IA masib kelihatan kukuh duduk di kursinya ketika ditemui TEMPO
pekan lalu. Bajunya setelan safari menteri berwarna krem.
Kacamatanya kecil model Cyrus Vance. Tapi Menteri Keuangan Pro
Dr. Ali Wardhana mulai berkerut wajahnya ketika ditanya tentang
posisi keuangan dan anggaran belanja yang sekarang.
"Sulit, dan akan semakin sulit lagi tabun depan," katanya. "Jadi
bendaknya, jangan ada yang beranggapan bahwa keadaan kita
seperti dulu-dulu lagi."
Jika demikian tindakan apa saja yang akan ia tempuh menghadapi
kemerosotan dana yang masuk dari ekspor minyak? Bagaimana pula
ia mengatasi pos pengeluaran rutin, terutama subsidi BBM yang
makin menggajah? Menyedot pipanya dalam-dalam, Menteri Ali
Wardhana yang diwawancarai oleb Fikri Jufri pekan lalu
menjawab:
SELAMA beberapa tahun belakangan ini, kita memang menikmati
penerimaan yang besar dari minyak, dan ekspor nonminyak yang
terus meningkat. Ketika negara-negara lain sudah mengalami
kesulitan pada tahun 1981, lndonesia masih belum merasakannya.
Sekarang kita mulai merasakan akibatnya, sehingga banyak suara
yang menanyakan: Lho, kenapa sekarang begini? Ketika banyak
negara mulai berteriak susah, Indonesia masih membangun terus,
secara besar-besaran. Dan memang, pada tahun 1981, kita
mengalami suatu keadaan yang sangat baik: produksi pangan kita
meningkat sekali. Dengan sendirinya itu membuat daya beli sektor
pertanian kuat sekali, dan menyerap hasil-hasil industri dalam
negeri.
Apakah pemerintah beranggapan daya serap itu akan tetap besar
setahun kemudian, sehingga terlambat mengambil ancang-ncang
untuk menghadapi tahun sulit sekarang?
Tadinya kita -- demikian pula para pengamat ekonomi di
dunia--memperkirakan sudah akan terjadi perbaikan (recovery)
pada tahun 1982. Ternyata belum. Bahkan secara keseluruhan,
tingkat pertumbuhan di negara-negara industri semakin merosot,
kurang dari satu persen. Bahkan banyak yang nol persen, atau
negatif, seperti Kanada, dan mungkin juga AS.
Ancang-ancang untuk menghadapi tahun berat, juga kita lakukan,
dengan mengeluarkan paket ekspor Januari 1982. Maksudnya tentu
untuk merangsang ekspor, ketika daya serap di dalam negeri mulai
mengendur.
Adakah paket Januari itu banyak membantu, mengingat masalahnya
bukan terletak pada faktor di dalam negeri, tapi pafla daya
serap yang lembek di pasaran internasional?
Andaikata pemerintah tidak mengeluarkan paket ekspor itu,
barangkali penurunan ekspor kita akan jauh lebih besar lagi.
Bahwa segi pemasaran (marketing) merupakan masalah, hal itu
tidak hanya dihadapi oleh Indonesia. Maka dengan paket Januari,
kita berharap agar ekspor menjadi lebih bersaing dengan
negara-negara lain.
Nampaknya pada tahun 1983 ekspor masih akan terus merosot.
Ada indikator-indikator sementara, yang menunjukkan harapan
adanya sedikit perubahan tingkat suku bunga di AS sekarang turun
sedikit menjadi sekitar 12%. Masih harus kita lihat apakah suku
bunga itu akan bertahan pada tingkat telsebut, atau akan naik
lagi. Wall Street meramalkan kecenderungan tingkat suku bunga
yang menurun. Kalaupun itu terjadi, mungkin akan terjadi
perbaikan, sekalipun sangat pelan.
Pos-pos mana saja dalam APBN sekarang yang kiranya bisa dihemat?
Bicara soal penghematan, ada hal-hal yang tidak bisa saya
kurangi. Misalnya untuk gaji pegawai negeri. Untuk pembayaran
utang-utang luar negeri yang sudah jatuh waktu, juga terus kita
penuhi. Kita tak mempunyai banyak peluang untuk mengubah APBN,
kecuali sedikit, untuk belanja barang, misalnya.
Setiap tahun biasanya muncul anggaran tambahan. Bagaimana tahun
ini?
Itu terpaksa kita tiadakan. Pemerintah tidak lagi menyetujui
anggaran belanja tambahan (ABT), yang biasanya diajukan oleh
berbagai departemen, kecuali kalau pengeluarannya dianggap
benar-benar urgen.
Saya bahkan sudah mengeluarkan edaran ke semua departemen,
supaya anggaran rutin yang akan mereka ajukan untuk RAPBN
1983/1984, diusahakan sama seperti dalam APBN sekarang.
Proyek-proyek besar yang tengah berjalan, apa tak ada yang bisa
ditunda? Saya kira sulit. Kalau suatu proyek yang sudah
disetujui dan dilaksanakan itu disetop, akibatnya malah akan
lebih parah lagi. Akan terjadi suatu cost-overrun. Belum lagi
kalau proyeknya rusak. Jadi terhadap proyek-proyek yang sedang
berjalan, pemerintah sudah memutuskan harus terus diusahakan
pelaksanaannya.
Pertengahan bulan ini telah ditandatangani kontrak pembangunan
pengilangan minyak Musi seharga US$ 1 milyar lebih dengan tiga
swasta Jepang. Sedang pada 1985 Indonesia sudah bisa memenuhi
kebutuhan BBM di dalam negeri, dengan selesainya kilang
Balikpapan, Cilacap dan hydrocracker di Dumai, Untuk apa lagi?
Kita jangan lupa, bahwa dalam keadaan resesi sekarang, harga
barang-barang modal paling rendah. Kalau ada situasi melonjak
(boom), harga itu bisa akan meningkat terus. Dalam keadaan
resesi sekarang orang berusaha keras untuk menjual. Agar laku,
mereka membanting harganya, berikut persyaratan-persyaratan yang
cukup longgar, seperti bunga yang rendah, sekitar 7%.
Dengan dinaikkannya PPn mobil diesel, apakah pemerintah
sebenarnya berpendapat telah melakukan pemberian subsidi yang
kelewat besar terhadap minyak solar?
Begini soalnya. Kalau orang memakai bensin, sebenarnya dia sudah
membayar biaya energi yang mahal. Bensin bagi saya sudah bukan
subsidi lagi, karena dia dijual di atas cost. Sedang pemakai
kendaraan diesel mendapat subsidi dari pemerintah. Jadi yang
sekarang dilakukan pemerintah adalah membuat pemakai kendaraan
diesel itu lebih berimbang dengan pemakai kendaraan bensin. Itu
saja.
Jadi sebenarnya, dengan kurs dollar sekarang, harga BBM,
terutama solar dan minyak tanah, sudah harus naik. Wah, sulit
menjawabnya.
Berapa besar kira-kira subsidi BBM yang sebenarnya di atas Rp
924 milyar yang dianggarkan?
Saya tak bisa menyebutkan angkanya. Yang pasti, telah meningkat
jauh lebih besar. Sebagai ilustrasi, harga resmi seliter minyak
tanah adalah Rp 60, untuk solar Rp 85. Sedang biaya produksi
seliter minyak tanah dan solar, kurang lebih Rp 150.
Di samping itu, kiu masih mengimpor minyak mentah dari Timur
Tengah untuk diolah menjadi BBM. Dulu perhitungan harganya masih
Rp 625 untuk satu barrel. Sekarang tentu sudah lain. Masih
banyak orang yang waswas, pemerintah akan melakukan tindakan
devaluasi seperti empat tahun ialu. Mungkinkah?
Sekarang ini rupiah sudah floating (diambangkan), sekalipun
tidak penuh. Dan perbedaannya sudah tak terlalu jauh dari nilai
dollar yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebutuhan untuk melakukan
devaluasi rupiah lagi.
Baru-baru ini orang membicarakan cadangan devisa lank Indonesia
yang menurun. Gubernur Bank Sentral bilang jumlahnya kini US$
4,3 milyar. Berapa sebenarnya batas terendah yang bisa
ditoleransi?
Itu relatif. Dulu di awal orde baru, cadangan devisa kita
merosot menjadi cuma US$ 40 juta. Lalu ketika pecah krisis
Pertamina, cadangan devisa kita banyak dipakai, sehingga turun
menjadi US$ 300 juta. Sekarang, ketika turun menjadi US$ 4,3
milyar, orang mulai ribut. Saya jadi tidak mengerti.
Pajak perseroan yang dianggarkan teramat kecil, bila
dibandingkan dengan produksi bruto nasional (GDP). Tahun lalu
jumlahnya cuma sedikit di atas dua persen dari GDP 1981. Kenapa
begitu?
Ya, siapa yang harus disalahkan? Kalau orang tak mau membayar
pajak, bagaimana - Belum lagi perusahaan yang besar-besar.
Banyak di antara meteka yang masih menikmati masa bebas pajak
(tax boliday). Juga tak boleh dilupakan, dilihat dari GDP, yang
masuk dari sektor industri kecil sekali. GDP kita masih
tergantung dari sektor pertanian, yang praktis berada di bawah
batas kena pajak.
Pajak mana saja yang akan Pak Ali tembak?
Sumber utama adalah pajak perseroan, pajak penjualan dan MP0.
Tapi bicara soal pajak perseroan, itu tak bisa dinaikkan secara
100%. Perlu diteliti satu per satu, perusahaan demi perusahaan.
Lagi pula sikap umum orang di sini masih belum tax minded.
Mereka menggunakan akuntan publik, dengan tujuan bisa memperoleh
pajak yang lebih rendah.
Bagi para pengusaha yang bersedia membuka bukunya secara jujur,
mereka lalu khawatir kalau usahanya tersaingi oleh mereka-yang
tidak jujur.
Baru-baru ini anda bicara keras di depan kongres para akuntan.
Adakah hasilnya?
NAMPAKNYA ada. Beleid kita sekarang, kalau terjadi penyimpangan
pajak terlalu besar kita bawa langsung ke pengadilan. Juga telah
dilakukan mutasi besar-besaran di antara para petugas pajak,
sekitar 200 orang dari eselon atas.
Dulu, ketika uang dari minyak masih membanjir,
penyelewengan-penyelewengan itu masih kita biarkan. Sekarang itu
tak bisa lagi.
Tapi ia mengakui, semua itu tak akanbisa berlangsung cepat. Dan,
selagi menjabat menteri keuangan, ia masih harus bekerja dengan
defisit yang makin membesar. Cemaskah dia? "Yang membuat saya
cemas bukan keadaan ekonomi yang sulit, tapi masih kurangnya
pengertian ....
Ia tak meneruskan kalimatnya. Mungkin yang ia maksudkan adalah
kurangnya pengertian dari sebagian masyarakat kita, termasuk
sementara pejabat, yang mungkin menuding sang menteri telah
mengerem pengeluaran kantornya. "Kalau saya cukup uang, buat apa
saya mengerem pengeluaran. Soalnya kan penerimaan itu tak ada
lagi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini