Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Laku, Dipajak Juga

Pembayaran pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan oleh pengusaha kena pajak tidak berjalan mulus. Keharusan membayar tiap bulan dianggap terlalu berat. Ada yang mengusulkan per 3 bulan. (eb)

28 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USAHA mengumpulkan uang dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan (PPn) barang mewah rupanya tidak mudah dilakukan jika aturan main perundang-undangan ditaati, para pengusaha kena pajak (PKP) setiap bulan seharusnya menyetor hasil pemungutan kedua jenis pajak tadi ke inspeksi pajak setempat. Nyatanya, sejak pemungutan dilakukan mulai 1 April lalu, hanya 36% dari 51 ribu PKP terdaftar yang tiap bulan patuh menyetor. Menurut Direktur Pajak Tidak Langsung Dja'far Mahfud, pekan lalu, situasi itu tidak bisa dibiarkan berlangsung terus. Sebab, selain bakal mengurangi rencana pemasukan PPN dan PPn barang mewah sebesar Rp 1.666 juta untuk tahun anggaran berjalan, juga akan merangsang munculnya persaingan tidak sehat. Dia menganggap pengusaha yang tidak membayar pajak, yang bisa menekan harga jual barang dagangannya, bakal merugikan pengusaha yang patuh. Nah, dalam upaya menjaga iklim usaha dan mengamankan sasaran penerimaan pajak itu, Januari mendatang aparat pajak akan mendatangi para PKP untuk melaksanakan pemeriksaan setempat. Di situ, mereka akan mengecek kebenaran pembukuan pembelian dan penjualan PKP dengan melihat kelengkapan faktur yang mereka miliki. Dengan cara itu, pihak Ditjen Pajak berharap bisa mengungkapkan alasan dan latar belakang ketidak-patuhan para PKP. Mudah-mudahan, dengan peringatan itu akan banyak PKP berbondong-bondong memenuhi loket untuk menyetorkan Surat Pemberitahuan (SPT) Massa. Di dalam SPT itulah, pengusaha seharusnya mencantumkan jumlah pajak keluaran dan pajak masukan yang telah dibayarnya atas suatu transaksi barang kena pajak. Yang kemudian dibayar oleh PKP adalah selisih antara pajak keluaran dan pajak masukan - berbarengan dengan saat menyerahkan SPT itu. Selisih itu ternyata tidak kecil. PT Delta Jakarta, penghasil bir cap Jangkar, misalnya, tiap bulan harus menyetor PPN 10% dan PPn Barang Mewah 20% sebesar Rp 600 juta. Secara terus terang Soedjono Respati, Direktur Utama Delta, menyebut keharusan menyetor kedua jenis pajak tiap bulan itu merupakan beban bagi perputaran dana perusahaannya. Karena pajak harus dibayar tak lama sesudah barang diserahkan (accrual basis), sementara uang penjualan dengan pembayaran tidak tunai baru diterima dua bulan kemudian. Industri tekstil, komponen, dan perakitan mobil, juga menghadapi problem serupa. Di ketiga bidang usaha itu, pembayaran biasanya paling cepat baru dilakukan tlga bulan sesudah barang diserahkan - karena pasar sedang lesu. "Selain mengganggu perputaran dana perusahaan, pemungutan pajak dengan metode accrual basis itu juga menyebabkan perusahaan harus menyediakan modal kerja lebih besar," ujar Edward Wanandi, Direktur Utama Gemala Kempa Daya (produsen komponen mobil) dan PPL (perakitan). Sebab, dengan cara itu, meskipun produknya belum laku terjual, PKP tetap harus membayar pajaknya. Karena alasan itu, Edward, yang untuk kedua usahanya tiap bulan harus membayar pajak Rp 120 juta, mengusulkan agar pemungutan kedua jenis pajak tadi dilakukan tiga bulan sekali. "Biasanya selama jangka waktu itu nilai tambah dari barang yang dijual sudah terkumpul kembali, hingga pembayaran pajak tidak mengganggu perputaran dana perusahaan," katanya kepada TEMPO. Sulitnya mengatur perputaran dana itu mungkin menjadi salah satu sebab keengganan sebagian besar PKP menyerahkan SPT Massa mereka. Mungkin juga, mereka menganggap enteng ancaman bakal kena denda 2% bagi yang lalai, karena Dirjen Pajak Salamun A.T. pernah mengatakan untuk masa dua tahun pertama diberlakukannya PPN aparat pajak tidak akan bertindak kelewat keras. Atau mungkin mereka takut omset sebenarnya bakal diketahui. Apa pun penyebab ketidakpatuhan PKP tadi, Dirjen Pajak Salamun menyatakan cukup prihatin melihat fakta itu. "Saya agak khawatir juga, karena justru yang kecil-kecil yang tidak patuh," katanya. Yang kecil-kecil itu, sebenarnya, sudah diberi kesempatan berpikir sebelum mereka memilih jadi PKP, sekalipun mereka berkedudukan sebagai produsen atau distributor. Tapi, kenapa banyak yang bandel? Dirjen Pajak Salamun tidak berani sembarangan membuat perkiraan. "Kami sedang meneliti sebab-sebabnya," katanya. Jawabannya tentu akan beraneka rupa - kendati sejumlah pengusaha besar tetap menuding cara pembayaran pajak di muka itu menjadi salah satu sebab utamanya. Karena barang tidak laku pun, yang kemudian dikembalikan ke produsen atau distributor, sudah pula dipajaki. Tentu banyak alasan bisa dikemukakan PKP. Bagi Dirjen Salamun, ketidakpatuhan itu tetap tidak baik akibatnya kelak. "Kalau tidak dibetulkan, bisa menambah munculnya persaingan tidak sehat," katanya. Eddy Harwanto Laporan Suhardjo H.S. dan Budi Kusumah (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus