Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain Timor, sasaran tembak kedua adalah dugaan penyelewengan dana di yayasan milik Soeharto. Yayasan ini umumnya dibentuk dan dibiayai dengan memobilisasi dana publik. Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YDSM), misalnya, mendapatkan duit dengan mengutip perusahaan dan orang-orang kaya. Setiap perusahaan diminta menyisihkan 2 persen labanya untuk disumbangkan ke YDSM. Jika ini dilakukan, jumlah sumbangan itu diperhitungkan dalam pengurangan pajak.
Ide pembentukan yayasan-yayasan ini memang mulia. Ada yang menopang kehidupan para istri purnawirawan dan veteran perang, ada yang membantu kesejahteraan petani teh, ada pula yang membantu pendidikan anak-anak cerdas tapi kurang mampu. Pendek kata, yayasan-yayasan ini bertujuan untuk peningkatkan kesejahteraan keluarga miskin dan telantar.
Tapi, dalam perjalanannya, banyak hal yang dirasakan ganjil. Contohnya, lebih dari separuh total dana yayasan, yang Rp 5,7 triliun, ditanam di bidang bisnis. Ada yang dalam bentuk piutang--dipinjamkan ke teman main golf Pak Harto, yakni Mohammad Bob Hasan, Rp 750 miliar--ada pula yang dibelikan obligasi, serta penyertaan saham di perusahaan-perusahaan kroni Soeharto. Artinya, dana yang digunakan untuk menjalankan misi sosial menurut AD/ART yayasan justru lebih sedikit ketimbang yang digunakan untuk menggemukkan bisnis Soeharto dan kroninya.
Namun Jaksa Agung Andi M. Ghalib mengakui, penggunaan dana yayasan untuk kepentingan bisnis belum bisa dipersalahkan secara hukum. "Tapi, dari segi etika bisnis dan prinsip umum yayasan, tentunya kurang dapat diterima," katanya saat dengar pendapat dengan anggota DPR, pekan lalu. Apalagi, sebagai presiden, Soeharto mestinya menggunakan otoritas publik untuk kepentingan seluruh rakyat. Tapi nyatanya otoritas publik itu dipakai untuk kepentingan Soeharto sebagai ketua yayasan. Padahal, sesuai dengan UU Pajak Penghasilan (PPh) Tahun 1994, yayasan ini sudah dibebaskan dari tabungan, deposito, dan sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Selain "insentif" yang berlaku umum itu, ketujuh yayasan Soeharto sungguh dimanjakan oleh pelbagai peraturan lain sebagai hasil otoritas publik sang Presiden. Sebuah keputusan presiden siap diterbitkan kapan saja, bahkan tanpa landasan hukum yang jelas. Seorang mantan pejabat tinggi yang dihubungi TEMPO bercerita tentang "modus operandi" penerbitan keppres untuk yayasan. Bila sudah berkehendak, Soeharto sendiri yang akan merumuskan poin-poin keppres yang diinginkan. Soal dasar hukum? Bisa dicari kemudian.
Ini terjadi, misalnya, ketika Sekretariat Negara diminta mengemas keppres yang mengharuskan setiap perusahaan menyetor 2 persen keuntungan kepada Yayasan Dana Kesejahteraan Mandiri (YDSM). Menurut pejabat ini, Moerdiono sebagai Mensesneg pusing tujuh keliling. "Pak Moer bolak-balik mencari dasar hukumnya, tapi tak juga ketemu," kata pejabat ini. Tenggat berlalu, dasar hukum masih belum terpegang. Akhirnya Soeharto menegaskan, keppres tetap dilansir. Dasar hukumnya? "Ya, Pancasila. Jangan kuatir, nanti saya yang mempertanggungjawabkan," begitu kata Moerdiono menirukan Soeharto, seperti dikutip sumber TEMPO tadi.
Contoh lain bisa dilihat pada hebohnya kasus pendirian Hotel Mulia. Hotel milik Bambang Trihatmodjo dan Grup Mulia ini dibangun di kawasan gelanggang olah raga Senayan. Tempat ini sebenarnya tidak diperuntukkan bagi bangunan hotel swasta. Mengacu aturan tersebut, permohonan izin Bambang Tri untuk membangun Hotel Mulia ditolak Suryadi Soedirja, Gubernur DKI saat itu. Entah bagaimana prosesnya, akhirnya keluar juga izin Hotel Mulia.
Menurut sumber TEMPO, izin tersebut keluar setelah Soeharto marah dan memaksa Sekretariat Negara untuk mencari dasar hukum yang membenarkan Hotel Mulia didirikan di tanah negara. Menteri Moerdiono, konon, semula tak bersedia meneken surat izin pendirian hotel. Tapi Pak Harto ngotot. Dia bilang, "Kalau tak mau teken, biar nanti saya yang tanda tangan." Karena merasa tak enak, sumber TEMPO mengatakan, Pak Moer terpaksa meneken surat izin itu. "Masa, Presiden sampai menandatangani surat-surat sepele semacam itu," begitu kata Moerdiono seperti diceritakan sumber TEMPO.
Buntutnya, ketika Hotel Mulia diresmikan, Moerdiono tak muncul. Menurut sumber tersebut, absennya Moerdiono merupakan bentuk protes atas pemaksaan pembangunan hotel swasta di kawasan Senayan.
Kedua cerita ini memang belum bisa dikonfirmasikan kepada bekas Mensesneg Moerdiono. Tapi, melihat banyaknya kisah sejenis, cerita macam itu tampaknya bukan hal yang mustahil.
Dengan "modus operandi" semacam sumbangan 2 persen untuk YDSM dan pembangunan Hotel Mulia, tampaknya sulit dihitung berapa banyak otoritas publik yang dipaksa memihak bisnis keluarga Cendana.
Celakanya, bukti-bukti yang "terang" seperti itu tidak otomatis bisa membawa Soeharto ke meja pengadilan. Menurut Mardjono Reksodiputro, kriminolog yang kini mendalami hukum ekonomi, kasus seperti yayasan Soeharto harus diurai satu per satu. Uang yayasan bisa saja ditempatkan dalam pelbagai unit usaha mana saja yang menguntungkan. Asal, kata Mardjono, "Keuntungannya itu tak dimakan sendiri oleh para pengurusnya." Ujung-ujungnya, keuntungan itu harus dikembalikan sesuai dengan tujuan yayasan: untuk kemaslahatan rakyat banyak. Ibaratnya, duit itu boleh berputar-putar ke mana saja, asal akhirnya untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat kebanyakan.
Bahkan jika dana yayasan dipinjamkan untuk kepentingan bisnis Bob Hasan, Soeharto tidak bisa begitu saja dicap salah. Menurut Mardjono, harus dirinci lebih teliti, apakah pinjaman itu disertai dengan imbalan yang cukup. Kalau piutang yayasan ke Bob diberi bunga yang memadai, dan keuntungannya dibelanjakan untuk kepentingan rakyat, "Yayasan tak bisa disalahkan."
Agaknya "pola" pembelaan macam Mardjono inilah yang sedang diupayakan oleh para pembantu Pak Harto. Setiap kali diperiksa, orang-orang Soeharto selalu bercerita bahwa yayasan-yayasan itu berlaku seperti Robinhood. Mereka berbisnis, kalau perlu dengan sedikit jurus yang "kurang legal", tapi pada akhirnya membantu kesejahteraan rakyat kecil.
Bob Hasan, bos Nusamba--unit usaha yang dipakai untuk memutar duit yayasan Soeharto--misalnya, mengaku mendirikan Nusamba untuk membantu penghasilan petani teh. Kini, berkat Nusamba, para petani teh memiliki posisi tawar yang lumayan. Mereka bisa menjual produknya pada harga 12 kali lipat dari harga sebelumnya.
Nah, soal-soal seperti itulah yang membuat pemeriksaan Soeharto bisa saja menemui jalan buntu.
Menyeret Soeharto ke pengadilan menjadi makin mustahil jika pemerintahan Habibie sebenarnya tak punya komitmen yang kuat. Karena itu, pilihan Kejaksaan Agung yang cuma membatasi diri pada proyek mobnas dan yayasan bisa menjadi tanda tanya besar. Di luar kedua pokok masalah itu, mestinya ada banyak soal lain yang bisa diselidiki.
Misalnya? "Campur tangan" presiden ketika memilih BPPC (di bawah Tommy Soeharto) sebagai badan yang memonopoli tata niaga cengkeh. Atau, besarnya kekuatan "tangan-tangan tak terlihat" yang mendukung habis-habisan bisnis Chandra Asri; keanehan transaksi jual-beli saham antara Goro (Tommy) dan Induk Koperasi Unit Desa (Inkud); pembelian saham Barito, Danamon, dan 15 perusahaan lain oleh Taspen; atau fasilitas kredit khusus yang diterima oleh Kanindotex (Bambang Trihatmodjo).
Memang benar, dalam pelbagai kasus itu memang sulit membuktikan dan menunjuk siapa yang salah. Apalagi tak sedikit pejabat dan bankir yang tanpa "disenggol" Soeharto pun sudah rela memuluskan jalannya korupsi dan kolusi. Kasus Eddy Tanzil yang menjebol Bapindo adalah contoh gamblang. Tiga direksi Bapindo, yakni Maman Suparman, Subekti Ismaun, dan Towil Heryoto--hanya lantaran katebelece Sudomo--dengan sukarela membiarkan Eddy Tanzil menggerogoti Bapindo sampai Rp 1,3 triliun. Alhasil, ketiga direksi ini terkena jerat UU Korupsi karena memperkaya orang lain dengan jabatannya.
Dwi Setyo, Mardiyah Chamim, Andari K. Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo