MELIHAT reaksi konsumen terhadap kenaikan tarif listrik, Ketua
Komisi VI DPR-RI Ir. Rachmat Witular merasa optimistis,
pemerintah akan melakukan revisi terhadap sistem tarif PLN. Itu
dikemukakannya kepada pers sehabis rapat kerja Komisi VI dengan
Menteri Pertambangan dan Energi Soebroto, pekan lalu.
Jika memang terjadi perubahan nampaknya akan memakan waktu yang
cukup lama. Sebab PLN sendiri menganggap tarif itu cukup riil
untuk menunjang biaya operasi dan investasi perusahaan tersebut.
Namun perubahan bisa saja terjadi, sebagaimana juga dinyatakan
Menteri Soebroto. "Bila memang ada usul yang tepar, ada
kemungkinan sistem pengenaan tarif listrik akan ditinjau
kembali," karanya kepada wartawan.
Kalangan DPR menganggap kenaikan tarif yang tinggi sekarang ini
disebabkan beban program listrik masuk desa dibebankan kepada
orang kota pemakai jasa PLN. "Kalau PLN mau melaksanakan program
listrik masuk desa yang hanya akan menimbulkan pujian itu, ya
ambil dana dari APBN. Jangan memberi beban secara tidak wajar
kepada pihak lain " kata Ketua Komisi VII Drs. Sudardji dalam
kesempatan lain.
"Terpaksa Ditolak"
Jika bukan oleh pemerintah listrik sehagai satu komoditi
nampaknya memang akan sulit mencapai masyarakat pedesaan secara
lebih merata. Ini tampak nyata dari tenaga listrik yang
diusahakan oleh berbagai pihak di beberapa daerah yang belum
terjangkau kabel listrik PLN.
Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM) di Desa sajang,
Blitar (Ja-Tim) misalnya mengenakan tarif Rp 1/watt/malam. Ini
berarti langganan yang mengunakan daya 450 watt sebulanya
dengan jumlah pemakaian 100 Kwh terkena tarif Rp 13.500.
Sedangkan penduduk kota langganan PLN dengan pemakaian yang sama
cuma membayar Rp 4.825.
PLTM milik Pemda Jawa Timur dan dikelola Pemda Kabupaten slitar
ini berkekuatan 25 kva, merupakan hasil rancangan Institut
Teknologi Surabaya (ITS). Dan hanya bisa meladeni 100 rumah.
Sejak kenaikan sBM, masyarakat yang menganggap listrik dari PLTM
ini lebih murah dibandingkan minyak tanah, ramai-ramai mendaftar
jadi langganan. "Tapi terpaksa ditolak," kata Pudjohartono,
penanggungjawab PLTM itu.
Anehnya, permintaan yang membanjir itu pula menyebabkan
dinaikkannya tarif dari Rp 0,75/watt/malam menjadi Rp 1. Padahal
sejak semula tak ada kenaikan sekalipun sBM sudah naik 50%.
Dengan tarif lama saja PLTM Desa sajang ini untung sekitar 33%.
siaya perawatan dan eksploitasi setiap bulan rata-rata Rp
50.000, semenrara uang langganan yang masuk sekitar Rp 75.000.
Di daerah Jakarta saja masih banyak penduduk yang menyewa tenaga
listrik yang dikelola swasta. Tenaga listrik dari 2 generator
bertenaga 5 PK milik Haji Naman di Kelurahan Jatinegara,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur disedot 450 langganan.
Kebanyakan pemilik warung yang menggunakan 100 sampai 200 watt.
Sedangkan perumahan kebanyakan hanya memerlukan 30 sampai 50
watt. Ini mirip dengan Desa Cimara di daerah Kuningan, Ja-Bar
yang terang benderang (lihat Desa).
Untuk berlangganan listrik dari Pak Haji ini calon langganan
harus memberikan uang muka Rp 600 untuk setiap 10 watt. Tarif
listriknya dihitung Rp 700/10 watt per bulan. Listrik nyala dari
jam 17.00 sampai jam 06.00 pagi. halau dihitung, listrik Haji
Naman ini akan berbanding 5: 1 dengan listrik PLN.
Itulah makanya seorang langganan bernama Sukiyat akan pindah
saja ke PLN kalau memang sudah masuk ke kampung tempat
tinggalnya. "PLN lebih murah. Kalau saya ambil 500 watt sebulan
'kan tak sampai Rp 35.000 seperti saya bayar kepada Pak Haji,"
katanya. Tapi PLN 'kan sering mati? "Di sini juga begitu. Belum
tentu jam 5 sore nyala. Kadang-kadang jam 5 pagi sudah mati."
sahutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini