BAYANG-BAYANG "hantu Jenkins dan Thurmond" akhirnya kandas juga. Selasa tengah malam, pekan lalu, Presiden Ronald Reagan memveto RUU tekstil, sepatu, dan tembaga yang diajukan oleh kedua senator itu. "Veto saya untuk menjaga pembalasan dendam dari rekan-rekan dagang," ujar Presiden, di hadapan para anggota Kongres yang telah menyetului RUU itu 3 Desember lalu. Dengan jaminan, ia tidak akan tinggal diam kalau ada bisnis AS yang berantakan gara-gara persaingan licik dari luar. Presiden khawatir kalau para korban RUU itu akan melancarkan serangan lebih dahsyat dari medan ruang angkasa, elektronik, farmasi, pertanian, dan kimia. "Kita bisa mengalami kerugian lebih besar," kilahnya. Padahal, dari perdagangan tekstilnya, tahun lalu AS mengalami defisit US$ 16,2 milyar, atau 13% dari seluruh defisit perdagangannya. Plus, sejuta orang kehilangan pekerjaan. Tak mau kehilangan simpati dari para penganggur itu, Reagan pun telah memerintahkan menteri perburuhannya, James Brock, meminta dana tambahan US$ 100 juta dari Kongres, untuk memberi mereka keterampilan baru. Sementara itu, para anggota delegasi dagangnya di perundingan MFA (Multi-Fibre Arrangement) - perjanjian tekstil international yang akan diperbarui tahun depan - diminta agar lebih agresif. "Menteri Keuangan juga telah diberi waktu 60 hari untuk menyelidiki kemungkinan kelebihan impor tekstil," ujar Reagan, yang tak mau kehilangan pamornya. Dan para eksportir, yang nyaris terkibas oleh RUU itu, ternyata juga tidak bersedia menelan mentah-mentah embusan angin surga Reagan. Karena, veto itu akan dapat dimentahkan kembali, bila dua pertiga forum bersama Senat dan Kongres yang akan berlangsung tahun depan tidak mengakuinya. Sedangkan sang pemilik veto itu sendiri juga menjanjikan akan memperketat perjanjian bilateral dengan para pengekspor tekstil, bila vetonya tidak digugurkan. "Ini 'kan sama bahayanya," ujar Frans Seda, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, kepada Kompas, pekan lalu. Gejala pengetatan itu, diam-diam, sudah mulai dicoba di Singapura. Dalam perundingan perjanjian bilateral perdagangan tekstil barunya dengan Singapura, yang akan dimulai awal tahun mendatang, AS sudah mengusulkan pertumbuhan di bawah 6% per tahun, bagi tekstil impor dari negara pulau itu. "Sedangkan perjanjian bilateral yang masih berlaku akan habis akhir bulan ini," ujar Frans Seda. Menurut MFA, jatah pertumbuhan per tahun untuk negara-negara sedang berkembang adalah 6%. AS memang sulit untuk berkelit dari defisit perdagangan luar negerinya yang terus naik. Bayangkan, pada triwulan ketiga lalu angka defisit itu sudah mencapai US$ 30,5 milyar, dari US$ 27,7 milyar pada triwulan sebelumnya. Sebuah lonjakan negatif terbesar dari perdagangan luar negeri AS. Diperkirakan, pada akhir tahun ini, angka itu akan melonjak jadi US$ 150 milyar. Karena itu, tak mustahil kalau AS akan terus berusaha menekan barang-barang impor. "Kemungkinan mereka akan menaikkan tarif impor," ujar Wang Shiao-yi, Wakil Presiden Far Eastern Textiles Corp., perusahaan tekstil terbesar di Taiwan. Selama ini, negara pulau itu memang merupakan penyuplai tekstil terbesar bagi AS. Tahun lalu, 40% dari keseluruhan ekspor tekstilnya yang bernilai US$ 6,14 milyar dilempar ke pasar AS. Tanpa veto Reagan, rezeki itu akan terpotong semilyar dolar dan 80 ribu orang akan kehilangan nafkahnya. Sedangkan Indonesia jauh lebih parah memang yang terparah karena akan terpotong 81% dari total ekspor tekstilnya yang, tahun lalu, hanya US$ 234 juta. "Masyarakat Amerika benar-benar tidak mempunyai wawasan internasional," ujar Frans Seda, beberapa waktu lalu, saking gemasnya. Namun, para penganut paham proteksionis di AS sendiri ternyata belum juga mengendurkan perjuangannya, terutama mereka yang mewakili rakyat AS belahan Selatan, pusat industri tekstil dan sepatu. Suara mereka umumnya senada dengan pernyataan Senator George Mitchelldari Maine. "Kami telah menderita kemunduran, kami ingin maju, dan kami ingin kebijaksanaan perdagangan yang jelas." Pernyataan yang dapat membuat Reagan cukup gemetar menghadapi pemilihan umum mendatang. Lalu apa sebenarnya alasan Edgar Jenkins sendiri? "Amerika sudah terlalu banyak menyerap tekstil negara-negara sedang berkembang," ujarnya. Bagi Jenkins, dengan menyerap 65% dari ekspor tekstil negara-negara yang kebanyakan miskin itu, negaranya telah kehilangan 250 pabrik beserta puluhan ribu pegawainya. Kambing hitamnya, negara-negara maju lainnya yang tak mau ikut menyerap. Sebaliknya, Reagan sendiri, yang selama ini dikenal sebagai penganut perdagangan bebas, lebih condong tidak bergeming dari pendiriannya. Ekonomi proteksi, baginya, malah mempersempit lapangan kerja. "Selama tiga tahun terakhir ini, perdagangan bebas telah menciptakan sembilan juta lapangan kerja baru," ujarnya. Gayung pun bersambut dari Istana Merdeka. "Sikap tersebut mencerminkan pengertian Presiden Reagan yang dalam terhadap belahan dunia ini, khususnya Indonesia," ujar Presiden Soeharto kepada Duta Besar AS di Jakarta, John Holdridge. Tapi masalah tekstil Indonesia memang bukan hanya bergantung pada sikap AS. Masalah lain yang masih menghadang adalah wawasan daya saing internasionalnya. Keterpakuan para eksportir pada pasar kuota, seperti AS, menyebabkan mereka mudah kalap begitu menghadapi benturan sedikit saja. Karena itu, sudah selayaknya kalau mereka sudah harus berorientasi pada efisiensi, dan mulai menggenjot kualitas. "Standar Industri Indonesia (SII) harus diterapkan pada setiap tekstil yang diekspor," ujar Tirta Suherlan, Direktur PT Trisula Textile Mill (Tristex). Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini