Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MERASA tak punya pilihan, para produsen minyak sawit akhirnya membubuhkan tanda tangan. Maka, terikatlah mereka dengan komitmen menyisihkan sebagian produksinya untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Surat kesepakatan antara pemerintah dan pengusaha itu diteken pada awal Mei lalu. Mereka tergabung dalam Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (Aimmi), Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni), dan Gabungan Produsen Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).
Sedangkan pemerintah diwakili Direktur Jenderal Pembinaan Perkebunan Sawit Departemen Pertanian, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, dan Direktur Jenderal Agro dan Kimia Departemen Perindustrian.
Kewajiban menyisihkan sebagian produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dikenal dengan istilah domestic market obligation (DMO). Pemerintah terpaksa menempuh jalan ini lantaran produsen minyak sawit memilih mengekspor produknya ketimbang menjual di pasar lokal.
Pemicunya adalah lonjakan harga komoditas ini di pasar dunia hingga US$ 700 lebih per metrikton, dari biasanya US$ 500-an. Akibatnya, pasokan minyak sawit ke pabrikan minyak goreng di dalam negeri menyusut 5-8 persen.
Semula kebijakan DMO akan diberlakukan pada 1 Juni 2007. Namun, menurut Direktur Jenderal Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian Joko Said Darmadjati, konsepnya sedang dibahas. ”Kebijakan ini sifatnya untuk jangka panjang, sehingga pemikirannya harus matang,” ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. ”Pada akhir bulan ini kemungkinan bisa diterbitkan.”
Sebagai gantinya, Menteri Pertanian menerbitkan surat keputusan tentang program stabilisasi harga minyak goreng. Surat tertanggal 31 Mei itu mewajibkan produsen memasok 150 ribu ton minyak sawit per bulan, selama Mei-Juni. Setiap produsen kebagian jatah volume tertentu untuk disetorkan ke pabrikan minyak goreng.
Kebijakan DMO itu tak lepas dari campur tangan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada awal Mei lalu ia mengumpulkan Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian. Tiga asosiasi juga dipanggil, yakni Gapki, Gimni, dan Aimmi.
Ia meminta produsen menggerojoki pasar dengan minyak sawit murah, Rp 5.700 per kilogram sampai harga normal Rp 6.500 per kilogram. Dengan demikian, perhitungannya, harga minyak goreng di tingkat pabrikan Rp 6.100, dan harga eceran di tangan konsumen bisa turun menjadi Rp 6.500.
Bila mereka tak berhasil menormalkan harga, Kalla mengancam akan menaikkan pungutan ekspor sawit dan produk turunannya. Saat ini pungutan ekspor CPO 1,5 persen dan produk minyak goreng 0,3 persen. Bukan itu saja, sebelumnya pengusaha telah diminta menggelar operasi pasar besar-besaran.
Menurut Wakil Direktur Utama PT Indofood Sukses Makmur Tbk., Franciscus Welirang, yang membuat pengusaha tidak sepakat adalah soal harga. ”Daya beli di dalam negeri rendah, tidak bisa mengikuti harga di pasar luar negeri,” kata dia.
Toh, pada Mei lalu Indofood telah menggelontorkan minyaknya 5.000 ton. Dengan harga yang ditetapkan pemerintah Rp 5.700 per kilogram, kata Franky—panggilan akrab Franciscus Welirang—artinya perusahaan telah memberikan potongan harga 17,5 persen.
Produsen sawit lain, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk., harus menyetor 4.000 ton per bulan. Namun penyaluran tahap pertama (Mei) belum direalisasikan oleh perusahaan milik keluarga Sariaatmadja ini. Alasannya, SK Menteri Pertanian sebagai payung hukum baru terbit pada 31 Mei.
Menurut Direktur London Sumatra, Zafril Ansgar Hamzah, payung hukum itu diperlukan sebagai dasar penjualan produk di bawah harga pasar. Ia memastikan, 4.000 ton minyak sawit sudah dialokasikan dan siap digelontorkan kapan pun. ”Yang penting, intinya kami berkomitmen,” ujarnya.
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo