Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH pesan dari Singapura tiba-tiba mengejutkan lantai bursa saham Jakarta pada Kamis dua pekan lalu. Pesan penting itu datang dari First Durango Singapore Pte. Ltd., pemilik mayoritas saham PT PP London Sumatera Indonesia Tbk. Melalui direksi, mereka meminta otoritas bursa menghentikan sementara perdagangan saham Lonsum. Penyebabnya, mereka sedang membahas transaksi spektakuler.
Kontan saja, aksi itu menggegerkan pasar saham. Apalagi, pada saat bersamaan Indofood juga meminta penghentian serupa. Spekulasi langsung merebak, Lonsum bakal diakuisisi perusahaan milik Grup Salim. Dugaan itu tak meleset. Tak lama berselang, Indofood mengakui bahwa anak usahanya, IndoAgri, berniat membeli 64,4-100 persen saham perkebunan tertua di Indonesia itu dengan nilai Rp 5,7-9,1 triliun atau US$ 1 miliar.
Jelas, ini bukan transaksi ecek-ecek. Bila terwujud, itu adalah transaksi terbesar sepanjang sejarah perkebunan Indonesia. Jual-beli bernilai besar lainnya adalah penjualan 270 ribu hektare kebun Grup Salim—yang telah diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)—kepada Kumpulan Guthrie Bhd. senilai Rp 3,3 triliun pada 2000.
Pembelian Lonsum, pemilik kebun 164 ribu hektare (mencakup kelapa sawit, karet, kakao) jelas akan mengembalikan kejayaan Salim sebagai raja kebun dan sawit Indonesia. Ia sempat tersungkur setelah menyerahkan ratusan ribu hektare kebun ke BPPN pada 1998. Namun, lewat transaksi ini, Salim bakal menguasai 384 ribu hektare kebun. Itu setara dengan lima kali lipat luas DKI Jakarta.
”Ini mempercepat target kami memiliki 250 ribu hektare kebun sawit yang semula diperkirakan tercapai pada 2015,” ujar Direktur Indofood, Thomas Tjhie, pekan lalu. Dari total lahan itu, 165 ribu hektare merupakan kebun sawit. Ini berarti Salim melompati posisi teratas pemilik kebun sawit di Indonesia, yakni PT Astra Agro Lestari Tbk., Asian Agri Group, dan PT Sinar Mas Agro Tbk. (SMART). Ketiganya masing-masing mengelola 164 ribu hektare, 150 ribu hektare, dan 95 ribu hektare.
Meski berjalan sangat rahasia—bahkan direksi Lonsum mengklaim tak tahu—menurut Thomas, proses penawaran sudah berlangsung sejak empat bulan lalu. Akuisisi ini juga sudah direncanakan Indofood jauh-jauh hari untuk mendongkrak produksi dan memasok kebutuhan minyak sawit mentah (CPO) bagi industri minyak goreng merek Bimoli. Selama ini 50 persen pasokan CPO untuk Bimoli berasal dari luar, yang tergantung pasar.
Persoalannya, harga CPO dunia terus melonjak. Bayangkan, tahun lalu harga CPO masih sekitar US$ 400 per ton. Namun pada Mei lalu terus naik hingga hampir dua kali lipat, yakni di atas US$ 700 per ton. Pada masa mendatang, para analis memperkirakan kenaikan harga akan berlanjut seiring dengan seretnya pasokan CPO.
Penyebabnya, komoditas ini semakin digandrungi penduduk dunia. Lihat saja di Cina dan India. Konsumsi minyak goreng di dua negara dengan penduduk terbesar di dunia (1,3 miliar jiwa dan 1 miliar jiwa) ini terus meningkat. Apalagi penggunaan biodiesel dari CPO—yang lebih ramah lingkungan—kini menjadi tren yang tak terelakkan. Ironisnya, 90 persen minyak sawit mentah dunia dipasok dari Indonesia dan Malaysia. Produksi kedua negara itu mencapai 32 juta ton pada 2006.
Salim tentu tak mau diam saja. Untuk mewujudkan ambisinya, Indofood pernah berniat membeli Astra Agro, namun batal di tengah jalan. Lonsum kemudian jadi incaran berikut. Pertimbangannya, perusahaan ini berpengalaman 100 tahun, berkinerja baik, punya lahan luas serta pusat riset modern—Bah Lias Research Station—yang mampu memproduksi 15 juta benih kelapa sawit unggul. Produktivitas CPO Lonsum juga terbaik, yaitu 5,6 ton per hektare dibandingkan rata-rata nasional 3,5 ton per hektare.
Dengan berbagai keunggulan itu, Lonsum ibarat gadis cantik. Karena itu, selain Salim, ia juga diincar para pemuja lainnya. ”Sebelumnya, ada saja kabar Lonsum diminati si A, B, atau C,” ujar Direktur Lonsum Zafril Ansgar Hamzah pekan lalu. Sayang, ia tak mau memerinci siapa saja mereka.
Sumber Tempo menyebutkan mereka adalah perusahaan sawit kelas dunia dari Malaysia dan pengusaha papan atas nasional lainnya. Namun nasib Salim sedang beruntung. Pada saat banyak orang melamar, pemilik Lonsum merasa lebih sreg dengan Indofood. ”Ini kemujuran bagi kami,” ujar Presiden Direktur Indofood, Anthoni Salim pekan lalu.
Namun Anthoni tentu tak cuma berbekal kemujuran. Ia membawa iming-iming cukup menggiurkan bagi pemilik Lonsum. Menurut hitungan UBS, nilai pembelian itu cukup menarik, setara dengan US$ 13.000—15.000 per hektare. Bandingkan dengan Astra Agro US$ 11.400 per hektare.
Tawaran memikat lainnya, keluarga Sariaatmadja sebagai pemilik tak sepenuhnya didepak, meski akhirnya 100 persen saham Lonsum dipegang IndoAgri. Sariaatmadja malah bersinergi dengan Salim. Ia akan tetap berperan melalui kepemilikan 6,8 persen saham di IndoAgri. ”Itulah mengapa Sariaatmadja mau menjual ke Salim,” ujar Andreas Bokkenheuser, analis UBS Investment Research.
Namun sumber Tempo punya cerita lain. Ia membisikkan kabar yang santer beredar bahwa di belakang Sariaatmadja sesungguhnya adalah Salim. Ketika bisikan ini dikonfirmasi, Wakil Direktur Utama Indofood Franciscus Welirang membantahnya. ”Tidak benar. Itu cuma gosip,” ujarnya.
Apa pun jawaban Grup Salim, yang jelas sinergi ini akan menguatkan posisinya di pentas pertarungan bisnis perkebunan tingkat nasional dan regional. Dengan lahan tambah luas, gabungan dua perusahaan akan menghemat biaya. ”Kalau tidak sinergi, suatu saat kami bisa dilibas,” ujar Zafril, Direktur Lonsum.
Berada di peringkat empat, Lonsum memang mudah jadi sasaran tembak. Target bidikan lain, menurut Bokkenheuser, adalah PT Tunas Baru Lampung Tbk., yang memiliki lahan sawit matang 25 ribu hektare. ”Saya dengar Tunas Baru diincar sejumlah perusahaan.”
Tak bisa dimungkiri, ketatnya persaingan di bisnis ini mendorong niat merger perkebunan kian kuat. Di Malaysia, tiga perusahaan—Sime Darby, Kumpulan Guthrie, dan Golden Hope—bergabung membentuk entitas baru, Synergy Drive, yang mengelola lahan 600 ribu hektare. Wilmar International Ltd. juga sedang menuntaskan akuisisi atas PPB Group Berhad, perkebunan sawit Malaysia.
Namun bergabung saja tak cukup bagi mereka. Raksasa sawit dunia itu masih memburu lahan baru di Indonesia. Itu belum termasuk pengusaha dari Hong Kong, Prancis, dan Amerika Serikat, yang akhir-akhir ini sering mencari informasi lahan ke Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. ”Pokoknya, sawit benar-benar booming,” ujar Derom Bangun, Ketua Harian GAPKI.
Buktinya, selain pemain asing dan Indofood, sejumlah nama besar lain di Indonesia juga agresif mengakuisisi atau melakukan ekspansi lahan. Tengok saja Bakrie Sumatera Plantations, Astra Agro, SMART, Asian Agri, dan lainnya. Bakrie baru saja mengakuisisi 8.000 hektare kebun dari target 30 ribu hektare agar total luas kebun menjadi 80 ribu hektare tahun ini.
Pemain baru seperti Sampoerna Agro, Medco, dan Gudang Garam juga tak mau ketinggalan. Sampoerna Agro—milik Putera Sampoerna—pada Januari lalu telah mengakuisisi PT Selapan Jaya, pengelola 74 ribu hektare lahan sawit di Sumatera dan Kalimantan. Sampoerna bertekad memperluas lahan hingga dua kali lipat menjadi 150 ribu hektare.
Karena diburu para taipan, lahan kian sulit dicari. Harganya sekarang sudah naik lebih dari dua kali lipat. Tahun lalu masih Rp 20 juta per hektare, tapi sekarang Rp 50 juta per hektare. ”Ini memang sulit, kami harus bersaing dengan pemain besar, sedang, dan kecil sekaligus,” kata Presiden Direktur Bakrie Sumatera Plantations, Ambono Januarianto.
Jadi, jangan heran jika para taipan terus beradu gesit mencari lokasi baru. Mereka bukan sekadar menurunkan tim khusus pemburu pengusaha kebun yang terjepit, melainkan mengejar pula hingga ke ujung pedalaman Sumatera dan Kalimantan.
Dengar saja pengalaman pengusaha sawit ini. Ia sudah bersusah payah mencari lahan hingga pelosok Rokan Hulu, Riau. Sesampai di sana, ternyata sudah ada lima orang Malaysia dengan tujuan serupa. ”Padahal kebunnya jauh, 10 kilometer dari jalan besar dengan kondisi medan penuh lubang,” ujar pemilik 1.000 hektare lahan sawit ini.
Heri Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo