PRO dan kontra ekspor rotan dari Indonesia ramai diperdebatkan
dalam acara diskusi yang mengiringi Furnifair (pameran mebel)
1981. Bertempat di Pekan Raya Jakarta, peserta pameran rotan --
di samping aneka mebel mewah dari kayu -- juga lumayan: dari 1
stand saja tahun lalu, menjadi 7 akhir Desember 1980. Disainnya
pun banyak yang bagus.
Tak heran kalau Antonio Borja, Ketua asosiasi pengusaha mebel
Asean (AFFMA) berkata bangga: "Tahun 1981 permintaan mebel dari
jenis ini akan mencapai US$ 2 milyar." Ahli rotan dari Filipina
itu bersama Tony C. Lo, rekan senegaranya, kemudian menerangkan
secara panjang lebar mengenai sukses mereka mengelola rotan
sebagai barang industri.
"Produksi rotan di Filipina hanya sepersepuluh produksi rotan di
Indonesia. Tapi dengan melarang ekspor rotan yang belum diproses
sebagai barang jadi, hasil devisa yang kami peroleh meningkat
sebanyak 5 kali lipat," kata Antonio Borja.
Indonesia, yang menghasilkan 80% produksi rotan dunia, memang
belum pandai memanfaatkan pohon yang banyak terdapat di
hutan-hutan Kalimantan dan Sumatra itu. Dalam tahun 1979 seluruh
ekspor rotan dari Indonesia mencapai US$ 79,5 juta. "Dari jumlah
itu sebanyak 91,89% berasal dari ekspor rotan batangan, 8,1%
dari kulit atau hati rotan dan hanya 0,0l% berupa mebel," kata
Dirjen Aneka Industri Kusudiarso Hadinoto dalam diskusi itu.
Sang dirjen prihatin melihat andil Indonesia yang masih secuil
dalam ekspor mebel rotan. Menurut dia, kalau saja ekspor
seluruhnya berupa barang jadi, seperti di Filipina, "hasilnya
pasti akan meningkat sampai 7 kali lipat," katanya.
Isu
Para peserta diskusi pun mulai menghitung-hitung. Dan setelah
bicara seharian, mereka mencapai kesepakatan. Intinya: agar
pemerintah membatasi, kalau bukan menghentikan, ekspor rotan
yang belum jadi. Tentu saja itu tak berlaku buat negeri Asean
seperti Filipina, yang memang sudah "maju" dalam industri rotan.
J. Mintahir, pengusalla mebcl terkenal yang memiliki usaha
patungan dengan Jepang di Klender, Jakarta Timur, mengutip
kesimpulan diskusi panel itu: "Bangsa Indonesia akan menderita
kerugian berupa kehilangan kesempatan kerja, kehilangan
kesempatan memperoleh tambahan devisa nonminyak, serta menjauh
dari sasaran pemerataan, jika tak memperhatikan hasil diskusi
itu," katanya.
Tapi suara lain, yang tak setuju pelarangan ekspor rotan
batangan itu, mempunyai argumentasi yang tak kalah kuatnya.
"Arah kami memang ke pelarangan ekspor, seperti dikemukakan
Mintahir itu. Tapi terus terang saja, kalau sekarang kami belum
siap. Mau dilempar ke mana hampir 90% rotan batangan yang biasa
diekspor itu," kata Holan Tejokusumo, ketua umum asosiasi rotan
Indonesia Arindo).
Beranggotakan sekitar 100, terdiri dari pengusaha mebel,
pengumpul dan pemungut rotan serta eksportir rotan batangan,
pucuk pimpinan dari organisasi yang belum berusia setahun ini,
memastikan bahwa pengusaha mebel di dalam negeri jelas belum
mampu menerima keseluruhan rotan batangan yang biasa diekspor
itu. Dia juga memastikan, yang bakal menjerit tak terbatas pada
para eksportir, pengumpul dan pemungut rotan batangan. "Saya
ngeri. Paling sedikit 10 ribu perotan akan kehilangan nafkah,
jika pemerintah jadi mengeluarkan peraturan yang melarang ekspor
rotan," kata Zulherry Djohor, ketua asosiasi rotan di Sumatera
Barat kepada TEMPO.
Tak begitu jelas apakah pengusaha dari Sum-Bar itu ingin
menakut-nakuti orang. Tapi dia mengingatkan, tahun lalu tak
kurang dari 10 eksportir di Sum-Bar yang "bangkrut", hanya
karena beredarnya isu Indonesia akan melarang ekspor rotan
batangan. Menurut Zulherry, isu itu sempat membuat para
importir di luar negeri memborong dan menumpuk stok rotan. Tapi
ketika isu itu ternyata tak benar, mereka menghentikan
pembelian. "Akibatnya fatal buat eksportir," katanya.
Meniup-niupkan isu yang berbau negatif, salah-salah memang bisa
ditindak oleh Kopkamtib. Apalagi kalau isu itu sampai membuat
sejumlah perusahaan gulung tikar. Toh ada yang beranggapan
peringatan yang dilontarkan pengusaha rotan dari 'tanah
seberang' itu sebagai dicari-cari. "Ah, itu kan dalih saja. Kita
ini harus "push" (mendorong) dari sekarang," kata M. Djalal
Kamal, salah seorang dari Kamal bersaudara itu. "Kapan lagi
kalau tidak sekarang?"
Benar juga. Industri rotan di Indonesia sudah tentu tak bisa
menunggu hingga hutan-hutan rotan itu habis dibabat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini