SEKARANG baru ketahuan, jumlah uang negara yang "hilang" karena penyalahgunaan fasilitas Sertifikat Ekspor (SE) mencapai puluhan milyar rupiah. Yang sudah dapat dijejak Tim Operasi Tertib Pusat (Opstibpus) memang baru Rp 16 mllyar. Tapl jumlah ini mungkin akan bertambah lagi karena tim sudah pula menemukan 5.582 dari 15.235 berkas Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang tidak lengkap dokumennya. Padahal, dengan dokumen itulah dana SE sebesar Rp 127,5 milyar lebih bisa dicairkan sejak 1983. Masuk akal bila Mayjen (pur.) E.Y. Kanter, Koordinator Tim Opstibpus, yang memaparkan hasil kerja anak buahnya pekan lalu kepada pers, cukup gregetan melihat besarnya angka kebocoran uang negara itu. "Kami tidak akan pernah membiarkan penyelewengan ini terjadi," katanya, ketika mengungkapkan hal itu kepada Zaim Uchrowi dari TEMPO. Dari 11 kasus manipulasi SE yang sudah bisa dijejaki, tiga di antaranya sudah diajukan ke Kejaksaan Agung. Dari hasil manipulasi itu, kata Kanter, mereka diduga merugikan negara Rp 16 milyar. Penemuan tim Opstibpus itu, apa boleh buat, memang bakal tidak mengenakkan instansi Bea Cukai, yang selama ini dikenal sebagai penjaga gawang terakhir untuk meneliti kebenaran dan kelengkapan dokumen PEB. Dana SE lazimnya sulit dicairkan, jika hasil pemeriksaan lapangan oleh petugas Bea Cukai terhadap barang yang akan diekspor tidak cocok dengan yang termuat dalam dokumen. Ambil contoh manipulasi muatan, yang dilakukan PT Tomy Utama Toy, yang dapat dibongkar di gudang terbuka Cakung belum lama ini. Toh tidak semua penyelewengan itu bisa dijejaki. Menteri Keuangan Radius Prawiro rupanya masih belum puas dengan hasil kerja anak buahnya selama ini. Menjelang tugas pemeriksaan dokumen dan barang oleh Bea Cukai diambil alih SGS (Societe Generale de Surveillance SA), 1 April lalu, dia mengirimkan surat kepada Opstibpus/Pangkopkamtib. Isinya: minta bantuan aparat pembersih itu untuk turun menangani manipvasi SE. Sebulan kemudian, dibentuk tim operasi Artha Reksa, beranggotakan tim Opstibpus, Departemen Keuangan, Kejaksaan, dan BPKP. Sesudah enam bulan bekerja, hasil tim akhirnya tampak. Yang tertangkap basah, dan perkaranya segera diajukan, adalah eksportir sepatu, bulu bebek, dan pakaian jadi. Perusahaan A, misalnya, dalam dokumen PEB menyebut akan mengekspor sepatu model tertentu, meliputi 30.650 lusin, dari perusahaan B. Nyatanya, produksi perusahaan B hanya 10.394 lusin, tapi untuk menutupi kekurangannya diambil dari perusahaan lain dengan model lain. Perusahaan ini juga dipergoki memalsukan kualitas serta jumlah kemeja dan celana yang diekspornya. Dalam dokumen suatu kali disebut peti kemas berisi 152 lusin lebih kemeja, meskipun sebenarnya kapasitas perusahaan hanya mampu menghasilkan 10 ribu lusin. Yang lebih edan lagi, perusahaan ini berani menyulap pernyataan dalam bill of lading yang semula menyebut garment (9.600 lusin jean dan 7.800 kemeja) menjadi 65 ribu kg arang ketika barang sudah naik kapal. Cara itu dilakukan supaya bea masuknya lebih kecil dibayar. Dari hasil manipulasi itu, perusahaan ini telah merugikan negara Rp 3,03 milyar dari Rp 3,25 milyar SE yang diterimanya. Usaha mengubah dan menambah angka dalam dokumen PEB juga sering dilakukan eksportir, hingga mengesankan jumlah barang yang dimuat besar. Untuk pemalsuan model begini tim bisa menjejaki 40 dokumen PEB. Bulu bebek juga dijadikan obyek empuk. Sebuah perusahaan seolah tampil sebagai eksportir bulu bebek olahan, yang bahannya berupa bulu bebek kasar dan halus diimpor dari Hong Kong. Padahal, bulu bebek itu hanya berganti warna klem dari kuning jadi hijau muda atau merah muda, selama 1982-1984 di sebuah gudang di Jakarta Barat - lalu ditempeli label baru dan diekspor. Dari situ negara dirugikan Rp 9,7 milyar dari Rp 10,3 milyar SE yang sudah dicairkan pengusaha ini. Serangkaian penemuan itu akhirnya mendorong Menteri Radius, September lalu, menangguhkan 134 surat keputusan pemberian SE yang bernilai Rp 50 milyar. Banyak perusahaan yang mengaku bersih terpukul akibat penangguhan yang berlaku surut itu. "Penangguhan itu untuk menyelamatkan keuangan negara," kata Kanter. "Namun, para eksportir juga tak usah ragu untuk mengurus SE, kalau mereka memang bersih dan merasa berhak." Sangat disayangkan, fasilitas yang disediakan untuk mendorong ekspor sejak 1979-1980 itu malah banyak disalahgunakan, apalagi mengingat mulai 1 April 1986 fasilitas itu sudah harus dihapuskan. Dana SE biasanya diperoleh berdasarkan persentase tertentu atas nilai barang yang diekspor. Sejak dikeluarkan fasilitas itu sampai April lalu, jumlah dana yang disuntikkan pemerintah ke kantung pengusaha lebih dari Rp 477 milyar. Hasilnya lalu apa? EH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini