Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ibrahim tunggul wulung dari juana

Kiai agung tunggul wulung punya pengikut ribuan di daerah sekitar jepara, rembang, pati, juana. oleh pengikutnya ia diharap sebagai "ratu adil". sikapnya dapat diartikan sebagai jenis gerakan protes gaya jawa.

5 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CATATAN tahun 1854 menyebut nama orang ini Ammat Doollah, catatan lain menyebutnya dengan nama lain pula: Kiahie Ngabdoollah. Namun di kalangan pengikulnya ia lebih terkenal dengan nama Kiai Ibrahim Tunggul Wulung. Tentang tanggal lahirnya, entahlah. Hanya diperkirakan ia lahir tahun 1800. Tahun kematiannya mungkin lebih pasti, yaitu 1885. Begitulah tokoh kita ini dikaruniai Tuhan umur panjang. Penampilan fisik dan psikiknya menimbulkan rasa hormat. Bahkan salah satu tradisi menyebut bahwa orang ini masih keturunan orang ningrat dari kraton bagian Solo. Raut mukanya lancip, mata tajam, berbadan tinggi (mungkin sudah sekaligus karena kurus), hidung mancung (sejauh mancungnya hidung Jawa, tentu saja), serta memelihara jenggot panjang yang diikat di bawah dagunya. Sebagaimana tokoh-tokoh Jawa lainnya yang hidup di abad 19, cerita tentang Kiai ini pun penuh balutan legenda. Orang-orang yang dirasa perlu untuk diingat dan diceritakan kepada anak-cucu dibungkus dulu dengan banyak bumbu. Seolah-olah seperti mumi yang sekujur badannya dilepoti rempah-rempah ajaib agar bisa tahan hidup selamanya. Para pengikutnya percaya ia memiliki banyak kelebihan. Kesaktiannya berlapis-lapis. Ia bahkan dipanggil dengan gelar dan sebutan aneh-aneh seperti: pangeraz, pandito, kanjeng romo ono, Gusti, panutan dan lainlain. Ia sendiri terkadang tidak membiarkan para pengikutnya membebani dirinya dengan gelar-gelar seperti itu. Tak bisa ditunjukkan bagaimana tokoh kita ini berpakaian. Entah pakai kain dan surjan atau jubah tambah surban. Tapi sebagaimana laiknya orang Jawa di abad 19, mestinya ia belum suka pantalon, meski pun orang ini menganut 'Igama Hollanda'. Ia merupakan suatu prototype dari orang Jawa yang menganut 'Igama Hollanda' di abad 19. Pencari ngelmu yang resah, selalu berkelana, keras kepala dan urakan. Salah seorang pendeta Belanda malah mengatakan bahwa Kiai Tunggul Wulung orangnya terlalu 'ramah'. Karena apabila ia mengunjungi seorang utusan Injil Belanda ia tetap tinggal berdiri tegak tidak berjongkok atau berlutut di lantai di hadapan utusan zending tersebut seperti yang kebanyakan dilakukan oleh orang Jawa. Ia bukan orang Jawa yang suka berbongkok-bongkok di hadapan orang Belanda. Adapun sikap para pendeta Belanda pasa masa itu berbeda dengan sikap pemerintah kolonial. Para pendeta mendekati Tunggul Wulung khususnya dari segi etis-theologis. Mereka menilainya sebagai 'penyesat' yang hendak menjadikan agama Kristen sebagai 'ngelmu Jawa', dan mereduksikan ajaran Kristen menjadi sekedar formula magis dalam bentuk rapal-rapal atau jejimat. Sedang pemerintah kolonial sedikit bingung. Karena memang tak ada aturan untuk melarang orang pribumi untuk menyebarkan agama Kristen. Yang ada adalah larangan bagi para misionaris. Sejak pengalaman dengan Perang Diponegoro, pemerintah menjadi sangat sensitif terhadap setiap kemungkinan terjadinya keguncangan agama dan politik. Banyak uang mawut sia-sia karena itu. Sebab itu ketika Residen Jepara bertemu sendiri dengan Tunggul Wulung ia tak berani mengambil keputusan. Lalu menulis laporan ke Gubernur Jenderal Duymaer van Twist di Jakarta. Van Twist meneruskan persoalannya ke Raad van Indie, sambil menyertakan catatan: ' .... pasti perbuatan Kiai lbrahim suatu kali akan menimbulkan keonaran'. Dewan Hindia bersikap tenang dan hati-hati. Dan akhirnya menilai bahwa kasus Ibrahim tak perlu dikhawatirkan. Disertai rekomendasi agar pemerintah lebih berjaga-jaga, lagi pula memang ada tersedia cukup uang untuk itu. Dengan catatan tambahan lagi bahwa uang tersebut merupakan 'buah-buah produksi' yang sebenarnya diperlukan untuk 'tanah air'! Hatta, maka Kiahie Ngabdoollah ini dikabarkan punya pengikut 1.058 orang sampai pada akhir hayatnya. Khususnya dari kalangan petani di daerah sekitar Muria, yaitu Jepara-Rembang-Pati-Juana. Hal yang mungkin menyebabkan ia mendapatkan pengikut sebanyak itu ialah kehidupan rakyat sekitar Muria yang memburuk. Kehidupan sosial-ekonomi penduduk semakin sesak dan melarat. Demikian pun kehidupan kulturil semakin dangkal dan mengering. Kerja-paksa dan tanam-paksa telah membenamkan penduduk dalam lumpur kemiskinan yang sulit diperbaiki. Bayaran yang murah, pajak yang tinggi, kegagalan panen serta bala penyakit menular menyebabkan penduduk resah mencari pegangan hidup. Dalam lingkungan seperti inilah Kiahie Ngabdoollah muncul sebagai 'Kiai Agung Tunggul Wulung', seorang panglima perang kepercayaan Raja Joyoboyo. Nama 'Tunggul Wulung' memang mengingatkan akan kebesaran Raja Joyoboyo dan ramalan-ramalan mengenai Nusantara yang amat populer di kalangan rakyat Jawa khususnya jikalau kehidupan menjadi terlalu sumpek. Sejak pecah Perang Diponegoro harapan tentang bakal datangnya 'Ratu Adil' sudah mengisi hati para petani di Jawa. Dalam semangat mileniaristik semacam ini Kiai Ibrahim Tunggul Wulung tak henti-hentinya berkhotbah tentang pembebasan rakyat dari kerja-paksa dan pajak. Ia suka sekali mengutip kata-kata Yesus dalam 'Khotbah di Bukit': ' . . . yang lemah lembut hatinya akan memiliki bumi (tanah)'. Khotbah tersebut ditafsirkan oleh para pengikutnya sebagai suatu janji bahwa di masa depan mereka akan memiliki tanahnya sendiri dan bebas dari kerja-paksa. Ramalan-ramalan Joyoboyo tentang 'Kerajaan masa depan' adil, sejahtera dan damai nampaknya juga banyak mengilhami sang kiai. Seorang raja eskatologis yang muncul dari rakyat miskin kemudian akan membangun kotanya di hutan Ketangga. Di tahun 1867 orang-orang di Desa Bondo yakin bahwa desa tersebut akan didirikan kerajaan, dan Tunggul Wulung akan dijadikan raja ! Tunggul Wulung tidak mengangkat senjata, karena mungkin ia tak tahu siapa sebenarnya yang harus dilawan. Meskipun ia sempat melatih anak-anak muda di desanya dengan latihan baris-berbaris seperti pasukan 'kumpeni Walondo' dengan senapang terbuat dari kayu. Tapi sikapnya cukup membuat para pengikutnya menjadi 'para pemalas' di mata para pegawai Belanda yang sibuk mengejar 'buah-buah produksi'. Ini mungkin bisa ditafsirkan sebagai salah satu jenis 'gerakan protes' gaya Jawa yang sifatnya pasif dan tanpa kekerasan. Sikap pasif dan tanpa kekerasan terhadap penjajahan seperti ini kemudian (tak selang berapa lama) kita temukan lagi dalam bentuknya yang lebih massal dalam gerakan para petani yang diteladani oleh Samin. Surosentiko Samin, seorang petani dari daerah sekitar Blora. *) Ditulis berdasarkan naskah A.G. Hoekema Kyai Ibrahim Tunggul Wulung lebih kurang 1800 -1885) Apollos Jawa, Majalah LPS-DGI, Peninjau, 1980, no. 1 hal 1 - 21).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus