Kebijaksanaan uang ketat sewaktu-waktu bisa ambrol. Sejumlah proyek raksasa bernilai US$ 70 milyar sudah pula dibagi-bagi. Siapa yang menjamin risikonya? BERBAGAI kebijaksanaan moneter yang dilancarkan Pemerintah belakangan ini menimbulkan banyak tanda tanya. Terkesan bahwa berbagai kebijaksanaan itu tidak dijalankan secara konsekuen. Contoh paling aktual dan sering dibicarakan orang adalah masalah kebijaksanaan pengetatan uang beredar, yang populer sebagai tight money policy. Belakangan ini terbetik berita bahwa ada belasan pengusaha pribumi yang memperoleh fasilitas kredit khusus dengan suku bunga 4%-5% di bawah tarif kredit komersial yang berlaku. Dari mana kredit tersebut akan dicucurkan belum jelas. Kredit tersebut akan disalurkan dalam bentuk apa, juga belum jelas. Namun, beberapa sumber menduga bahwa kredit tersebut akan diberikan Pemerintah untuk melengkapi persyaratan penyertaan modal pengusaha pribumi, yang mendapatkan proyek-proyek raksasa, antara lain proyek pembangkit tenaga listrik Paiton dan pipa tanpa sambungan di Cilegon. Namun, sampai pekan ini, mereka yang mendapatkan proyek-proyek tersebut belum mau bicara secara gamblang. Tapi keberhasilan mereka ini, kabarnya, sekadar untuk mengimbangi proyek-proyek raksasa yang telah diberikan Pemerintah pada konglomerat Salim Group dan Barito Pacific Group yang bernilai trilyunan rupiah. Barito Pacific, misalnya, belum lama ini mendapatkan proyek pembangunan hutan tanaman industri di Palembang. Sebagian investasinya akan dibiayai dengan modal pemerintah (Departemen Kehutanan) Rp 1,2 triIyun. Jumlah proyek yang diperebutkan pengusaha pribumi besar dan konglomerat tak kurang dari 70 buah, dengan nilai total US$ 70 milyar atau hampir Rp 140 trilyun. "Fantastis," kata seorang konsultan pemerintah dari luar negeri. Ia membandingkan total nilai proyek yang dijadwalkan kembali pada tahun 1983, yang hanya bernilai US$ 15 milyar. Menurut perkiraan konsultan tadi, 75% dari proyek-proyek tersebut secara ekonomi bersifat buruk. Ia menunjuk proyek pengilangan minyak untuk ekspor (Exor). Dalam 10 tahun beroperasi, proyek itu hanya menghasilkan nilai tambah US$ 200 juta per tahun, sementara cicilan utang dan bunganya US$ 400 juta. Bisa diduga bahwa proyek tersebut akan dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Wajar bila ia melihat bahaya bahwa pinjaman luar negeri itu akan menjerat perekonomian Indonesia secara menyeluruh, seperti apa yang terjadi di Brasil dan Argentina. Kalau utang itu 100% murni swasta, barangkali tidak seberapa besar masalahnya. Tapi, ia mengkhawatirkan kalau bisnis itu gagal hingga pinjaman menguap, utangnya akan diklaim pada pemerintah Indonesia. Menurut dia, kemungkinan seperti ini harus diperhitungkan benar-benar. Kenyataan bahwa proyek-proyek ini diizinkan, itu saja jelas menunjukkan bagaimana pertimbangan ekonomi sudah tidak digunakan lagi oleh pengambil keputusan di Indonesia. Itulah kesimpulan sementara yang diambil oleh pakar yang tidak mau disebutkan namanya itu. Pertanyaan mendasar sekarang ialah jika benar informasi tadi, apakah fasilitas tersebut tidak akan kembali menyulut inflasi. Apakah tekanan pada neraca pembayaran tidak akan membesar? Apalagi kini, ketika Pemerintah mulai lagi mengumbar kredit. Bank Indonesia, misalnya, bersama Bank Bumi Daya dan Bank Rakyat Indonesia juga telah memberikan kredit khusus untuk BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) Rp 365 miIyar. Jika demikian halnya, kebijaksanaan uang ketat bisa bobol. Seperti diketahui, pada awal tahun 1990, otoritas moneter membatasi fasilitas kredit likuiditas. Tujuan kebijaksanaan tersebut adalah memangkas berbagai kredit likuiditas yang selama bertahun-tahun disalurkan bank-bank pemerintah dengan bunga yang disubsidi Bank Indonesia. Kredit tersebut, selain tidak efisien juga menjadi biang inflasi. Ironisnya, begitu kebijaksanaan uang ketat diluncurkan tahun silam, api inflasi justru menyala hingga mendekati angka 10%. Padahal, diperkirakan, ada sekitar Rp 17 trilyun yang mestinya masuk ke dalam kerangkeng Bank Indonesia. Penyedotan besar-besaran oleh BI ini, ternyata, tidak mengurangi jumlah uang yang beredar. Dalam statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia mencatat M1 (uang kartal dan uang giral) yang berjumlah Rp 20.114 milyar pada akhir 1989 telah melonjak sampai Rp 23.819 milyar akhir 1990. Kenaikan 18% ini jelas melampaui pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih berkisar 7%. Bahkan M2, vakni M1 ditambah uang kuasi (deposito dan tabungan), menggelembung dahsyat dari Rp 58.705 milyar menjadi Rp 84.630 milyar. Berarti ada kenaikan sekitar 44%. Pengamat ekonomi dari Yayasan Padi & Kapas, Dr. Sjahrir, memperkirakan naiknya uang beredar itu terutama karena masuknya banyak pinjaman luar negeri, yang lebih banyak didepositokan di bank-bank daripada diputarkan dalam bentuk kredit ekspor. Dari statistik BI, memang terlihat bahwa pada semester terakhir 1990, terjadi aliran modal neto besar-besaran dari luar negeri. Investasi neto tercatat hanya US$ 992 milyar, sedangkan arus lainnya (pinjaman luar negeri swasta, kembalinya uang yang diparkir di luar negeri) berjumlah US$ 3.404 milyar. Sebagian besar valuta asing tersebut rupanya langsung ditukarkan di BI. Akibatnya, cadangan devisa di BI melonjak naik dari US$ 6,5 milyar pada akhir 1989 menjadi US$ 8,6 milyar di ujung tahun 1990. Berarti, BI telah memompakan rupiah besar-besaran. Ada sumber yang mengaku bahwa hampir semua bank pemerintah -- kecuali Bank Eksim -- belakangan ini terlibat pemberian kredit-kredit besar karena tekanan dari atas. Betulkah? Dirut Bank Bumi Daya, H. Surasa, menyanggah tudingan itu. "Informasi itu dari mana? Tak benar," ujar Surasa. Dirut BBD yang baru saja pulang naik haji itu toh sempat berpikir lama sebelum menjawab. "Memang, dalam kondisi sekarang, semuanya mengalami kelesuan. Tidak ada ekspansi. Tapi, itu berlaku untuk semua. Baik pengusaha yang besar, menengah, maupun kecil," ujarnya datar. Surasa mengakui bahwa kredit BBD untuk pengusaha kecil belum mencapai 20%. Bagaimana dengan Bank Dagang Negara, yang belakangan ini disebut-sebut royal mengumbar kredit kepada pengusaha pribumi tertentu? "Kredit untuk pengusaha kecil (pribumi) di BDN jalan terus kendati berlangsung pengetatan uang. Tapi, ya kami laksanakan, hanya untuk pengusaha yang baik saja," tutur H. Srijana, Direktur BDN. Untuk pengusaha besar, BDN juga masih terus mengucurkan kredit. "Seadanya saja, supaya usahanya tidak susah. Sebab, yang besar kan juga susah semua," kata Srijana. Ia juga membantah bahwa ada instruksi untuk memprioritaskan kredit untuk kelompok pengusaha pribumi tertentu. "Saya tak mendengar adanya instruksi seperti itu," ujarnya. "Setahu saya, peraturannya ya tetap saja: agar 20% kredit untuk pengusaha kecil." Laksamana Sukardi, Direktur Pelaksana Lippobank, berpendapat bahwa pinjaman luar negeri swasta (offshore loan) bukan suatu masalah inti. Begitu pula kebijaksanaan uang ketat. "Keduanya hanyalah gejala, bukanlah borok yang sebenarnya," kata Laksamana, yakin. "Yang terpenting adalah, bagaimana menjalankan aturan-aturan yang ada kepada semua pelaku ekonomi tanpa pilih kasih," ujarnya. "Ini soal menegakkan prudential regulation bagi semua pihak. Kalau bank swasta dikenai peraturan batas maksimum kredit, bank pemerintah juga harus kena. Bahwa peraturan itu diterapkan secara pilih kasih, Laksamana menunjuk kasus Bentoel. "Saya dengan BRI dan BBD masing-masing kena sampai Rp 100 milyar. Ini suatu bukti bahwa legal lending limit tidak diterapkan pada bank pemerintah," tuding Laksamana. Menurut Laksamana, bank-bank pemerintah jugalah yang paling banyak menyedot pinjaman luar negeri yang kini dicemaskan Pemerintah. Sedangkan, pangkal kebobrokan, sebenarnya, ada pada proyek-proyek raksasa yang dipaksakan pembiayaannya. Kalau gejalanya terus yang dilihat, tutur Laksamana, orang lalu berteriak-teriak. Lalu timbul kelompok 17 atau apalah. Yang lain nanti juga berteriak "saya ini pribumi" lalu menuntut fasilitas serupa. "Kita malah terkotak-kotak," katanya. Dirut BRI Kamardy Arief mengakui bahwa pinjaman dari luar negeri belakangan ini lebih menguntungkan. Namun, instruksi Menteri Keuangan untuk menghentikan pinjaman luar negeri tentu saja harus dipatuhi. Di sini terkesan bahwa wewenang bank-bank pemerintah belum penuh. "Bank pemerintah kan harus siap digebrak-gebrak. Sudah gebrakan Sumarlin, kita kelimpungan. Sekarang digebrak lagi (tak boleh offshore loan). Bank pemerintah, ya, begini ini. Ya, tanya saja langsung pada beliau instruksi apa yang akan diberikan lagi," kata seorang pejabat bank pemerintah yang lain. Menteri Keuangan J.B. Sumarlin menolak diwawancarai mengenai masalah ini. "Saya masih capek," kata Sumarlin ketika didatangi di rumahnya menjelang Tahun Baru Suro, Jumat malam pekan lalu. Nadanya memang terdengar letih. Max Wangkar, Wahyu Muryadi, Iwan Qodar Himawan (Jakarta), Bambang Harymurti (Washington, D.C.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini