayasan-yayasan Pak Harto itu terancam bangkrut. Bank Duta dihantam kalah permainan valuta asing. Sekitar US$ 297 juta menguap begitu saja. Plas. Pemindahan besar-besaran hampir seluruh dana yayasan dari bank lain ke Bank Duta tak juga menolong....
Untunglah, pada saat-saat genting seperti itu, muncul Prajogo Pangestu. Pengusaha kayu yang sedang berkibar-kibar ini datang sebagai dewa penolong. Ia menyuntikkan sekitar US$ 220 juta, tunai, untuk Bank Duta. Ada konsesi atau imbalan khusus? Kabarnya, sih, tidak. Prajogo tak menerima imbalan bunga premium, tak juga menguasai saham Bank Duta.
Tak mengherankan jika Pak Harto merasa amat berutang budi. Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, yang saat itu juga sedang ada di Cendana, mencoba nyeletuk. "Bukannya terbalik, Prajogo yang berutang budi kepada Bapak." Tapi, menurut Moerdiono, Pak Harto tetap ngotot bahwa dialah yang berhutang budi.
Utang budi itu mungkin akan terlupa begitu saja jika setahun kemudian Prajogo tak mengejutkan publik dengan rencana raksasanya. Prajogo, pemegang konsesi hutan seluas Swiss, menggelar satu proyek ambisius: sebuah kompleks industri petrokimia yang akan mengolah nafta menjadi bahan dasar industri plastik, film, dan kemasan. Megaproyek yang dinamainya Chandra Asri (CA) itu rencananya akan menelan dana US$ 1,8 miliar, US$ 400 juta di antaranya akan diduiti sendiri. Dahsyat! Selain Prajogo, Chandra Asri juga akan dimodali Bambang Trihatmodjo, putra ketiga Pak Harto.
Tak pelak, megaproyek ini menimbulkan tanda tanya, apakah CA lahir lantaran beban utang budi tadi. Entahlah. Tapi, yang jelas, kendati menghadapi banyak ganjalan, proyek raksasa ini seperti melaju di jalan tol, begitu mulus.
Beberepa bulan setelah CA mulai konstruksi, perekonomian Indonesia diserang badai. Utang luar negeri swasta dianggap sudah membahayakan sehingga perlu diatur. Proyek CA termasuk yang harus disetop. Tapi Prajogo berkelit. Dengan lihai, ia mendirikan perusahaan di Hong Kong untuk mengakuisisi saham CA. Ia menggandeng Marubeni dan menjadikan CA sebagai proyek yang 100 persen diduiti oleh "modal asing". Dengan status baru ini, CA boleh jalan terus.
Lolos dari jebakan penjadwalan, CA menghadapi ganjalan lain. Sindikasi bank internasional yang memberi utang US$ 720 juta meminta syarat: bank lokal harus ikut memberi kredit. Padahal ketika itu proyek-proyek yang utang luar negerinya gede dilarang berhubungan bisnis dengan BUMN. Tapi, entah bagaimana caranya, dua bank pemerintah--BBD dan BDN--mau menjamin surat utang (L/C) untuk kepentingan impor CA. Keduanya memasok pinjaman sampai US$ 550 juta....
Utang itu memang terus ditagih. Gubernur bank sentral (kala itu) Adrianus Mooy terus mengirim surat deadline kapan utang itu harus dilunasi. Tapi, nyatanya, tenggat itu terus terlewati. Hingga saat ini, menurut pengakuan Peter F. Gontha, salah satu komisaris CA, perusahaan petrokimia itu masih punya tunggakan utang ke BBD dan BDN. Sebagian dari utang ini sudah diubah menjadi penyertaan saham, sebagian lagi sedang dibicarakan penjadwalannya.
Bukan itu saja. Setelah berhasil berdiri dan beroperasi pun, CA terus diproteksi. Kendati diprotes di sana-sini, pemerintah tetap mengenakan bea masuk olefin sampai 45 persen (kini sudah berkurang menjadi 20 persen) agar produk CA kompetitif. Bahkan, saking besarnya dukungan pemerintahan Soeharto kepada CA, sampai-sampai Menteri Keuangan Mar?ie Muhammad pernah digusur dari wewenangnya mengetuai tim tarif (yang memegang keputusan tarif bea masuk).
Menurut Gontha, proteksi bea masuk ini lazim diberikan untuk industri petrokimia yang masih bayi. Karena itu, ia tak yakin, CA diperlakukan istimewa karena Pak Harto ingin membalas jasa Prajogo.
Tapi, apa pun pendapat Gontha, sejumlah ekonom memang tak melihat urgensi proyek CA dalam perekonomian. Mereka malah cenderung yakin, sebuah proyek yang terlalu banyak disubsidi akan mendistorsi pasar dan akhirnya membuat perekonomian tidak efisien. Dalam kasus Chandra Asri, konsumen harus membayar lebih mahal dari yang seharusnya.
Membuktikan CA sebagai salah satu proyek kroni memang tidak mudah. Tapi kasus ini bisa menjadi salah titik tolak penyelidikan adanya dugaan korupsi. Kasus yang lain adalah Goro dan penyertaan modal Taspen ke sejumlah perusahaan nasional (lihat boks).
Goro, pusat perkulakan milik Tommy Soeharto yang sering dipelesetkan menjadi goro-goro ini, sejak berdiri memang banyak membuat gara-gara. Mulai dari kasus penggelapan uang negara milik Bulog, jual beli saham dengan Inkud, hingga kasus tukar guling (ruilslag) gudang Bulog.
Ceritanya, gudang 23 hektare di Kelapa Gading itu akan ditukar Goro dengan gudang dan fasilitas perumahan untuk karyawan Bulog di atas 63 hektare tanah di kawasan Marunda, Jakarta Utara. Tapi boro-boro ada gudang terbangun, Goro cuma mampu membebaskan 8 hektare tanah. Sisanya Buloglah yang membebaskan, dengan dana Bulog sampai Rp 50 miliar.
Saat ini, kasus tukar guling Goro memang telah "berjasa" menggiring Tommy untuk diperiksa di Kejaksaan Tinggi Jakarta. Tapi cerita aneh Goro sebenarnya bukan cuma itu. Kasus penjualan saham Goro kepada Inkud hingga kini tetap saja belum diutak-utik.
Jadi, sebenarnya masih banyak jalan ke Roma. Sesungguhnya banyak sekali proyek "aneh" yang bisa dijadikan bahan penyelidikan....
Dwi Setyo, Leila S. Chudori, Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo