KORBAN-korban berjatuhan, tapi kebijaksanaan uang ketat, yang kini sudah berusia setahun tampaknya belum akan dilonggarkan. Otoritas moneter di negeri ini yang selalu berhati-hati menangani manajemen keuangan negara -- lebih hati-hati jika dibandingkan menteri keuangan Jepang -- bahkan tidak rela andai kata cengkeraman itu dikendurkan sedikit saja. Kalaulah diteropong dari sudut pandang militer, kini otoritas moneter sedang memberlakukan red alert atau siaga satu. Lembaga ini bertindak bagaikan jenderal berhati baja yang mengawasi medan pertempuran dengan tatapan elang. Jeritan pengusaha golongan ekonomi lemah (pegel) dan kelesuan bursa saham tidak dihiraukan, laju inflasi terus disimak cermat, dan pinjaman luar negeri (offshore loan) kini hanya dibolehkan melalui seleksi ketat. Namun, sejauh ini, kebijaksanaan uang ketat tidak disertai dengan penundaan proyek-proyek besar, sesuatu yang merupakan kunci sukses pemulihan ekonomi tahun 1983. Yang terjadi justru sebaliknya, yakni peresmian proyek-proyek mahabesar. Ada proyek olefin milik Prajogo Pangestu yang diluncurkan dengan investasi Rp 2,3 trilyun. Ada PLTU Paiton. Ada Excor III, yang kabarnya akan menelan dana sekitar Rp 4 trilyun. Belum suntikan bagi BPPC yang pada tahap awal sudah mencapai Rp 365 milyar. Lalu, mengapa terhadap proyek-proyek raksasa itu tidak diberlakukan kebijaksanaan uang ketat? Pertanyaan inilah yang mengharu-biru banyak pengamat ekonomi, baik yang ahli maupun yang awam. Dan semakin dicoba mencari jawabannya, semakin banyak pengamat yang geleng-geleng kepala. Jika ditelusuri perekonomian negeri ini selama dua Pelita terakhir, memang banyak hal yang tidak bisa dimengerti. Ke situ termasuk pula kebijaksanaan mengucurkan dana BUMN yang dis- alurkan kepada sejumlah pengusaha pribumi belum lama berselang. Berbeda dengan proyek olefin yang diresmikan secara besar-besaran, masyarakat belum mendengar apa-apa tentang proyek pengusaha pribumi yang memperoleh kucuran dana, pada saat yang lain tercekik kebijaksanaan uang ketat. Juga tidak diketahui, berapa besar uang BUMN yang disalurkan ke proyek-proyek itu, siapa saja pengusaha pribumi yang mujur itu, dan mengapa harus mereka, mengapa bukan yang lain. Atau, mengapa tidak semua pengusaha pribumi. Tapi itu hanya pertanyaan-pertanyaan kecil. Pertanyaan besar ialah: apa yang akan terjadi bila perekonomian Indonesia terus-menerus dikendalikan oleh peraturan yang tiap kali berubah- ubah, sebentar begini sebentar begitu, tak terlalu jelas menuju ke mana (mestinya menuju ke masyarakat adil dan makmur), belum pula nyata memihak siapa. Sementara itu, kesenjangan antara pribumi dan nonpribumi terlihat semakin kentara karena bukankah kue ekonomi Indonesia belum terbagi secara proporsional. Menurut seorang pengusaha, tiga juta nonpri menguasai 60% porsi ekonomi Indonesia. Dalam keadaan seperti itu kita pun menyongsong tahun 2000, tahun yang diramalkan suram bagi pengusaha pri. Ramalan itu bukan tak berdasar. "Si lemah bisa saja mewarisi tanahnya, tapi bukan hak untuk menggali mineralnya," demikian ujar jutawan minyak Jean Paul Getty. Dalam konteks Indonesia, si lemah adalah pribumi. Bila dari sekarang dia tetap dibiarkan lemah, kelak pada tahun 2000, mungkin dia sudah tak berdaya sama sekali. Hal itu masih bisa dihindarkan asalkan, "Pribumi diberi peluang lebih besar," kata pengusaha Aburizal Bakrie. Untuk sekadar melengkapi, bisa ditambahkan begini: semua pengusaha pribumi diberi peluang lebih besar, sesuai dengan kemampuannya, kesehatan perusahaannya, bonafiditasnya. Namun, bagaimana pribumi bisa memperoleh peluang jika cuaca ekonomi tidak menunjang dan improvisasi masih dipacu? Sang genius pun bisa bingung dibuatnya. Laporan utama TEMPO kali ini juga hanya satu upaya memperjelas duduk masalahnya. Mudah-mudahan akan ada sebersit cahaya, segebung tekad, sebuah komitmen. Isma Savitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini