Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Satu Rupiah, Seribu Kepentingan

Perekonomian Indonesia berada di simpang yang ruwet. Rupiah anjlok, ekonomi jeblok. Tapi, begitu rupiah bangkit, daya saing ekspor terancam koit. Sebuah permainan politik?

26 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terlalu tinggi susah, kelewat rendah juga payah. Agaknya, inilah nasib bangsa Indonesia hidup bersama rupiah: serba salah. Kita lihat saja. Ketika rupiah diinjak-injak keperkasaan dolar lebih dari setahun terakhir, masyarakat menjerit: harga-harga melonjak, suku bunga bank melambung tinggi. Perekonomian terancam mandek. Indonesia diancam resesi berkepanjangan.

Sebaliknya, ketika rupiah mendadak menguat kencang, orang pun tak kalah panik. Kenaikan nilai tukar rupiah langsung mengerek harga barang produksi Indonesia di luar negeri. Daya saing ekspor terancam. Padahal, di masa krisis seperti sekarang, ekspor merupakan satu-satunya mesin penggerak perekonomian yang masih sehat.

Adalah Menteri Koordinatior Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Ginandjar Kartasasmita, yang tampak begitu risau dengan penguatan nilai tukar rupiah. Sebagai pribadi, katanya, "Saya berharap harga dolar tak akan jatuh hingga di bawah Rp 5.000." Entah bagaimana menghitungnya, Ginandjar merasa lebih nyaman jika harga dolar berada pada kisaran Rp 7.000. Pada rentang ini, ia berpendapat bahwa eksportir kita masih mampu bersaing.

Tapi, soalnya, bukankah penurunan harga dolar sudah begitu lama ditungu dan diharapkan semua orang. Bukankah perekonomian Indonesia bisa pulih jika harga dolar bisa ditekan?

Dalam tiga bulan terakhir ini, rupiah memang terus menggelembung seperti lampion. Sejak Juli lalu, harga dolar yang biasanya amat giras tampak mulai bisa dijinakkan (lihat grafik kurs). Dan proses pengendalian dolar yang paling dahsyat terjadi selama Oktober ini. Cuma dalam tiga pekan, rupiah menguat hampir 50 persen. Untuk pertama kalinya sejak delapan bulan terakhir, harga dolar sempat mampir di bawah Rp 7.000.

Dengan kejutan ini, harus diakui, kemampuan ekspor kita mengkhawatirkan. Biaya produksi (rupiah) barang-barang Indonesia membengkak dua kali lipat dalam hitungan dolar. Sepatu, yang semula diproduksi dengan biaya US$ 20 per pasang, sebulan lalu, misalnya, tiba-tiba kini harus dibuat dengan ongkos US$ 40.

Namun, apakah itu berarti ekspor kita kemudian terancam? Tergantung dari mana melihatnya. Jika diukur dari bulan lalu, ya pasti: eksportir kita akan kehilangan sejumlah pendapatan. Keuntungan mereka memang terpangkas, tapi itu tak berarti rugi. Soalnya, jika kita sama-sama berangkat sejak awal krisis, Juli tahun lalu, "juara" depresiasi mata uang di Asia tetap dipegang rupiah. Kendati kini mulai membaik, nilai tukar rupiah terhitung anjlok paling dalam ketimbang mata uang lain (lihat tabel). Kalaupun harga dolar merosot sampai Rp 5.000, misalnya, eksportir Indonesia masih diuntungkan, masih dibeking rupiah yang murah.

Karena itu, mestinya tak ada alasan untuk risau--jika rupiah terus menguat. Justru sebaliknya, ada banyak dalih untuk bergembira. Di atas kertas, kebugaran rupiah akan menyehatkan ekonomi Indonesia melalui tiga jalan: inflasi akan turun, begitu juga suku bunga perbankan (artinya roda perekonomian akan kembali berpusing), dan kebangkrutan massal yang mengancam perusahaan pengutang dolar bisa dihindari.

Bagaimana penguatan rupiah menyehatkan perekonomian bisa digambarakan secara sederhana. Soal turunnya inflasi bisa dilihat pada pergerakan harga tradeable goods alias komoditi yang punya nilai jual di pasar internasional. Minyak sawit, beras, dan gula misalnya, selama ini sudah naik-turun sesuai dengan kurs dolar. Jika harga dolar turun, mestinya harga barang kebutuhan pokok ini bisa jauh lebih murah.

Gelagat turunnya inflasi ini sebenarnya telah dicatat Presiden Habibie. Menurut hitungannya, harga barang kebutuhan pokok sudah merosot 0,7 persen dalam dua pekan terakhir ini. Tak cukup besar, memang. Tapi, kalau dilihat trennya, cukup mengejutkan. Kita lihat saja. Ketika harga dolar melorot dari posisi sekitar Rp 14 ribu (Juli) menjadi Rp 11 ribu (Agustus), inflasi bulan Agustus cuma 6,3 persen (lihat grafik kurs).

Kemudian, ketika harga dolar turun lagi menjadi sekitar Rp 10 ribu pada bulan September, indeks harga-harga merosot lagi menjadi cuma 3,75 persen. Nah, pada Oktober ini, bagaimana jika harga dolar ada pada kisaran Rp 7.000? Gubernur Bank Indonesia (BI) Sjahril Sabirin yakin bulan ini inflasi bisa direm sampai 0 persen! Karena itu, Habibie berharap, harga dolar masih bisa ditekan sampai tingkat yang "layak".

Nah, kalau dolar bisa dikendalikan (dan gerak laju inflasi direm), suku bunga perbankan tentu juga bisa diturunkan. Maksudnya, pasokan rupiah bisa diperlonggar tanpa takut harga barang akan melejit lagi. Dalam dua bulan terakhir ini, seiring dengan makin murahnya harga dolar, tingkat suku bunga sertifikat Bank Indonesia telah diturunkan 18 persen, dari puncak 74 persen menjadi tinggal 56 persen.

Menurut Direktur Bank Indonesia Miranda Goeltom, jika nilai tukar bisa terus diturunkan, suku bunga rupiah bisa ditekan lagi. Ia punya ancar-ancar, akhir tahun nanti suku bunga perbankan sudah bisa dilorot menjadi cuma 40-45 persen. Tentu saja, tingkat suku bunga setinggi itu belum bisa merangsang dunia usaha. Tapi setidaknya upaya untuk menurunkan biaya modal sudah dimulai. Penurunan suku bunga bukan cuma akan menggerakkan kembali aktivitas ekonomi. Lebih dari itu, ia akan mengurangi tingkat kredit macet dan membantu menyehatkan sistem perbankan.

Terakhir, menguatnya rupiah juga memberi harapan pada perusahaan yang selama ini terancam bangkrut. Para analis pasar keuangan setuju, salah satu pemetik keuntungan dari melonjaknya nilai rupiah adalah para konglomerat pengutang dolar. Selama ini, dengan harga dolar di atas Rp 10.000, para konglomerat harus membayar utang dolarnya empat kali lipat dari jumlah yang dicairkan setahun lalu. Pembengkakan utang ini bukan cuma membuat arus kas jadi kembang-kempis, bahkan juga mengirimkan para konglomerat itu ke pengadilan kepailitan.

Tapi, sekali lagi, ketiga jalan penyehatan itu cuma perhitungan di atas kertas. Lalu bagaimana kenyataannya? Apakah penguatan rupiah kali ini serta-merta akan menurunkan inflasi, suku bunga, dan menyelamatkan konglomerat dari kebangkrutan?

Sayangnya, sejumlah analis kurang yakin. Kebangkitan rupiah kali ini terjadi bukan karena ada perbaikan perekonomian yang signifikan. Harus diakui, rupiah menjadi sedikit bugar karena harga dolar yang memang sedang menyusut--bukan cuma di Indonesia tapi juga di negara lain.

Di samping itu, ini penting, pemerintah terus menggerojok pasar dengan dolar. Aksi "campur tangan" ini dilakukan karena pemerintah harus mengonversi dolar yang mereka peroleh dari lembaga keuangan internasional (seperti IMF dan Bank Dunia) ke dalam rupiah. Caranya, mereka menjual dolar pinjaman itu untuk menyedot rupiah di pasar. Untungnya, intervensi ini dilakukan di pasar yang amat sepi--ketika nilai perdagangan rupiah/dolar di pasar uang tak sampai 10 persen dari volume transaksi pada zaman "normal". Akibatnya, rupiah dengan gampang bisa menguat.

Nah, karena itu, setrum kebugaran rupiah terhadap penyehatan perekonomian tak semanis seperti dalam teori. Mohammad Syahriyal, Kepala Riset Pentasena Securities di Jakarta, malah khawatir bahwa "target" menurunkan inflasi tak bakal terlaksana. Soalnya, rupiah yang sudah disedot bank sentral itu diinjekasikan lagi ke dalam perekonomian melalui beberapa saluran, antara lain, yang terbesar, subsidi bahan bakar, listrik, dan makanan. Selain itu, ada pula yang disemburkan melalui pelbagai proyek jaring pengaman sosial.

Syahriyal khawatir, injeksi rupiah malah menambah pasokan uang tanpa meningkatkan produksi. Artinya, ada kelebihan likuiditas. Ini justru akan memacu inflasi jauh lebih tinggi. Memang benar, inflasi yang didorong kenaikan biaya (cost push inflation) akan turun karena harga dolar melemah. Tapi penurunan ini akan diganti dengan inflasi yang dihela oleh naiknya permintaan (demand pull inflation).

Nah, jika inflasi tak bisa dikendalikan, suku bunga musthail bisa diturunkan. Rupiah boleh saja terus menguat terhadap dolar, tapi suku bunga akan terus melangit untuk mengimbangi kenaikan harga. Akibatnya, cita-cita menggerakkan roda perekonomian tak bakal kesampaian.

Bagaimana dengan ancaman bangkrut? Sami mawon. Para analis keuangan sepakat, konglomerasi Indonesia membutuhkan diskon kurs yang jauh lebih murah agar dapat melunasi utang. Menurut perhitungan Chia Woon Khien, Kepala Riset Asia SEB di Singapura, dengan harga dolar masih di atas Rp 7.000, sulit bagi swasta Indonesia untuk membayar kewajibannya. Bahkan, menurut riset SocGen Global Equities, pada kurs Rp 6.000 per dolar saja, beberapa perusahaan besar seperti Astra International, Semen Cibinong, dan Polysindo Eka Perkasa kesulitan membayar utang.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Alex Wreksoremboko, Kepala Riset Merrill Lynch di Jakarta, mengakui penurunan dolar penting bagi kesehatan perekonomian. Tapi ia berpendapat, penguatan rupiah yang terlalu cepat akan menyulitkan perencanaan perusahaan. Kejutan tiga pekan terakhir ini justru bisa menjadi bumerang bagi stabilitas (penurunan bertahap) yang sudah tercipta sejak Juli. Kini, menurut Alex, orang kembali menduga-duga, ke mana nasib rupiah setelah melenting cukup tajam. Pelbagai dugaan ini, kata Alex kepada Reuters, "Menjadi sumber utama gejolak rupiah."

Karena itu, menurut Alex, jika pemerintah memang berkomitmen memulihkan ekonomi, yang jauh lebih penting adalah stabilitas rupiah, bukan penguatan secara tiba-tiba. Dolar memang harus turun, tapi perlu digiring secara bertahap. Jika nilai tukar rupiah tak lagi bergejolak, swasta bisa melakukan perencanaan produksi, bahkan melakukan investasi baru. Dengan demikian, lapangan kerja kembali tersedia.

Seorang analis lain memandang curiga mengapa rupiah menguat begitu deras. Ia punya spekulasi, pemerintah melakukan "intervensi" bukan cuma untuk mengonversi utang dolar menjadi rupiah. Lebih dari itu, pemerintahan sekarang ingin meyakinkan rakyat bahwa mereka mampu mengatasi gejolak kurs. Keyakinan rakyat ini bisa jadi modal besar untuk menyongsong Sidang Istimewa MPR yang tinggal beberapa pekan lagi.

Itu soalnya, penguatan rupiah kali ini memicu perdebatan yang cukup kencang. "Anda lihat," kata analis perusahaan sekuritas di Singapura ini, "Sesama anggota kabinet malah gontok-gontokan sendiri."

Apa betul begitu, Pak Ginandjar? Pak Habibie?

Dwi Setyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus