Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menjelang Kiamat Perbankan

Hasil audit 80 bank devisa mengecewakan. Kabarnya cuma lima bank yang memenuhi syarat kecukupan modal. Selebihnya harus diinjeksi modal. Adakah pengaruhnya bagi deposito Anda?

26 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ini kiamat. Kami habis sudah." Dua kalimat pendek dari seorang bankir senior ini jelas memberi gambaran apa yang terjadi: perbankan Indonesia tengah menghadapi masa paling sulit. Krisis ekonomi telah mengirimkan dua senjata pamungkas ke dada bank: kredit macet menggunung, bank-bank beroperasi dengan merugi.

Pendapatan utama bank--selisih suku bunga kredit dengan deposito--menjadi negatif. Akibatnya, modal bank menyusut atau bahkan minus. Bank tak lagi mampu beroperasi dengan memenuhi syarat-syarat kehati-hatian--modal utama bagi bisnis perbankan. Bank akan segera mati, kecuali dengan injeksi modal besar-besaran.

Operasi penyehatan itu memang tengah dilakukan pemerintah sekarang (lihat Boks: Ganasnya Rakapitalisasi Itu). Sebagai langkah awal, seluruh bank devisa akan diaudit oleh tim auditor internasional. Hasilnya, kalau pemerintah mau taat jadwal akan diumumkan akhir Oktober ini.

Nah, justru melihat hasil audit itulah, bankir senior kita tadi mengeluh. Menurut sang bankir, dari 80 bank devisa yang sudah diaudit, tak satu pun yang memenuhi syarat CAR (capital adequacy ratio) minimal empat persen. Pemerintah, kabarnya, agak belingsatan dengan hasil yang menyedihkan itu. Agar jadi sedikit lebih mulus, pemerintah terpaksa melakukan sejumlah penyesuaian.

Hasilnya, menurut sebuah sumber di kalangan keuangan, untuk sementara cuma ada lima bank yang masuk kelas A. Bank mana saja itu? Tak ada jawaban yang meyakinkan. Tapi, menurut sejumlah sumber, bank-bank kelompok satu ini adalah bank-bank kecil yang selama ini terkenal hati-hati.

Di kelas B, kabarnya ada 25 bank. Sejumlah bank besar yang selama masa krisis moneter ini tak pernah kedengaran punya masalah, seperti Bank Lippo, Bank Niaga, BII, bahkan juga Panin dan Bank Bali yang konservatif pun masuk dalam jajaran bank yang harus mendapat injeksi modal. Dan bank kelas C? Sumber TEMPO menyebut jumlahnya ada 50. Tapi bank mana saja, masih belum jelas.

Nasib untuk perbankan kelas C ini jelas sudah. Kalau tak mampu mengajukan proporsal injeksi modal yang masuk akal, atau menjalin merger, paling banter mereka bakal menjadi bahan untuk dicaplok bank lain. Ini sudah nasib maksimal. Kalau meleset, ya sudah, mau tak mau bank-bank "tanpa modal" tak punya pilihan lain kecuali harus ditutup.

Buruknya hasil kajian dari tim audit internasional itu sebenarnya sudah bisa diduga. Menurut Ferry Hartoyo, analis industri perbankan dari Vickers Ballas Tamara, tingkat kredit bermasalah yang mogok di perbankan nasional sudah mencapai 60 persen. Pukul rata, untuk menutup kredit macet sebanyak itu mestinya disediakan dana provisi, minimal separonya atau 30 persen dari total kredit. Nah, karena tingkat permodalan perbankan di Indonesia rata-rata cuma 14 persen dari total kredit, bisa ditebak, hampir seluruh bank di Indonesia modalnya sudah minus. Karena itu, CAR-nya juga negatif.

Wajah perbankan makin buruk lantaran standar penilaian auditor asing, konon, cukup keras. Ketatnya saringan auditor asing itu bisa dilihat pada Bank Panin. Selama ini, Panin dikenal sebagai bank yang tak gemar mengobral kredit. Panin lebih suka bermain di pasar uang.

Menurut laporan keuangan per 30 Juni 1998, Panin terlihat amat likuid. Bagian terbesar (hampir 65 persen) dana masyarakat ditempatkan ke aset-aset yang gampang dicairkan (misalnya pinjaman antarbank, Sertifikat Bank Indonesia, atau kas). Cuma sebagian kecil yang disalurkan dalam kredit. Tak cuma itu, rasio kecukupan modalnya pun tergolong mengejutkan. Dengan perhitungan kurs dolar Rp 14.900 saja, CAR Bank Panin masih 15 persen--hampir dua kali lipat di atas ketentuan internasional yang cuma perlu 8 persen.

Pada zaman "normal" kiat Panin mungkin saja kurang optimal. Pendapatan bunga dari kredit amat kecil. Tapi di masa sulit seperti sekarang, strategi Panin cukup tepat. Pendapatan bunga di pasar uang jauh lebih tinggi dari pendapatan bunga kredit. Lagipula, risiko macetnya pun jauh lebih kecil. Dengan jaminan pemerintah, hampir tak mungkin ada bank yang gagal membayar pinjaman di pasar uang. Dengan siasat ini, Panin termasuk satu dari sedikit bank yang justru panen uang di masa krismon.

Tapi lihat bagaimana hasilnya setelah Panin diteropong oleh auditor internasional? Tanpa diduga, ternyata tingkat kredit bermasalah Panin cukup tinggi. Menurut sumber TEMPO di kalangan keuangan, untuk menghapus kredit macetnya, Panin harus menyediakan dana provisi sebesar 12 persen dari total aset.

Tampaknya, kesalahan Panin justru terletak pada bagaimana mereka menyalurkan kredit. Panin terlalu longgar dalam memberikan kredit dalam nominal dolar. Padahal, kemampuan bank milik keluarga Mukmin Ali Gunawan ini dalam menyedot simpanan mata uang asing agak terbatas. Akibatnya, ketika kurs dolar/rupiah melambung, kredit dolar yang disalurkan Panin mencapai dua kali lipat deposito dolarnya. Pembengkakan kredit dolar ini jelas akan menaikkan porsi kredit macet Panin.

Selain itu, Panin juga tersedak kredit kepada grup sendiri. Walaupun porsinya tak cukup besar, Panin diketahui mencairkan pinjaman ke Clipan Finance dan Bank PDFCI. Untuk dosa-dosa seperti ini, auditor internasional tampaknya tak memberi ampun. "Seluruh kredit ke grup dianggap tak ada nilainya," kata sumber TEMPO. Untuk menutup kedua penyakit itu, kredit macet dan kredit ke grup sendiri, modal Panin menyusut amat besar.

Tapi Panin tak sendirian. Bank Lippo juga mengalami hal yang sama. Menurut seorang manajer menengah bank ini, kredit bermasalah di Bank Lippo menurut hasil audit, juga sudah lebih dari 60 persen dari jumlah ini, sekitar 20 persen di antaranya merupakan kredit macet total (tak membayar bunga dalam sembilan bulan). Dengan kredit bermasalah segede itu, Lippo Bank harus menyediakan dana provisi sebanyak Rp 5,4 triliun.

Padahal, hingga pertengahan tahun lalu Lippo Bank masih terlihat oke. Jumlah dana cadangan yang disediakan cuma Rp 370 miliar. Memang, ketika itu gejala-gejala buruk sudah terlihat. Margin pendapatan bunga bersih cuma 0,7 persen. Padahal, tahun lalu, bank yang dikomandani Mochtar Riady ini mencatatkan margin pendapatan bunga bersih sampai 5 persen. Artinya, pendapatan bunga Lippo merosot. Itu bisa disebabkan dua hal: kredit macetnya sangat besar atau Lippo menerima bayaran bunga kredit lebih rendah, atau sama dengan bunga deposito.

Nah, dengan tanggungan dana cadangan sebanyak itu dapat dipastikan modal Lippo saat ini sudah habis, bahkan malah minus. Dengan kata lain, Bank Lippo yang kelihatan begitu sehat sentosa masuk ke dalam kelas B, yang harus diinjeksikan modal.

Bank lain yang juga "jatuh" oleh auditor internasional adalah Bank Bali. Bank milik keluarga Ramli ini sebenarnya selama ini cukup hati-hati alias prudent dan cukup likuid. Pada Juli lalu, dengan patokan kurs Rp 14.900 per dolar, CAR-nya bank ini masih 8 persen. Rasio pinjaman dengan deposito tak sampai 80 persen.

Tapi tiba-tiba, setelah diaudit oleh tim auditor asing, Bank Bali juga diserbu timbunan kredit bermasalah. Menurut sumber TEMPO, kredit bermasalah di Bank Bali hampir mencapai 50 persen. Karena itu, dana provisi yang diberikan juga cukup besar, sehingga menekan jumlah modal Bank Bali. Tapi, menurut seorang analis perbankan, Bank Bali bisa mengangkat derajatnya sebagai bank kelas A jika mereka mampu memobilisasi dana publik untuk menambah modal--sebagaimana sudah direncanakan.

Nah, kalau bank-bank yang lumayan hati-hati seperti Panin, Lippo, dan Bali saja masuk kelas B, bagaimana dengan yang lain? Agaknya, beban modal yang harus dibayarkan pemerintah kepada bank-bank penyakitan ini memang tidak kecil.

Dwi Setyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus