ROBOHNYA harga minyak dan dolar Amerika belakangan ini, rupanya, menguras banyak cadangan devisa dan lemari besi Bank Indonesia. Hanya dalam tempo sembilan bulan, sejak April sampai awal Desember lalu, bank sentral diduga harus melepas devisa hampir US$ 1 milyar untuk menutup pelbagai kewajibannya. Dari jumlah sebesar itu, jangan kaget, US$ 700 juta di antaranya diambil dari celengan pinjaman siaga sebesar US$ 2,7 milyar. Bisa dimengerti bila Bank Indonesia kemudian perlu menyiapkan pinjaman komersial baru US$ 350 juta, yang persetujuannya pekan depan akan ditandatangani di Tokyo, untuk mengisi kembali lemari besi itu. Ikhtiar mengumpulkan kredit sindikasi sebesar itu perlu dilakukan karena, siapa tahu, usaha memupuk devisa dengan devaluasi rupiah September lalu tidak cukup. Mudah-mudahan saja di tahun sulit 1987, yang sudah di ambang pintu, harga minyak dan ekspor pelbagai komoditi primer bakal sehat lagi. Tapi, di pihak lain, usaha menghemat devisa dengan menekan permintaan di dalam negeri dikhawatirkan malah akan membikin pusing banyak industri pengolahan. Karena pelbagai alasan itu, usaha memperkuat cadangan devisa lalu ditempuh. Tapi apakah harus dengan utang komersial? Jika nasihat Bank Dunia diikuti, untuk masa tiga tahun anggaran (1986-1989), pemerintah sedikitnya perlu menyiapkan utang komersial US$ 1,9 milyar -- di samping pinjaman lunak US$ 2,2 milyar setahun dari IGGI. Dan untuk menjinakkan kegiatan spekulasi yang akan menekan rupiah, karena ketidakpastian harga minyak, Bank Dunia menganjurkan agar pemerintah sedikitnya memelihara kredit siap pakai pada tingkat US$ 1 milyar. Payung yang disiapkan nyatanya lebih besar, dalam bentuk pinjaman siaga yang dananya mulai dipupuk sejak dua tahun lalu. "Kalau payung itu tidak disiapkan sejak dulu, Indonesia pasti akan menghadapi kesulitan lebih hebat," kata Michiyasu Tanaka, Kepala Perwakilan The Long Term Gedit Bank (LTCB) of Japan di Jakarta. Dengan tambahan pinjaman baru sebesar US$ 350 juta, kini jumlah pinjaman siaga Bank Indonesia menggelembung kembali ke angka US$ 2.350 juta. Menurut Willem A. van den Wall Bake yang mewakili lembaga keuangan Morgan Guaranty Trust di Jakarta, dana sebesar itu rasanya cukup aman untuk menanggulangi pelbagai kebutuhan akan devisa. "Dengan asumsi harga minyak tidak turun di bawah US$ 14,5, dan permintaan impor bisa ditekan," katanya. Tapi di tahun 1987, demikian Bake, Bank Indonesia mungkin memerlukan sebuah taktik baru. Bila benar tahun 1988 pemerintah membutuhkan banyak valuta asing untuk menutup kewajibannya, sementara harga minyak diduga belum akan pulih benar, segala kebutuhan itu harus disiapkan tahun depan. Mengapa? "Karena waktunya sekarang sedang baik, meskipun tidak sebaik beberapa tahun lalu," tambah Bake. Maksudnya, beberapa tahun lalu banyak bank Amerika berebut menyediakan kredit komersial dengan bunga 0,125% sampai 0,5% di atas LIBOR (suku bunga antarbank di London), sekarang keadaannya lain. Di saat Indonesia kini lagi sulit jualan minyak, dan utang banyak negara berkembang pada macet, sangat sedikit bank Amerika yang mau diajak patungan menyediakan dana bagi pinjaman sindikasi. "Kalau toh mereka mau, paling hanya bertindak sebagai koordinator untuk memperoleh management fee," kata seorang bankir Jepang. Anggapan itu ada benarnya. Sebaliknya bagi kalangan perbankan Jepang, yang jumlah dananya naik hebat gara-gara mata uang yen dalam celengan mereka naik nilainya lebih dari 30% melawan dolar. Lihat saja dalam kasus pinjaman sindikasi US$ 350 juta yang akan diambil itu, lebih dari 80% dananya disediakan oleh perbankan Jepang. "Bank-bank Amerika tidak ingin mengambil risiko itu," kata Michiyasu Tanaka dari LTCB. Sayang, pinjaman berjangka delapan tahun itu harus diambil dengan harga mahal. Suku bunganya untuk enam tahun pertama ditetapkan 0,625% di atas LIBOR (suku bunga LIBOR untuk enam bulan kini menjadi 6,125%) dan dua tahun berikutnya ditetapkan 0,75% di atas LIBOR. "Harga uang itu bagi Indonesia ditentukan oleh naik turunnya harga minyak. Kalau harga minyak turun, maka bunga pun naik tapi bila harga minyak naik, bunga akan turun," kata seorang bankir asing. Kalangan bankir di luar negeri, agaknya tak lagi menempatkan Indonesia pada posisi nasabah dengan tiga bintang -- terbaik dalam penilaian kredibilitas. Sejak harga minyak anjlok hingga rata-rata US$ 13 sepanjang tahun ini dari tingkat US$ 25, mereka kabarnya menempatkan Indonesia hanya beberapa par di atas Filipina. Toh dalam situasi seperti itu, Bank Ekspor Impor Amerika masih mau datang menjajakan kredit ekspor US$ 100 juta. Syarat yang ditawarkan lembaga keuangan itu cukup menarik. Dari nilai pinjaman yang ditawarkan itu, sekitar 25% atau bisa lebih dari jumlah itu, akan diberikan dalam bentuk hibah. Jangka pengembaliannya menurut sebuah sumber, sekitar 30 tahun. Bunganya 3% sampai 3,5%. Sangat menarik memang bila dibandingkan dengan kredit Bank Eksim terakhir untuk IPTN di Bandung, yang dikenai bunga 6,5% dengan jangka pengembalian 20 tahun. Persyaratan menarik itu, rupanya, perlu ditawarkan agar pemerintah diharapkan tak lagi tergoda mengambil kredit Bank Eksim Jepang, yang mengenakan bunga 7,6% dengan jangka pengembalian 25 tahun. Kredit tersebut biasanya dicampur dengan kredit lunak Overseas Economic Cooperatio Fund (OECF) dengan bunga 3,5%, berjangka 20 sampai 30 tahun. "Kami memang kehilangan pangsa pasar cukup serius di Indonesia," kata Terrence J. Hulihan, Deputi Wakil Presiden Bank Eksim AS. Nah, untuk mengimbangi tawaran dari Jepang, Amerika datang menawarkan kredit menarik yang akan diberikan dalam bentuk barang teknologi tinggi, seperti switching untuk telepon dan teleks. Ketika ditanya TEMPO mengenai syarat-syarat pinjaman itu, Hulihan mengelak, "Saya tidak bisa mengatakan berapa suku bunga yang ditawarkan, dan bagaimana jangka pengembaliannya. Kami sedang mengamati semua kondisi Indonesia." Kalau tawaran itu diterima, jumlah persetujuan kredit ekspor yang tercatat di kantung pemerintah akan menjadi US$ 5.683 juta atau hampir 13% dari seluruh pinjaman yang disetujui. Yang menjadi tanda tanya adalah apakah godaan memikat US Exim Bank itu akan ditolak. Di masa lalu, jenis pinjaman seperti ini sangat tidak disukai. Pertama, karena suku bunganya terlalu tinggi dibandingkan kredit lunak IGGI. Kedua, jangka pengembaliannya lebih pendek. Ketiga, sifatnya mengikat, karena kredit diberikan dalam bentuk barang modal hasil industri negara bersangkutan. Karena alasan itu, pemerintah lalu berusaha mengendalikan penarikan kredit ekspor yang tak memberi nilai tambah dengan Inpres No. 8/1984. Di situ disyaratkan misalnya, kredit ekspor hanya bisa disetujui hanya jika negara donor memberikannya satu paket dengan pinjaman lunak. Yang paling berani menerobos aturan itu nyatanya hanya Bank Eksim Jepang, yang mencampur pinjamannya dengan dana OECF untuk memasarkan barang modalnya senilai lebih dari US$ 5,4 milyar, sampai Desember 1985. Amerika, yang tak suka melihat pasar ekspor hasil industrinya digerogoti Jepang, lalu datang dengan tawaran menarik. Keputusan akhir, tentu, tetap berada di tangan pemerintah kita yang, hingga akhir Desember ini, sudah mempunyai komitmen pinjaman hampir US$ 43,2 milyar -- termasuk kredit sindikasi baru US$ 350 juta. Bagi Jakarta soalnya akan sulit, bila Washington berusaha mengaitkan tawaran itu dengan neraca perdagangan kedua negara, dengan surplus US$ 4 milyar lebih per tahun (selama tiga tahun terakhir) bagi Indonesia. Bila tawaran itu disetujui, konsekuensinya terhadap pembayaran kembali semua kewajiban itu, tentu, perlu dihitung baik-baik -- apalagi jika harus dikaitkan dengan prospek penerimaan devisa dan penurunan dolar. Sekarang dengan jumlah utang yang sudah digunakan (disbrsed) baru US$ 29 milyar atau sekitar 67%, pemerintah harus jungkir balik untuk memenuhi kewajibannya. Naiknya nilai mata uang yen Jepang dan mark Jerman terhadap dolar Amerika, setahun terakhir, menyebabkan kewajiban pemerintah membayar utang dengan dolar bertambah sekurang-kurangnya US$ 800 juta. Untuk jangka menengah, menurut Bank Dunia, penguatan mata uang nondolar itu akan menyebabkan kewajiban membayar utang Indonesia bertambah dengan US$ 1 milyar setiap tahun. Tambahan itu, memang, tak bisa dielakkan karena hampir 32% dari utang berjalan pemerintah (sampai Desember 1985) ada dalam bentuk yen, 6% dalam bentuk mark Jerman, 2,3% pound Inggris, 3,3% franc Prancis, 3,1% gulden Belanda -- dan sisanya dalam dolar. Sialnya, 85% sampai 90% dari penghasilan ekspor Indonesia diperoleh dalam bentuk dolar. Kalau harga minyak tidak tersungkur dari angka US$ 25 menjadi pukul rata US$ 13 per barel. beban membayar kembali utang itu, tentu, tak teras berat. "Problem utang yang dihadapi Indonesia sekarang bukan merupakan kesalahan pemerintah atau hasil salah urus seperti yang terjadi di Filipina," kata Van der Wall Bake. "Problem yang dihadapi itu datang dari luar." Turunnya LIBOR, yang di bulan Juli 1984 tercatat 12,5% tapi kini tinggal 6,125% untuk pinjaman enam bulan, diduga akan sedikit meringankan beban mengangsur bunga pinjaman itu. Menurut perkiraan Bank Dunia, setiap satu persen tingkat suku bunga itu turun, di tahun 1990 nanti, pemerintah akan bisa menghemat pengeluaran sekitar US$ 130 juta. Yang jadi pertanyaan, apakah suku bunga yang kini turun itu tidak akan naik lagi. Sejumlah ramalan menyebut, tahun depan, LIBOR akan berada di sekitar angka 6%, jika keadaan ekonomi negara-negara industri membaik. Bagi pemerintah, berat-tidaknya memenuhi kewajiban membayar utang itu akan banyak ditentukan oleh harga minyak. Kalau harga minyak tak juga mau beringsut naik, untuk tahun anggaran berjalan ini, hasil seluruh ekspor migas dan nonmigas diduga hanya akan mencapai US$ 13 milyar. Jika diasumsikan sampai Maret depan suku bunga dan mata uang nondolar tak banyak berubah, valuta asing yang harus disediakan untuk membayar cicilan sedikitnya US$ 4,6 milyar dan setinggi-tingginya US$ 5,8 milyar -- yang US$ 2,1 milyar di antaranya merupakan cicilan pokok. Jika kewajiban itu dikaitkan dengan sasaran ekspor bruto, tingkat perbandingan antara kewajiban membayar utang dan ekspor (debt service raio, DSR), Maret 1987 nanti, sudah bergerak meninggalkan angka aman Bank Dunia yang 25%. Ada dugaan, DSR pada tutup buku tahun anggaran berjalan nanti akan berada pada angka antara 35% dan 45%. Dalam penjelasannya di DPR, Menteri Keuangan Radius Prawiro hanya menyebut angka DSR itu kini sudah melampaui 30% dan sedang bergerak mendekati 40%. Melajunya angka DSR secepat itu diduga akan gampang menyundut munculnya pelbagai macam anggapan. Ada yang menduga, dalam waktu dekat pembatasan pemakaian devisa akan diberlakukan. Sebagian lagi masih belum sembuh dari demam devaluasi. Sekalipun dugaan itu sulit diterima akal sehat, selama sepekan terakhir minat orang membeli dolar tunai di bursa valuta asing naik cukup tajam -- dari rata-rata US$ 2 juta sesudah devaluasi menjadi sekitar US$ 40 juta setiap hari. Kenaikan pembelian valuta asing itu, tentu, mengingatkan orang akan hari-hari panas menjelang devaluasi, manakala pembelian dolar melonjak dengan rata-rata US$ 80 juta setiap hari. Mudah-mudahan naiknya minat membeli mata uang kertas hijau itu semata-mata dilakukan untuk menutupi kewajiban banyak perusahaan yang sudah jatuh tempo. Bukan karena mereka takut memegang rupiah. Bagi pemerintah, di pihak lain, situasinya memang bisa membikin tambah pening bila gengsi mata uang kuat nondolar makin naik sampai 1987 mendatang. Seorang bankir pemerintah meramalkan yen Jepang akan menguat pada angka 145, dan mark Jerman bertengger ke angka 1,8. Kurs mata uang kedua negara itu kini masing-masing 163 dan 2,003 melawan setiap dolar Amerika. Michiyasu Tanaka dari LTCB malah memperkirakan yen akan menguat sampai 140 tahun depan. "Ini akan menimbulkan persoalan bagi banyak perusahaan Jepang," katanya. Juga untuk Indonesia, karena usaha penyesuaian kembali nilai tukar dolar sejak September 1985 itu otomatis akan menendang angka DSR -- kecuali kalau harga minyak tahun depan bisa terangkat lagi sampai 17-18 dolar rata-rata per barel. Menghadapi tahun 1987 itu, tugas Gubernur Bank Indonesia Arifin Siregar tidak ringan. Kepandaiannya menaikkan nilai devisa dengan alat-alat investasi menarik tentu akan menentukan ketahanan ekonomi Indonesia. Di sini jelas diperlukan kepiawaian seorang dealer tulen untuk mencegah devisa yang ada di lemari besi itu susut nilainya hanya karena tersenggol perubahan kurs, dan bukan oleh naiknya permintaan impor. "Saya tahu, orang-orang bank sentral itu sangat bijaksana dalam menanamkan asset mereka," kata seorang bankir Amerika. Mudah-mudahan apa yang dikatakan bankir kawakan, yang dikenal dekat dengan Bank Indonesia, itu benar adanya. Eddy Herwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini