Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, mengaku khawatir aplikasi Temu dapat merusak pasar lokal jika masuk ke Indonesia. Platform lokapasar asal Cina itu setidaknya telah tiga kali mendaftarkan merek mereka di Indonesia, tapi tak mendapatkan persetujuan dari pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Produk di Temu dijual dengan harga yang sangat rendah karena adanya subsidi besar dari platform tersebut. Ini dapat merusak pasar lokal," ucap pengusaha konveksi rumahan itu kepada Tempo, Senin malam, 7 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nandi mengatakan, industri yang akan terdampak oleh aplikasi Temu adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Sebab, sektor ini telah tertekan akibat impor besar-besaran dan praktik dumping. Banyak pengusaha, kata dia, khawatir kondisi ini akan membuat mereka tidak mampu bersaing dengan harga yang begitu rendah.
Selain harga yang murah, Nandi mengkhawatirkan konsep penjualan langsung dari pabrik ke konsumen di aplikasi Temu. Platform ini, kata dia, memotong peran distributor lokal seperti reseller, dropshipper, dan affiliator. Dia mengatakan, skema ini akan menghilangkan mata rantai yang menjadi mata pencaharian banyak orang di Indonesia. "Merugikan mereka yang berperan dalam distribusi barang dalam negeri," katanya.
Nandi menambahkan, aplikasi Temu akan menghadirkan tantangan bagi industri kecil dan menengah (IKM) yang terintegrasi dari hulu ke hilir. IKM, kata dia, berisiko terganggu lebih lanjut karena serbuan barang murah yang dijual tanpa kontrol ketat. Hal ini dapat memperburuk praktik impor ilegal dan produk berkualitas rendah yang sudah menjadi tantangan utama para pengusaha.
Dalam jangka panjang, Nandi mengatakan aplikasi Temu bisa berdampak serius terhadap industri lokal. Dengan harga yang sangat rendah dan subsidi, Temu bisa merusak ekosistem bisnis kecil hingga menengah yang bergantung pada rantai pasok tradisional. Industri tekstil Indonesia yang menyerap jutaan tenaga kerja, kata dia, bisa mengalami penurunan produktivitas dan peningkatan pengangguran jika platform seperti Temu mendominasi pasar.
"Kehadiran platform seperti Temu memerlukan tindakan tegas dari pemerintah untuk melindungi industri lokal, terutama dengan memperkuat kebijakan perdagangan dan menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia," katanya.
Sejak September 2022, Temu telah tiga kali berusaha mendaftarkan merek di Indonesia, seperti diungkap Fiki beberapa hari lalu. Bahkan pada 22 Juli 2024, Temu sempat mengajukan ulang pendaftaran mereka di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Pendaftaran ini gagal karena telah ada perusahaan asal Indonesia dengan nama serupa dan dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang mayoritas sama.
Pilihan Editor: Direksi dan Komisaris Net TV Mengundurkan Diri, Ada Apa?