Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menuju Kesejajaran Pri dan Nonpri

Peningkatan usaha pribumi jangan berkonotasi pada sara. pembagian kredit yang tidak seimbang menim- bulkan kecemburuan. beban utang indonesia akan mencapai us$ 70 milyar.

20 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembagian kredit yang timpang semakin menjurus pada kesenjangan. Yang penting, peningkatan usaha pribumi tanpa konotasi SARA. Beban utang RI meningkat jadi US$ 70 milyar? KEHADIRAN bank baru tidak lagi menggugah perhatian seperti dua tahun lalu. Di Jakarta, bank-bank tumbuh bagaikan jamur hingga tak ada lagi yang terlalu istimewa, kecuali bila ia bisa menawarkan suku bunga kredit yang lebih rendah. Dan hal itu hampir-hampir mustahil. Yang rupanya tidak mustahil ialah dua kelompok yang selama ini diisukan tidak sepaham -- antara lain karena perbedaan ras -- kini bersama-sama mendirikan sebuah bank. Kejadian tersebut benar-benar merupakan titik tolak yang baru, khususnya di tengah kecamuk isu pri-nonpri dewasa ini. Bank tersebut diberi nama Bank Dagang Industri (BDI), dan menurut Ciputra, BDI merupakan contoh ideal dalam rangka mendukung pembauran dan pemerataan. Benarkah BDI layak disebut ideal? Tak kurang dari 150 pengusaha menunjang kehadirannya, sebagian adalah pengusaha kelas kakap. Dari kalangan pribumi ada Sukamdani S. Gitosardjono, Sotion Ardjanggi, Fadel Muhammad, Iman Taufik, dll. Dari nonpri, selain Ciputra sendiri ada Liem Sioe Liong, Mochtar Riady, Eka Tjipta Widjaja. Kabarnya, BDI akan banyak memberikan kredit kepada pengusaha kecil dan menengah. Tentu saja di saat isu pri-nonpri meruncing, dan langsung dikaitkan dengan kesenjangan antara kedua ras, BDI bisa saja terkesan ideal. Apalagi Fadel Muhammad (bersama Aburizal Bakrie, Fahmi Idris dkk.), oleh pihak tertentu disebutkan sebagai motor terbentuknya Kelompok 17. Seperti ditulis dalam TEMPO nomor terdahulu, mereka yang 17 itu secara terkoordinasi melakukan pembicaraan dengan Departemen Keuangan. Dalam kesempatan itu, mereka memperjuangkan agar pengusaha pribumi diberi kesempatan lebih baik, supaya bisa berkembang lebih cepat. Semua keterangan ini benar, kecuali nama Kelompok 17. Soalnya, mereka tidak mengelompok dalam pengertian berorganisasi, dan juga tidak menyebut dirinya "Kelompok 17". Salah satu pengusaha yang berpartisipasi di situ adalah bos grup Bakri, Aburizal alias Ical. Sabtu pekan silam, usai berceramah di Pondok Pesantren Darusalam Gontor, Jawa Timur, Ical meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan wartawan TEMPO Zed Abidien. Dia membenarkan adanya pertemuan-pertemuan dengan para pejabat Departemen Keuangan (Menteri Sumarlin, Menteri Muda Keuangan Nasrudin Sumintapura, dan Ali Wardhana). "Inti pertemuan tersebut bukan dalam rangka minta bantuan dana," kata Aburizal. "Tapi untuk memikirkan bagaimana meningkatkan usaha pribumi, tanpa berkonotasi pada SARA." Selama ini dia melihat, pertumbuhan ekonomi nasional telah melahirkan kesenjangan sosial, yang diakibatkan oleh perbedaan kesempatan. "Ada persepsi di kalangan masyarakat, yang bisa berdagang itu hanya kelompok masyarakat nonpri. Ini tidak benar," tutur Ical. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, diperlukan upaya pencepatan perkembangan usaha-usaha pribumi. Dari kecil menjadi menengah, dari menengah menjadi besar. Setelah besar jadi konglomerat. "Akhirnya, pada sepuluh tahun mendatang, diharapkan posisinya sama." Maksudnya, pribumi bisa sejajar dengan nonpribumi. Hambatan besar terletak di segi pendanaan. Selama ini pengusaha kecil sampai menengah lebih banyak mengalami kesulitan dalam mencari kredit usaha, dibandingkan perusahaan-perusahaan besar. Ketika kebijaksanaan uang ketat dilansir Menteri Keuangan Sumarlin, mereka lebih kalang kabut, sementara grup-grup besar, pri ataupun nonpri, tetap memiliki akses untuk menyambar dana. Sampai di sini, yang muncul memang bukan perkara pri atau nonpri lagi. Tapi bergeser pada tindakan pemerintah, yang oleh para pengamat dinilai sangat tidak konsisten. Pemerintah seperti melakukan tindakan melawan arus yang diciptakannya sendiri, yakni mengucurkan kredit (untuk kelompok tertentu) sambil tetap melancarkan pengetatan likuiditas. Contoh kasusnya adalah kredit untuk proyek Pabrik Olefin Chandra Asri, yang menurut sumber Pertamina bernilai US$ 2,25 milyar (sekitar Rp 4,5 trilyun). Proyek ini kebetulan dikuasai oleh dua tokoh nonpri (keturunan Cina) yang memiliki jaringan bisnis ke mana-mana, yakni Liem Sioe Liong dan Prajogo Pangestu. Belum lagi kredit-kredit istimewa yang dicairkan untuk kegiatan usaha mereka lainnya -- seperti proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Enim Musi Lestari milik Prajogo di Sumatera Selatan, yang kabarnya bernilai Rp 5 trilyun. Atau proyek Pengembangan Pulau Bintan senilai Rp 3,8 trilyun milik Salim Group. Menurut sumber yang dekat dengan Departemen Keuangan, jumlah nilai seluruh proyek raksasa itu sekitar US$ 70 milyar. Tak mengherankan jika ada bank pemerintah yang sempat mengalami kekeringan dana kendati sebelumnya baru saja memperoleh offshore loan Rp 8 trilyun. Penyebabnya tak lain karena bank itu diperintahkan ikut mencairkan dana ke proyek-proyek raksasa milik konglomerat tersebut. Tidak mengherankan jika pencairan beberapa perjanjian kredit untuk pengusaha lainnya (yang kebetulan pribumi) terpaksa ditunda. Yang merisaukan ialah, jumlah dana yang terpakai untuk membiayai proyek tersebut bisa mengancam ekonomi nasional. Karena kalau semua itu gagal, "Pemerintah Indonesia yang harus menanggung utangnya," kata seorang pakar ekonomi. Itu karena pen- cairan dananya berdasarkan jaminan yang diberikan oleh bank pemerintah dan BUMN. Pada 1983, ketika Pemerintah minta penjadwalan kembali utangnya, jumlah yang harus ditanggung hanya US$ 15 milyar. Kini, kalau terjadi penjadwalan ulang utang-utang RI, bebannya paling tidak US$ 70 milyar itu. Di luar itu, kecemburuan juga timbul karena pembagian kredit ternyata tidak seimbang. Menurut sumber TEMPO di Bank Indonesia, pada 1988 jumlah offshore loan yang diperoleh kelompok pribumi hanya USS 888 juta, sementara kelompok nonpri mendapatkan US$ 6,7 milyar. Pada Juni 1991 ini, pribumi memang berhasil memperoleh hampir US$ 4 milyar, tapi porsi yang diperoleh nonpri juga melonjak, menjadi US$ 7 milyar. Namun, agaknya yang juga menggores kenyataan bahwa dana sekitar Rp 90 triIyun dari bank-bank pemerintah telah disalurkan ke pengusaha nonpribumi, sedangkan porsi pribumi ter- lalu kecil. Tak terlalu salah, bila hal-hal yang mempertegas kesenjangan itu ikut menyalakan antipati kepada kelompok nonpri. Hal itu sempat pula tebersit dalam sidang-sidang Dewan Pertimbangan Agung sepanjang pekan lalu. Soal kesenjangan sosial ekonomi yang mengarah pada perbedaan pri dan nonpri dibahas secara mendalam. Sumber TEMPO di DPA menyebutkan, para anggota DPA memperoleh masukan mengenai ketegangan pri-nonpri. Karena adanya penguasaan kegiatan ekonomi oleh kelompok nonpri tertentu, DPA perlu menelaahnya. Hasil telaah itu akan diolah sebagai masukan kepada Presiden Soeharto. Pakar ekonomi Kwik Kian Gie mengatakan, kendati ada masalah seperti itu, "Saya tidak setuju kalau kemudian ada kebijaksanaan yang bersifat diskriminatif berdasarkan ras. Karena akan bertentangan dengan UUD '45 dan Pancasila." Fahmi Idris, bos Grup Kodel, berpendapat, "Kita harus melihat persoalannya secara proporsional." Maksudnya, jangan sampai terperosok kepada perbedaan pri dan nonpri. Soalnya, di antara nonpri sendiri, banyak yang tidak mujur karena tidak memperoleh kredit, sedangkan orang-orang seperti Liem Sioe Liong dan Prajogo Pangestu dengan mudah memperolehnya. Masalah dasarnya, seperti kata para pengamat dan pelaku ekonomi, adalah kebijaksanan Pemerintah yang selama ini sering kurang jitu. Padahal, menurut penilaian Fahmi, Pemerintah memainkan peran sentral. Soal pengaturan kredit, misalnya, ada yang berpendapat bahwa hal ini tidak bisa dilepaskan begitu saja. Dari total kredit yang besarnya sekitar Rp 95 trilyun, 63% dipasok oleh bank-bank pemerintah. Yang disalurkan oleh bank-bank swasta berkisar 24%. Sisanya diperoleh dari pinjaman luar negeri. Di pihak lain, dari pihak Pemerintah sendiri belakangan ada kecenderungan mengurangi campur tangan dalam penyaluran kredit. Bahkan, menurut Prof. Sadli, susah untuk menyatakan adanya kekeliruan pada pemerintah. "Kebijaksanaan kredit apa saja yang dilakukan oleh pemerintah selalu akan ada golongan penerima kredit yang merasa dirugikan," katanya. Pemerintah hanya dapat mengusahakan, agar ada sejumlah kredit yang disalurkan ke pengusaha kecil, yaitu 20% dari total kredit sebuah bank. "Bahwa dalam prakteknya jatah tersebut tidak sampai ke sasaran, itu soal lain, yang tak bisa diasosiasikan sebagai kekeliruan kebijaksanaan pemerintah," tuturnya. Kesalahan terbesar sesungguhnya terjadi di kalangan perbankan kita. "Selama ini mereka lebih banyak bertindak sebagai penjual uang," tuding Fadel Muhammad. Ia memberikan contoh kasus pencairan kredit dari Bapindo untuk Robby Tjahjadi sebesar Rp 900 milyar, yang berlangsung mulus. "Sementara kami susahnya setengah mati," Fadel bicara ceplas-ceplos. Dalam situasi begini, harapan perbaikan digantungkan kepada bank-bank pemerintah. "Karena mereka yang paling banyak duitnya," kata Soebagyo Wiryoatmodjo, bekas pentolan di Astra yang sekarang jadi Komisaris Tiga Mas Group dan Bank Susila Bhakti. Soebagyo dan kawan-kawannya berharap, bank pemerintah bisa mengatur pemberian kreditnya agar tidak mengucur ke kelompok tertentu saja. "Yang sudah kuat biarlah mencari dana ke luar negeri," katanya. Soalnya menjadi lain bila ternyata bank-bank pemerintah tidak bebas menentukan arah kebijaksanaan kreditnya. Gubernur BI atau Menteri Keuangan memang sebagai pemegang otoritas moneter. Tapi tidak tertutup kemungkinan, mereka menyesuaikan diri dengan keputusan-keputusan di luar urusan moneter murni. Maka, dibukalah keran-keran kredit mendadak -- untuk BPPC dan Proyek Olefin itu misalnya -- sementara kebijaksanaan uang ketat tetap diberlakukan. Disusul pemberian kredit khusus bagi sejumlah pengusaha besar pribumi yang selama ini memiliki akses bagus ke Departemen Keuangan -- dengan bunga istimewa, yakni 4% lebih murah daripada bunga yang berlaku di pasar uang. Hanya saja, sumber TEMPO yang dekat dengan Menteri Sumarlin tidak bersedia mengungkapkan jumlah total kredit khusus ini. "Ini sesuai dengan instruksi Pak Marlin," katanya. Dengan berbagai penyimpangan itu, langkah pemegang otoritas moneter sering kelihatan bersifat ad hoc. Di samping pembocoran likuiditas melalui kredit istimewa itu, ada pula upaya mengatur lalu lintas devisa mengingat arus offshore loan dianggap sudah membahayakan DSR kita. Kwik Kian Gie mengatakan, jumlah utang yang sudah mencapai US$ 11 milyar tersebut memang bisa jadi ancaman. Kalau itu seluruhnya dilakukan oleh Pemerintah, seperti dulu, akan ada sumber pembayaran yang jelas, yakni dari minyak. Kini, pinjaman itu juga dilakukan oleh swasta, yang harus membeli dolar dari BI jika hendak membayar offshore loan. "Apa BI punya persediaan cukup? Kalau tidak, ini akan mengganggu neraca pembayaran kita," Kwik menegaskan. Soalnya, arus jasa (berupa pem- bayaran cicilan utang) akan menyebabkan neraca pembayaran bisa tidak seimbang. Kalau sudah begini, tampaknya kewibawaan Pemerintah untuk kesekian kalinya akan diuji. Mohamad Cholid, Moebanoe Moera, Bambang Aji, Iwan Qodar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus