Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menjelang 1983: lampu merah buat...

Para menteri perdagangan negara-negara kaya bersidang di jenewa, mencoba menengahi persaingan yang semakin sengit diantara mereka sendiri. utang indonesia 1983 tetap tinggi.(eb)

27 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CUKUP luar biasa. Setelah 9 tahun tak pernah berkumpul, para menteri perdagangan negara-negara kaya kini tengah bertemu di Jenewa. Mereka yang selama 35 tahun bertindak sebagai polisi yang mengatur lalu-lintas perdagangan dunia kini merasa cemas: persaingan ternyata kian bertambah sengit di antara mereka sendiri. Mereka pun tengah mencari jalan keluar untuk menenangkan tekanan darah para industrialis yang diguncang oleh resesi. Itulah sidang GATT, yang dikenal sebagai 'klub negeri-negeri kaya' (baca Kolom Moh. Sadli). Seberapa jauh para menteri itu berhasil, masih harus ditunggu. Tapi resesi dunia, di luar dugaan banyak pengamat, ternyata telah menggigit lebih dalam, menggerogoti lebih luka. "Ada tanda-tanda yang akan merusak sistem perdagangan dunia," kata Albert Bressand, ahli perdagangan yang bekerja pada Institute for International Relations di Paris. Dia khawatir kalau persaingan yang semakin sengit itu akan menjelma menjadi suatu "perang dagang", yang akan saling mematikan. Beberapa korbannya sudah kelihatan. International Harvester, perusahaan alat-alat besar No. 2 di Amerika, sudah melepaskan ribuan buruhnya. Dan negeri besar itu kini menderita tingkat pengangguran setinggi 10%. Kanada, negeri di Utara yang nampak aman itu, lebih susah lagi tingkat pertumbuhannya sudah di bawah nol persen, dan jumlah buruhnya yang menganggur mencapai 11-12% kurang lebih sama dengan Inggris. Di Jerman Barat, perusahaan-perusahaan besar, seperti AEG-Telefunken yang terkenal itu, mengalami kesulitan likuiditas. Sedang yang menengah dan kecil kelas Eropa "sudah lama mengalami default (kesulitan mencicil utang-utangnya pada bank)," kata Menteri Keuangan Indonesia Ali Wardhana yang, mengingat eratnya kaitan ekonomi Indonesia dengan ekonomi negeri industri, memperhatikan itu dengan cemas. Angin resesi yang bertiup kencang dari belahan Utara itu memang sudah lebih dulu menyambar banyak negara berkembang. Dan akhirnya menjangkiti ekonomi Indonesia pada awal 1982. Pengaruhnya jelas terlihat dalam bentuk menurunnya ekspor, akibat pasaran yang lemah di negeri-negeri industri. Dari Bank Indonesia keluar laporan yang tak menggembirakan: Antara Januari sampai dengan Juli tahun ini ekspor, termasuk minyak dan LNG, berjumlah US$ 10,7 milyar. Pada periode yang sama tahun lalu ekspor tersebut masih mencapai US$ 12,6 milyar. Sedang ekspor di luar minyak, sampai Juni tahun ini, berjumlah US$ 1,8 milyar -- turun sebanyak 21% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Akibat pasaran internasional yang melemah, hampir seluruh harga komoditi ekspor utama Indonesia mengalami penurunan. Harga karet RSS I misalnya, pekan lalu mencapai US$ 0,43 setiap pound (1 pound = 453,6 gram), dibanding US$ 0,70 pada November 1980. Kopi yang pada Maret 1980 masih US$ 680 tiap pikul, sekarang merosot lebih separuh, menjadl US$ 302 tiap pikul. Harga minyak sawit turun dari US$ 650 per ton pada Januari 1981, menjadi hanya US$ 350 per ton sekarang ini. Sedang harga timah di bursa London, yang bulan Januari lalu masih bertahan pada œ 8.700 per ton, sekarang menjadi œ 7.240. Daftar penurunan harga itu masih bisa diperpanjang lagi dengan tembaga, nikel, tembakau, teh, lada, sampai kayu lapis (plywood). Tapi bagi Chairun Sarumpaet, 31 tahun, yang memiliki warisan kebun karet di Desa Aek Tolang, dekat Sibolga, itu berarti kehidupan yang makin runyam. Menyadap 200 batang pohon karet dalam seminggu, ayah dari lima anak itu paling banter mendapat 20 kg. "Apa boleh buat, penghasilan seminggu hanya Rp 3.000," katanya. Di Tapanuli, para petani kopi juga sudah banyak yang meninggalkan kebunnya. "Merawat pohon kopi itu jauh, lebih sulit dari karet," kata R. Sitompul, dari Desa Saitnihuta, Tapanuli Selatan. Ia mengenang masa sesudah Kenop 15, tahun 1978-1979. Ketika itu untuk sekilo kopi, para petani masih bisa mengantungi sekitar Rp 2.500. "Tapi sekarang, paling banter cuma Rp 500," katanya. Buruh di perkebunan kelapa sawit agaknya masih beruntun ketimbang para petani kecil seperti Chairun Sarumpaet dan Sitompul. Sekalipun ekspornya menurun, dan kilang-kilang minyak sawit di dalam negeri, menurut pihak Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia di Medan, tak mampu menyerap lebih banyak dari 650.000 ton per tahun (produksi tahun ini diperkirakan 815. 000 ton), belum terdengar buruh-buruh perkebunan ada yang diberhentikan. "Saya masih tetap memperoleh gaji seperti biasa, Rp 16.000 sebulan," kata Tukiran, buruh di perkebunan Socfindo, Sum-Ut. Cuma, katanya, "kini tak ada lagi kerja lembur." Perkebunan itu masih memberikan beras sebanyak 67 kg buat ayah dari lima anak itu. Perusahaan PMA mulai banyak yang kempas-kempis, mengikuti induknya di luar negeri. Seperti perusahaan Inco Indonesia di Soroako, Sul-Sel. Selain terus merugi, bulan Oktober lalu perusahaan nikel itu kembali memberhentikan 426 dari 3.600 karyawannya. Mudah diduga tahun depan akan banyak lagi yang terpaksa mendapat uang pesangon, mengmgat Inco Ltd, induknya di Toronto, sudah lama mcngetatkan ikat pinggang (TEMPO, 30 Oktober). Di Bandung, PT National Semiconductor (PMA Australia) yang berdiri sejak 1970, baru-baru ini telah memberhentikan 700 dari 2.500 karyawannya, umumnya wanita muda tamatan SD dan SMP. Perusahaan yang memproduksi peralatan elektronik integrated circuit untuk ekspor itu, lalu mengimpor puluhan mesin otomatis mengganti manusia (TEMPO 13 November) mengingat pasaran mereka di Eropa dan Amerika, bukan mustahil akan lebih banyak buruh wanita PT NS, yang menjadi penganggur tahun depan. Termasuk dalam barisan yang merasa paling terpukul adalah Dwima Grup, yang punya sembilan PT, bergerak dalam ekspor kayu, kayu lapis sampai jasa perkapalan. "Kami sudah membuat proyeksi kerugian milyaran rupiah sampai tahun 1984," kata Dir-Ut Dwima Slamet Sarojo. Berkantor di Wisma Antara, Jakarta, perusahaan itu mulai merasakan pengaruh resesi pada 1980, berbarengan dengan keluarnya SKB Tiga Menteri, yang melarang ekspor kayu gelondongan. Pendapatan grup Dwima yang pada 1979 mencapai Rp 10 milyar, kontan anjlok menjadi Rp 2 milyar setahun kemudian. Tahun ini, Dir-Ut Slamet merlghitung penghasilannya "hanya bisa mencapai sekitar Rp 1 milyar," katanya. Tapi ada juga yang masih bisa tertawa, seperti perusahaan sepatu Bata. Perusahaan di Kalibata, Jakarta, itu masih tetap memproduksi sesuai dengan rencana. "Pasar kami cukup besar 150 juta rakyat Indonesia, dan produksi kami baru 6 juta," kata Dir-Ut PT Sepatu Bata, P.Z. Baldik kepada TEMPO Tapi menurut pria Jerman yang gemuk itu, pasaran bisa mulai mengurus tahun depan, kalau tak cepat diambil ancang-ancang. 'Kami sudah bersiap-siap menghadapi tahun sulit itu, antara lain dengan meningkatkan dan menyempurnakan kualitas, mode sepatu, memeratakan distribusi dan mengekspor," kata Baldik. Untuk itu, tahun depan juga, Bata akan membangun pabrik baru di Surabaya dengan investasi sekitar US$ 6 juta. aksudnya, agar lebih mudah menjangkau pasaran di Indonesia baian timur. Perusahaan Unilever, yang lebih dulu ke khalayak (go pubic) dari Bata, nampaknya juga masih bisa tertawa. "Selama lima bulan terakhir ini belum ada satu produk kami pun yang dinaikkan harganya kata Dir-Ut Unilever, Yamani Hasan pekan lalu. Kepada Eddy Herwato dari TEMPO, orang No. 1 Unilever Indonesia itu menerangkan ada juga keuntungan dari resesi itu buat perusahaannya. Kebutuhan bahan kimia untuk mengolah 30 produk Unilever umumnya masih didatangkan dari Eropa dan Jepang. Dan resesi, yang membuat mereka sulit mendapatkan pasar, memungkinkan Unilever untuk menekan harga impornya. Apalagi perbandingan nilai rupiah terhadap nilai mata uang Eropa dan Jepang belakangan ini mengalami apresiasi. Artinya, turunnya kurs mata uang seperti DM, Franc (Prancis), Gulden, œ dan Yen terhadap US$ bergerak lebih cepat dibanding turunnya nilai rupiah terhadap US$. NAMUN demikian perusahaan ini, yang produknya merasuk sampai ke kampung dan desa, tak terlepas dari libatan efek resesi di dalam negeni Hasan, pertumbuhan pasaran Unilever kini berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya --dengan catatan, penjualan barang Unilever di Jawa dan Sumatera berbeda. "Gejala ini sudah kelihatan sejak tahun lalu," katanya. Ia mencatat, pertumbuhan di pasaran Palembang dan Lampung sangat lamban, sementara secara keseluruhan, di Jawa pertumbuhan pasar masih lebih besar. "Jika tahun 1980 pertumbuhan di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera rata-rata masih 10% setahun, sejak tahun lalu sudah flat (datar) untuk Kalimantan dan Sumatera," katanya. Data yang dikemukakan Yamani Hasan menunjukkan terjadinya pertumbuhan yang datar di daerah-daerah penghasil komoditi nonminyak, seperti karet, lada dan kopi. Itu pula yang dirasakan Tanri Abeng. Kata Dir-Ut PT Multi Bintang itu, "Berdasarkan penelitian sendiri, dan intormasi sesama produsen makanan dan minuman lain, penurunan permintaan amat terasa di luar Jawa." Di Sumatera dan Sulawesi Utara, pasaran dari perusahaan yang terutama memproduksi minuman bir itu, mengalami penurunan permintaan sekitar 16%. Namun Tanri Abeng tak melihat penghasilan bersih perusahaannya, yang tahun ini diperkirakan di atas Rp 5 milyar, akan berkurang. Bahan baku untuk membuat bir, seperti yeats (semacam gandum) dan ragi dari Belanda, menurun akibat kelebihan suplai. "Itu amat menolong kami," katanya. PT National Gobel, produsen barang-barang elektronika dan alat-alat rumah tangga dari listrik, juga merasakan penurunan permintaan di dalam negeri. Tahun lalu perusahaan yang mempekerjakan sekitar 2.500 buruh di pabrik Cawang, Jakarta Selatan ini masih menikmati kenaikan permintaan 20-30%. Tahun ini, menurut Direktur Pelaksana amien. A. Tahir, hanya 5-10%. Tapi dia tak khawatir, karena prospek pasaran masih bagus buat mereka tahun-tahun mendaung. Sebabnya? "Sekarang baru 159, dan penduduk yang kebagian aliran listrik. Kelak itu pasti akan naik," kata Jamien. Dari situ dapat dilihat, bahwa berbeda dengan perusahaan yang punya pasaran di luar negeri-- seperti plywood --pabrik yang berpijak di konsumen Indonesia masih bisa bicara optimistis. Singkat kata, ekonomi dunia Barat payah, ekspor pun susah. Mengendurnya ekspor, terutama ekspor minyak, mengakibatkan defisit pada neraca pembayaran tak bisa dielakkan. Cadangan devisa Indonesia pun terus merosot sejak bulan Maret 1981. Cadangan devisa pada akhir September tercatat USS 4,2 milyar, turun dari US$ 6,4 milyar pada akhir Maret 1982. Pcnurunan cadangan devisa yang paling hesar terjadi pada kuartal kedua tahun ini hanya dalam tiga bulan, devisa merosot dengan US$ 1,8 milyar (lihat graiik. Tak pelak lagi, penurunan itu akibat uang yang masuk dari minyak mulai berkurang. Ekspor minyak Indonesia memang tak bisa lepas dari pengaruh resesi. Permintaan minyak oleh negara-negara industri terus saja berkurang sejak tahun lalu. Maka jumlah minyak yang bisa dijual oleh OPEC juga menjadi lebih rendah. Tadinya timbul harapan, menjelang musim dingin tahun ini permintaan akan minyak mulai pulih. Nyatanya, harga-harga minyak malah semakin mengendur, sekalipun musim dingin di belahan bumi Utara sudah dekat. Tak ada tanda-tanda permintaan minyak akan meningkat sampai OPEC bersidang lagi di Jenewa atau di markas besar mereka di Wina, ibukota Austria, 9-11 Desember. Sampai akhir minggu pertama November, Pfrtamina masih berusaha untuk mempertahankan harga minyak ekspornya. Kepada pembeli di Jepang yang terus mendesak sejak pertengahan tahun ini, pihak Pertamina telah mencoba membujuknya dengan memberi kelonggaran masa pembayaran, dari 30 hari menjadi 60 hari. Siasat itu ternyata tak juga berhasi!. Maka akhirnya Pertamina pun mengalah, dan mulai 11 November harga ekspor minyak Indonesia secara resmi diturunkan semua. Mulai jenis Minas (Light Sumatran Crude) dari US$ 35 menjadi US$ 34,53, jenis Cinta turun dengan US$ 70 sen, Attaka turun pula dengan US $ 1,30. Danl jenis Duri yang seret pasarannya, turun US$ 1,90 per barrel. Penurunan hara minyak, seperti kau Menteri Pertambangan dan Energi Subroto, adalah "pertanda bahwa kita juga turut memikirkan kepentingan mereka". Itu ada betulnya kalau penjual tak memikirkan sama sekali kepentingan pembeli, mana bisa laku barangnya? Apalagi nampak: para pembeli di Jepang sudah banyak juga yang beralih ke Iran. Nippon Oil Coy. misalnya, pengilangan minyak terbesar di Jepang, beberapa waktu lalu sudah menandatangani kontrak dengan Iran. Dan Iran, yang masih sibuk perang melawan Irak, bersedia saja menjual harga kontrak minyaknya (jenis Iraniar Light Crude), hanya dengan harga US$ 31,50 termasuk biaya pengangkutan sampai di tempat tujuan. Melihat hal semacam itu, akan berhasilkah Indonesia memperbesar ekspor minyaknya? Masih harus dilihat. Tapi yang pasti, penurunan harga minyak kita akan membawa akibat terhadap penerimaan devisa dari ekspor LNG. Dalam kontrak dengan pembeli LNG di luar negeri -- Jepang yang paling besar --harga LNG ternyata dikaitkan dengan harga minyak ekspor. Dalam APBN sekarang, devisa yang masuk dari ekspor LNG diperkirakan US$ 1,4 milyar lebih. Realisasinya bisa dipastikan akan lebih kecil. Walhasil, tanda suram lagi. Kalau ada yang menggembirakan pemerintah dalam resesi ini, adalah turunnya konsumsi BBM di dalam negeri, seperti diungkapkan Menteri Subroto. Pemakaian BBM antara Januari - Oktober tahun ini tercatat 19 juta kilo liter. Itu berarti konsumsi BBM 20% lebih rendah dari konsumsi tahun lalu. Dari segi konservasi energi yang lagi didengung-dengungkan, itu merupakan sesuatu yang positif. Tapi ada yang ironis: subsidi BBM dalam tahun anggaran ini, sebagaimana diakui Menteri Keuangan Ali Wardhana, akan jauh lebih besar dari Rp 924 milyar (baca box wawancara). Ali Wardhana belum bersedia mengungkapkan berapa besar kenaikan itu sekarang. Faktor kenaikan itu, selain harga minyak yang kita impor dari Arab Saudi jadi lebih mahal, juga karena prorata crude yang biasanya diterima Pertamina dari para kontraktor minyak asing berkurang. Sesuai kontrak, Pertamina memperoleh 10% dan produksi setiap kontraktor asing, dengan harga cuma US$ 10 per barrel. Hasil prorata itu biasanya dijual ke luar negeri, karena termasuk minyak yang berkualitas baik. Hasilnya, antara lain untuk membeli minyak dari Arab Saudi yang lebih murah, untuk diolah menjadi kerosin (minyak tanah) dan hasil minyak lainnya. Tapi dengan produksi antara 1,2-1,3 juta barrel sehari, minyak prorata itu tak sebesar dulu. Dan subsidi BBM pun membubung. Seorang pejabat minyak mcmperkirakan subsidi BBM itu akan naik dua kali, menjadi sekitar Rp 1,9 triliyun pada akhir Maret 1983. Maka yang akan dilakukan pemerintah sudah jelas subsidi BBM itu sekali lagi akan dipotong. Harga bahan bakar yang tak banyak disubsidi itu dengan sendirinya akan melonjak. Yang nampaknya akan naik sekali harganya adalah minyak tanah dan solar. Keduanya disubsidi sekitar seratus persen selama ini --dan itu dianggap terlalu besar. Pemerintah perlu mengerem pengeluaran rutinnya, seraya mengerahkan dana yang bisa diraih. Itu berarti mengejar pajak secara hebat-hebatan. Dalam APBN yang berjalan, pajak perseroan minyak -- tulang punggung penerimaan pemerintah (60%) -- diharapkan mencapai Rp 9,1 triliyun. Pemerintah menghitungnya atas dasar produksi minyak 1,46 juta barrel, dengan harga ekspor rata-rata US$ 35 per barrel. Tapi akibat resesi dunia, untuk pertama kalinya dalam waktu 10 tahun, anggaran penerimaan dari pajak perseroan minyak tak akan tercapai dalam APBN 1982/1983. Berkurangnya penerimaan dari minyak memaksa pemerintah untuk meng gali lebih dalam sumber-sumber di luar sektor minyak. Dalam APBN 82/83, pemerintah menggantungkan harapannya pada tercapainya penerimaan dari pajak pendapatan dan pajak perseroan: masing-masing diusahakan agar naik dengan 24% dan 47%. Mungkin tak begitu sulit untuk mencapai sasaran penerimaan dari pajak pendapatan dari Rp 207 milyar jadi Rp 256 milyar. Sebab penerimaan itu sebagian besar berasal dari pajak golongan berpenghasilan tetap. Dan cara mengumpulannya relatif mudah. Tapi menurut Dir-Ut PT Unilever Indonesia, Yamani Hasan, sasaran pemerintah dari pajak pendapatan itu masih bisa ditingkatkan lagi. Caranya? "Jika kelak intensifikasi sudah terasa jenuh, boleh saja pemerintah menggarap lewat ekstensiikasi," katanya Orang Unilever itu menilai tarif pajak pendapatan di Indonesia masih rendah, hanya 50% dari pendapatan. "Di Belanda bisa mencapai 74% dari pendapatan," katanya. Pajak pendapatan memang lebih mudah ditembak dibandingkan pajak perseroan. Apalagi pemerintah--dengan aparat pemungut pajaknya yang tak begitu bersih--sering dihadapkan pada perseroan yang menggunakan dua pembukuan: satu untuk bank dan satu untuk kantor pajak. Di masa lalu, ketika penerimaan dari minyak sering membanjir, pemerintah tak begitu ambil pusing dengan praktek begitu. Tapi kini apa boleh buat: pendekatan sedang dilakukan antarabank-bank dan kantor pajak, agar mereka hanya menerima satu laporan keuangan yang sama dari setiap wajib pajak perseroan. Pemerintah juga mengancam akan menyita perusahaan yang belum membayar pajaknya, 65 hari sesudah penilaian rampungnya dikeluarkan kantor pajak. Dan perusahaan akan mendapat surat peringatan kalau pajaknya belum dibayar 30 hari sesudah adanya keputusan rampung. Kalau dalam 35 hari sesudah peringatan itu pajaknya masih juga belum dibayar maka perusahaan akan disita, dan kekayaannya akan dilelang. Penerimaan dari lelang akan masuk ke kas pemerintah sebagai pengganti pajak yang tidak dibayar. Selama ini pembayaran pajak sering diulur berbulan-bulan, bahkan bertahuntahun. Seorang pejabat Departemen Keuangan khawatir, bila penerimaan pajak perseroan, pajak pendapatan dan MPO dibiarkan terus tertunda, penerimaan dari sektor ini bisa 15-20% lebih kecil dari yang dianggarkan. Juga, seperti kata pejabat itu, pengumpulannya harus benar. Dir-Ut PT Bank Niaga, Idham, menyambut keinginan pemerintah untuk menggarap lebih banyak pajak perseroan. Telah memimpin bank devisa itu selama 37 tahun, ia bangga tahun lalu bisa menyetor Rp 2 milyar lebih. Sedang kelompok perusahaan Gobel Grup, menyatakan bisa menyetor pajak perseroan sebesar Rp 16 milyar. Total penjualannya tahun ini, menurut Wakil Dir-Ut Lukman Hakim, berkisar sekitar Rp 1,3 triliyun. Melihat sudah demikian banyaknya perusahaan yang tumbuh di Indonesia, baik asing maupun nasional, Idham yang pernah menjadi ketua Perbanas, beranggapan sasaran pajak perseroan yang sekarang Rp 822,5 milyar itu, masih bisa diperbesar lagi. "Kalau bank seperti ini bisa menyetor dua milyar boleh dihitung berapa banyak perusahaan besar di Indonesia pasti lebih dari lima ratus," kata Idham. Idham mungkin betul. Masih banyak perusahaan di Indonesia yang punya kebiasaan ingin menghindari membayar pajak yang sebenarnya. Itu sudah pula diakui oleh Menteri Ali Wardhana. Tapi sedalam-dalamnya pajak dalam negeri itu digarap, defisit dari neraca barang dan jasa (current account) untuk tahun anggaran 82/83 ini sudah bisa diterka: lebih besar dari US$ 4,5 milyar seperti semula diperkirakan oleh pemerintah. Dalam APBN tahun lalu, defisit itu masih US$ 2,8 milyar. Sekarang, akibat berkurangnya penerimaan dari minyak, defisit barang dan jasa itu diperkirakan mencapai US$ 6,5 milyar. Beberapa sumber pemerintah yang mengetahui, malah memperkirakan angkanya bisa lebih besar dari 6,5 milyar dollar. Tapi, seperti dikatakan Gubernur BI Rachmat Saleh, kita tak perlu menjadi panik. Sang Gubernur baru saja kembali dari perjalanan jauh, antara lain menandatangani perjanjian utang komersial sebanyak US$ 300 juta di London. Bisa dipastikan Rachmat Saleh dan anak buahnya tidak panik. Mencari utang tambahan di pasar uang internasional memang bukan unda kekalutan. "Itu biasa, dan berlaku di mana pun juga," kata seorang pejabat Bank Dunia. Sebagai orang yang pernah berpengalaman di beberapa negara berkembang, pejabat Bank Dunia itu beranggapan, utang-utang komersial yang dibuat BI "masih dalam baus-batas yang normal". Dia bahkan kagum akan kepandaian orang Indonesia mengelola utang. "Mereka sungguh berhati-hati melakukan debt management," katanya. Menurut orang Bank Dunia itu utang-utang yang dibuat Indonesia setiap tahun akan terisi lagi, baik dari utang-utang resmi yang sifatnya setengah lunak, maupun dari utang-utang komersial yang berjangka sekitar 10 tahun dengan bunga di bawah 10%. Ia mengingatkan akan adanya kredit-kredit yang sudah disetujui, tapi belum dilaksanakan (undsbursed), berupa pinjaman resmi dan yang datang dari bank-bank swasta internasional. Pada akhir Maret 1982, seluruh utang yang sudah direalisasi akan mencapai sekitar US$ 14,5 milyar. Sedang utang-utang yang belum direalisasi diperkirakan masih sebanyak US$ 10,6 milyar pada tanggal yang sama. Artinya, tahun depan pemakaian utang-utang itu tak usah datang dari yang akan dibuat, tapi dari jumlah yang belum direalisasikan tadi. Berapa besar persentase utang yang jangka panjang dibanding yang berjangka menengah (komersial di akhir Maret tahun depan masih belum diketahui. Pada tahun 1980, menurut Direktur BI J.E. Ismael, utang dari bank-bank swasta itu mencapai 37%. Dia menyadari bahwa utang dari pihak swasta itu lebih tidak terikat oleh prosedur resmi dan cocok untuk kegiatan jangka pendek. Maka melihat persentase utang komersial masih kecil, dan Indonesia perlu segera, BI pun ditugasi untuk mencari utang-utang komersial baru. Mungkin yang perlu dijaga adalah keseimbangan perbandingan utang itu. Salah satu yang agaknya turut menambah beban, adalah utang-uung komersial yang disalurkan untuk perusahaan milik pemerintah. Sumber-sumber di BI mencatat utang komersial yang sudah direalisasi, dan masih berlaku (still outstanding) berjumlah sebanyak US$ 1,8 milyar lebih pada akhir Maret tahun depan. Itu terdiri dari utang Pertamina dan PT Garuda Indonesia Airways. Sedang utang yang belum direalisasi untuk perusahaan-perusahaan milik negara, masih sebanyak US$ 373 juta pada tanggal yang sama. Adakah uung yang belum dilaksanakan itu akan dialihkan sasaran penggunaannya? Itulah yang antara lain dipersoalkan oleh Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo belum lama ini. Sang profesor, yang berpengalaman sebagai menteri keuangan dan perdagangan --dan di tahun 1950-an adalah dekan FE-UI-menghimbau rekan-rekannya se-Almamater yang kini mengelola ekonomi Indonesia: "Perlu ada pergeseran prioritas." Dengan kata lain, ia menganjurkan agar proyek-proyek besar yang amat memakan biaya, kalau belum mulai dilaksanakan, hendaknya ditunda dulu. PROF. Sumitro barangkali khawatir melihat kasus Meksiko. Negeri penghasil minyak yang beberapa tahun lalu masih dibangga-banggakan oleh para ekonom dan bankir internasional sebagai "contoh negara berkembang", kini telah dililit segunung utang. Uungnya pada Agustus 1982, tercatat sebanyak US$ 80 milyar US$ 60 milyar utang yang dibuat oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan milik pemerintah dan US$ 20 milyar utang pihak swasta Sekitar US$ 42 milyar dari jumlah itu telah jatuh waktu dalam tahun 1982. Peristiwa yang menimpa Meksiko memang bisa membuat siapa saja bergidik Untung Indonesia agaknya pernah pula mengalami peristiwa serupa, dalam porsi yang lebih kecil: bencana Pertamina. Dengan gaya pembangunan yang jumawa, tapi lengah, Indonesia waktu itu tiba-tiba terperosok ke jurang uung sebesar US$ 10,5 milyar. Sebagian berjangka pendek, misalnya utang dagang yang US$ 2,5 milyar dan utang sewa-beli armada tanker yang US$ 3,3 milyar. Pengalaman pahit itu tentu tak akan dilupakan orang. Terutama oleh para pengelola ekonomi dan keuangan Indonesia. Dan baru-baru ini, adalah Men-Ko Ekuin Prof. Dr. Widjojo Nitisastro yang menyatakan bahwa, "kita harus lebih banyak menggali sumber-sumber keuangan dari dalam negeri," serta "lebih banyak membuka kesempatan kerja yang bisa menampung banyak orang". Artinya, ia boleh ditafsirkan sependapat dengan Sumitro--jangan ingin cepat-cepat menoleh ke industri-industri hulu, yang padat modal. Resep Widjojo--sesuai pula dengan gaya dan pandangan Presiden Soeharto -- ialah pembangunan, dengan hati-hati. Agaknya itulah yang akan lebih terasa di tahun depan, sebentar lagi, di depan lampu merah sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus