ADA potret Bung Hatta di Negeri Belanda -- masih muda, tahun
1920an. Ada potret Moh. Roem, juga di sana. Ada juga Ali
Sastroamidjojo. Ahmad Subardjo. Iwa Kusumasumantri. Sjahrir. Dan
banyak lagi.
Terpampang di buku-buku sejarah atau memoar pribadi,
potret-potret itu selalu menggambarkan wajah-wajah yang belia,
dengan pakaian rapi dan semua muka menghadap lensa, serta sorot
mata yang mewakili semangat muda yang mantap. Kesan yang selalu
tertangkap: kehidupan intelektual yang sedang dgembleng --
sekalipun peruangan tanah air dari negeri orang.
Dan memang, Negeri Belanda-lah yang merupakan kancah pertama
para mahasiswa kita (istilah waktu itu: pelajar) yang berjuang.
Di sana pada 1908 dibentuk Indische Vereeniging, kemudian
menjadi Indonesische Vereeniging dan terakhir 'Perhimpoenan
Indonesia di Negeri Belanda, perkumpulan yang pertama kali
mempropagandakan kemerdekaan Republik.
Bahkan tidak hanya di Negeri Belanda -- satu-satunya negeri
Barat yang "dikenal" waktu itu. Di Mesir, yang -- seperti juga
Mekah dan Madinah --merupakan tempat pencetakan intelektual dari
kalangan keagamaan, tahun 1947 para pelajar kita membuktikan
darmabaktinya. Pengakuan kemerdekaan RI secara de facto dan de
jure oleh Liga Arab waktu itu tak lain berkat jasa Perhimpunan
Pemuda Indonesia dan Malaya (Perpindom) di sana. 18 November
1946 mereka mendesak dalam sidang liga secara meyakinkan -- dan
akhirnya persetujuan diumumkan kepada seluruh negara anggota.
Sejak itulah para pembesar kita yang kebetulan bertamu atau
lewat di sana disambut meriah sebagai pemimpin negara merdeka.
Waktunya memang sudah agak lama. Dan karenanya, orang-orang
Indonesia yang sekarang ini mengirimkan anak-anaknya bersekolah
ke luar negeri barangkali tak lagi ingat, betapa pun mereka
menjadi makmum alias buntut para pendahulu itu. Zaman memang
sudah banyak berubah, dan motivasi menjadi "studen luar negeri"
sudah lebih banyak bervariasi.
Perjuangan tidak lagi perjuangan kemerdekaan yang "jelas
sosoknya". 'Perjuangan' dari negeri orang, menjadi sesuatu yang
tidak selalu gampang dicari maknanya -- andai toh kata itu masih
relevan. Organisasi dengan begitu bukan lagi satu-satunya alat
pengukur: seorang mahasiswa bisa menyiapkan dirinya untuk
"mengabdi", baik "buat tanah air" maupun biasanya buat diri
sendiri, hanya lewat ketekunan pribadi. Tak heran bila
organisasi tak begitu laris -- atau bahkan hanya sekedar
terdengar namanya.
Di Prancis, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) -- dan istilah
'pelajar' memang tetap dipertahankan sebagai penghormatan kepada
perjuangan lampau -- 16 Januari nanti tepat 23 tahun. Menurut
pengamatan koresponden TEMPo di sana, PPI tak begitu populer di
kalangan mahasiswa kita yang menurut catatan terakhir KBRI Paris
berjumlah 293 orang. Mereka yang tahu pun agaknya ogah-ogahan
masuk. Dan yang sudah masuk punya komentar hampir seragam pasif.
Bukan cuma di Prancis, Permias (Perhimpunan Mahasiswa di AS) pun
tak banyak punya kegiatan, selain susah mendapat anggota.
November yang lalu misalnya mereka mengadakan acara: lomba folk
song. Seminggu sebelumnya mereka ikut pula merayakan "pesta
mengenang para arwah", satu pesta tradisional Amerika Serikat
yang disebut Halloween Party. "Wah, saya senang berpesta, senang
sekali," kata Yasmin Kamal, 25 tahun, mahasiswi University of
Southern California. Dan karena itu ia menilai kegiatan Permias
"sangat baik dan berhasil."
Juga di Australia, yang PPI-nya berumur 27 tahun. Seperti bisa
dibaca dalam Buletin PPI, perkumpulan itu mengesankan seolah
hanya membuka kegiatan olahraga dan piknik. Dari anggota yang
tercatat 50% terbilang aktif.
Tak mengherankan kalau seorang mahasiswa USC yang alim, Doddy,
menilai Permias sebagai "organisasi orang kaya yang kegiatannya
hanya foya-foya," (lihat: Calon Bupati dan lain-lain).
Ada yang menyimpulkan, untuk sementara, kesuksesan organisasi
disebabkan karena kebanyakan mahasiswa kita yang kebetulan
nonpri keturunan Cina, yang nampaknya lebih banyak cuma ingin
belajar dan bekerja. Kemudian golongan lain: mahasiswa yang
dikirim pemerintah Indonesia, yang cenderung menghindar dari
organisasi. Maklum, mereka menganggap salah-salah bisa "keluar
dari rel pemerintah", yang tentu saja akan menyusahkan mereka
sendiri -- seperti dikatakan Bonar Situmorang yang sedang
mengambil gelar doktor di sebuah universitas di London.
Juga PPI di Inggris'(berdiri 1971) dan Jepang (berdiri 1953) tak
begitu aktif maupun populer.
PPI biasanya memang menerbitkan majalah unNk anggota. Tak semua
bermutu. Bahkan buletin PPI Australia, mirip majalah sekolah
menengah di Indonesia. Ada ramalan bintang segala.
Dalam hal itu majalah PPI Jerman Barat boleh dipandang. Bahkan
tahun lalu edisi ekstra Berita & Analisa (telah menginjak tahun
ke-4, dicetak 6 ribu eks, gratis) itu menjadi persoalan. Nomor
pertengahan tahun itu memuat berita yang di pers Indonesia
sendiri dilarang diekspos: tentang Petisi 50. Langsung Pengurus
PPI Pusat di Berlin melarang lembaran ekstra tersebut terbit
untuk selanjutnya.
Tapi protes datang. PPI cabang Hamburg dan Berlin mengadakan
diskusi, dan hasilnya: tak setuju pelarangan itu. Gatot Ismono,
mewakili PPI Pusat, orang yang mereka kenal sebagai sangat pro
pemerintah, menjelaskan: sebetulnya tak perlu diterbitkan
lembaran ekstra, katanya. "Kalau hanya untuk memuat petisi, ada
ratusan petisi disampaikan ke DPR oleh rakyat. Mengapa itu tak
dimuat?" Tentu saja mereka yang tak setuju pelarangan bilang:
"Petisi 50 itu 'kan berita. Yang lain belum tentu" -- meski
mereka memang tidak mengingat apakah memuat itu "bijaksana".
PPI Jer-Barat yang aktif juga menerbitkan majalah Gelanggan,
yang tahun ini menginjak tahun ke-25. Merupakan majalah ilmiah
populer, dicetak rapi dan dijilid bagus.
Yang unik barangkali PPI di Mesir, yang jelasjelas dalam
anggaran dasarnya menyebut "organisasi ini berdasarkan Islam"
(Pasal II). Dan ini sekali waktu menimbulkan masalah juga: April
1975 duta besar kita di Kairo mengirim surat kepada mereka:
menyarankan perubahan pasal II dari anggaran dasar yang dibikin
sejak PPI itu dilahirkan dulu.
ALASAN surat dari PPI sama kerasnya: meminta mencabut surat
Dubes tersebut, karena itu "menodai demokrasi Pancasila". Dubes
tersebut tak lama kemudian digantikan oleh Prof. Dr. Fuad Hassan
yang sebelumnya Dekan Fak. Psikologi UI.
Berdasar pengamatan, boleh jugalah mahasiswa Indonesia di luar
negeri dibagi ke dalam tiga golongan yang kritis (dan
kadang-kadang berarti "suka mengritik pemerintah", yang suka
membela dan yang acuh-tak-acuh. Mereka yang pribumi dan belajar
di jurusan ilmu-ilmu sosial, banyak yang tergolong yang pertama
--maklum, sesuai dengan bidangnya yang membuka pikiran.
Perhatian mereka terhadap peristiwa di tanah air, besar -- dan
dari situ juga kadang-kadang mereka memuji. Cara mereka bicara
biasanya terus terang.
Mereka yang suka membela pemerintah lazimnya para pengurus PPI,
setidaktidaknya jenis Gatot Ismono dari JerBar tadi. Juga
umumnya para mahasiswa ilmu-ilmu eksakta yang erat hubungannya
dengan teknologi -- dan biasanya bakal lebih mudah mendapat
pekerjaan, dan karena itu tidak "rewel". Jumlah mereka itu lebih
banyak.
Tapi yang jelas, semuanya saja merasa terpaksa harus belajar
sungguh-sungguh. Kuliah di negara-negara Barat tidak main-main.
Bukan menghafal yang penting, tapi mengemukakan pendapat atau
hasil karya sendiri. "Di Indonesia mahasiswa seperti tidak biasa
atau tidak bebas mengemukakan pikirannya sendiri," kesan Mira
Surianegara, mahasiswi jurusan jurnalistik di Paris.
Kesungguhan belajar itu bisa ditunjukkan lagi di Australia: ada
kontrol dari kementerian pendidikan sana terhadap mahasiswa
asing. Yang tak naik tingkat ada kemungkinan tak diizinkan lagi
tinggal sebagai pelajar.
Tentang kehidupan di Indonesia komentar para mahasiswa kita di
luar negeri hampir seragam. Mereka melihat kompetisi menumpuk
kekayaan yang tak sehat. Jurang kaya dan miskin terlalu kentara.
Dan semangat konsumerisme menggebu-gebu.
"Semangat itu memang perlu dialihkan menjadi semangat produktif
-- misalnya dengan politik perdagangan, dengan industri yang tak
mendorong konsumerisme dan politik periklanan," kata Farid
Wajdi, 29 tahun, mahasiswa komputer di Paris. Tapi bagaimanakah
"konsumerisme" di kalangan para mahasiswa sendiri?
Baik konsekuen atau tidak, umumnya mahasiswa kita di Eropa atau
Jepang memang hidup pas-pasan. Juga di wilayah pantai timur AS
-- Washington, New York, misalnya. Hanya mereka yang di
California, wilayah pantai barat, dan juga London, dikenal
berduit.
Dan California kebanyakan mahasiswa memang bermobil, mewah-mewah
lagi. Salahseorang bahkan punya Jaguar seharga $30 ribu (sekitar
Rp 20 juta). Dan jangan kaget bila mendengar komentar
cewek-cewek Taiwan atau 3epang di sana "Indonesians? Oh, their
cars are fantastic!" Kebanyakan mereka "nonpri" atau anak
pejabat tinggi.
Dr. Juwono Sudarsono, Pembantu Dekan I Fak. Ilmu-ilmu Sosial UI,
yag pernah belajar di AS dua tahun dan di Inggris tiga tahun,
pun punya kesan begitu. "Anak-anak pejabat itu tinggal di flat
mahal, bermobil mewah, dan bangga kalau kena denda karena salah
parkir " ....
Motif mahasiswa belajar di luar negeri memang macam-macam,
sehingga memang cukup banyak yang sekedar gagah-gagahan.
Mahasiswa "nonpri" biasanya menjawab: "Di Indonesia susah
mendapat universitas negeri yang terjamin kualitasnya" -- di
samping diketahui bahwa untuk masuk universitas negeri banyak
dikatakan agak susah buat mereka. Yang lain-lain, kalau tak
dikirim pemerintah atau lembaga antar negara, ya untuk "mendapat
pengalaman luas". Termasuk yang memanfaatkan kenyataan masih
banyaknya orang di sini yang silau dengan lulusan luar negeri.
Padahal tak semua universitas di sana bermutu, seperti pernah
dinyatakan Menteri P&K.
Untuk mengetahui persis berapa mahasiswa kita di luar negeri
memang tak gampang. Tak semua mencatatkan diri ke KBRI atau
konsulat setempat. Berdasar catatan KBRI di Washington, Tokyo,
London, Paris, dan Canberra, kebanyakan mahasiswa kita mengambil
jurusan teknik (engineering). Sejumlah yang lain pendidikan,
ilmu-ilmu sosial, kesenian dan ekonomi.
Mereka berangkat ke luar memang boleh dengan bermacam alasan.
Tapi mahasiswa kita di Prancis hampir seragam penilaiannya
tentang pendidikan di Indonesia sendiri: prasarana tak memadai,
biaya mahal, kurikulum terlalu lemah, sehingga kualitas tak
sepenuhnya terjamin.
Tapi seorang mahasiswa di Paris, menilai pendapat teman-temannya
yang suka berkata ini -- itu "karena mereka jauh dari Indonesia.
Nanti setelah kembali, biasanya pendapat itu hilang entah ke
mana."
Ada daya serap yang besar rupanya di kampung halaman. Dan itu
boleh berarti positif -- boleh pula hanya menunjukkan bahwa
"periode yang kreatif dan gagah" dalam hidup sudah lampau. Agak
berbeda memang dari para mahasiswa zaman perjuangan dulu. Zaman
memang tidak berhenti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini