RIBUAN pengrajin intan di Martapura terancam kehilangan kerja.
Daerah penghasil intan satu-satunya di Indonesia itu sekarang
hanya menghasilkan 11% dari kebutuhan yang berjumlah 180.000
karat/tahun. Bulan November yang baru lalu para pengrajin di
sana sempat bangkit gairahnya. Karena seorang industrialis intan
dari Amsterdam, Belanda, Samuel Gassan, bersedia menutup
kebutuhan bahan baku intan dengan harga relatif murah.
Pertengahan tahun 1980 orang Belanda itu berkunjung ke
Martapura, Kalimantan Selatan, berjumpa dengan para pengrajin di
sana. Sempat pula dia memberikan petunjuk bagaimana meningkatkan
mutu penggosokan. Tiga orang pengrajin dari sana malahan
mendapat kesempatan magang di perusahaan intan milik Gassan di
Amsterdam.
Gassan rupanya melihat bakal ada cahaya kalau hubungan dengan
Martapura ini diteruskan. Maka bulan November dikirimkannya 1000
karat intan mentah. Harganya, menurut beberapa pengusaha intan
di Martapura cukup rendah. Jika digosok masih bisa bersaing di
pasaran internasional. Perkarat $7 atau Rp 4.375. Para pengusaha
intan di Martapura gembira. Apalagi pembayaran harga intan itu
akan dilakukan oleh Bank Indonesia Cabang Banjarmasin. Para
pengusaha tinggal mencicil kewajibannya kepada BI.
Untuk mengelola intan mentah dari Belanda itu para pengusaha
bergabung dalam Koperasi Pengrajin Intan Martapura. Tapi belum
sempat digosok, para pengusaha yang berjumlah 70 orang bermaksud
mengembalikannya. Mereka kecewa. "Karena penetapan bea-masuk
terlalu mahal," cetus M. Yusuf, salah seorang pengusaha.
Menurut pengusaha yang mempekerjakan 100 pengrajin itu pihak Bea
Cukai Banjarmasin menetapkan bea-masuk Rp 3 juta untuk seluruh
bahan baku intan yang bernilai Rp 4,3 juta. "Mana kami bisa
makan untung," kata Yusuf. Karena keuntungan yang sudah
dibayangkan ternyata disedot bea-masuk. Belum lagi dihitung
bunga bank dan penyusutan setelah intan diasah.
Beberapa pihak memperkirakan beamasuk yang tinggi ini akan
merangsang impor intan secara tidak resmi. Sebab para pengrajin
sudah lama mengenal adanya "intan Eropa" yang masuk secara
gelap. Digosok di Martapura dengan ongkos tenaga kerja yang
murah, kemudian kembali lagi ke pasaran Eropa.
Rencana pengembalian intan Belanda itu rupanya sebagai akibat
belum adanya pembicaraan yang matang di antara berbagai pihak,
sehingga Bea Cukai memasang tarif resmi. Sementara pihak Bank
Indonesia di Banjarmasin belum bisa memberikan tanggapan
terhadap rencana pengembalian intan oleh para pengusaha tadi.
"Pimpinan sakit," cuma itu keterangan yang diperoleh koresponden
TEMPO, Syahran R.
Bea-masuk yang tinggi itu kelihatannya berbuntut panjang. Para
pengusaha intan yang begitu antusias dengan kiriman intan dari
Samuel Gassan ini telah mendirikan PT Sumber Intan. Duduk
sebagai pimpinan K.H. Badruddin, ulama terkemuka di Kal-Sel dan
seorang anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Sumber Intan direncanakan akan menggantikan fungsi BI dalam
masalah impor intan. Terakhir PT ini kabarnya mengirimkan surat
kepada Menteeri Keuangan Ali Wardhana meminta keringanan
bea-masuk. "Kami menunggu jawaban menteri. Andai saja bea-masuk
lebih lunak, pemerintah untung, pengusaha dan pengrajin
tertolong," kata Yusuf salah seorang anggota Sumber Intan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini