CATATAN tahun 1854 menyebut nama orang ini Ammat Doollah,
catatan lain menyebutnya dengan nama lain pula: Kiahie
Ngabdoollah. Namun di kalangan pengikulnya ia lebih terkenal
dengan nama Kiai Ibrahim Tunggul Wulung.
Tentang tanggal lahirnya, entahlah. Hanya diperkirakan ia lahir
tahun 1800. Tahun kematiannya mungkin lebih pasti, yaitu 1885.
Begitulah tokoh kita ini dikaruniai Tuhan umur panjang.
Penampilan fisik dan psikiknya menimbulkan rasa hormat. Bahkan
salah satu tradisi menyebut bahwa orang ini masih keturunan
orang ningrat dari kraton bagian Solo. Raut mukanya lancip, mata
tajam, berbadan tinggi (mungkin sudah sekaligus karena kurus),
hidung mancung (sejauh mancungnya hidung Jawa, tentu saja),
serta memelihara jenggot panjang yang diikat di bawah dagunya.
Sebagaimana tokoh-tokoh Jawa lainnya yang hidup di abad 19,
cerita tentang Kiai ini pun penuh balutan legenda. Orang-orang
yang dirasa perlu untuk diingat dan diceritakan kepada anak-cucu
dibungkus dulu dengan banyak bumbu. Seolah-olah seperti mumi
yang sekujur badannya dilepoti rempah-rempah ajaib agar bisa
tahan hidup selamanya.
Para pengikutnya percaya ia memiliki banyak kelebihan.
Kesaktiannya berlapis-lapis. Ia bahkan dipanggil dengan gelar
dan sebutan aneh-aneh seperti: pangeraz, pandito, kanjeng romo
ono, Gusti, panutan dan lainlain. Ia sendiri terkadang tidak
membiarkan para pengikutnya membebani dirinya dengan gelar-gelar
seperti itu.
Tak bisa ditunjukkan bagaimana tokoh kita ini berpakaian. Entah
pakai kain dan surjan atau jubah tambah surban. Tapi sebagaimana
laiknya orang Jawa di abad 19, mestinya ia belum suka pantalon,
meski pun orang ini menganut 'Igama Hollanda'.
Ia merupakan suatu prototype dari orang Jawa yang menganut
'Igama Hollanda' di abad 19. Pencari ngelmu yang resah, selalu
berkelana, keras kepala dan urakan. Salah seorang pendeta
Belanda malah mengatakan bahwa Kiai Tunggul Wulung orangnya
terlalu 'ramah'. Karena apabila ia mengunjungi seorang utusan
Injil Belanda ia tetap tinggal berdiri tegak tidak berjongkok
atau berlutut di lantai di hadapan utusan zending tersebut
seperti yang kebanyakan dilakukan oleh orang Jawa. Ia bukan
orang Jawa yang suka berbongkok-bongkok di hadapan orang
Belanda.
Adapun sikap para pendeta Belanda pasa masa itu berbeda dengan
sikap pemerintah kolonial. Para pendeta mendekati Tunggul Wulung
khususnya dari segi etis-theologis. Mereka menilainya sebagai
'penyesat' yang hendak menjadikan agama Kristen sebagai 'ngelmu
Jawa', dan mereduksikan ajaran Kristen menjadi sekedar formula
magis dalam bentuk rapal-rapal atau jejimat.
Sedang pemerintah kolonial sedikit bingung. Karena memang tak
ada aturan untuk melarang orang pribumi untuk menyebarkan agama
Kristen. Yang ada adalah larangan bagi para misionaris. Sejak
pengalaman dengan Perang Diponegoro, pemerintah menjadi sangat
sensitif terhadap setiap kemungkinan terjadinya keguncangan
agama dan politik. Banyak uang mawut sia-sia karena itu.
Sebab itu ketika Residen Jepara bertemu sendiri dengan Tunggul
Wulung ia tak berani mengambil keputusan. Lalu menulis laporan
ke Gubernur Jenderal Duymaer van Twist di Jakarta. Van Twist
meneruskan persoalannya ke Raad van Indie, sambil menyertakan
catatan: ' .... pasti perbuatan Kiai lbrahim suatu kali akan
menimbulkan keonaran'.
Dewan Hindia bersikap tenang dan hati-hati. Dan akhirnya menilai
bahwa kasus Ibrahim tak perlu dikhawatirkan. Disertai
rekomendasi agar pemerintah lebih berjaga-jaga, lagi pula memang
ada tersedia cukup uang untuk itu. Dengan catatan tambahan lagi
bahwa uang tersebut merupakan 'buah-buah produksi' yang
sebenarnya diperlukan untuk 'tanah air'!
Hatta, maka Kiahie Ngabdoollah ini dikabarkan punya pengikut
1.058 orang sampai pada akhir hayatnya. Khususnya dari kalangan
petani di daerah sekitar Muria, yaitu Jepara-Rembang-Pati-Juana.
Hal yang mungkin menyebabkan ia mendapatkan pengikut sebanyak
itu ialah kehidupan rakyat sekitar Muria yang memburuk.
Kehidupan sosial-ekonomi penduduk semakin sesak dan melarat.
Demikian pun kehidupan kulturil semakin dangkal dan mengering.
Kerja-paksa dan tanam-paksa telah membenamkan penduduk dalam
lumpur kemiskinan yang sulit diperbaiki. Bayaran yang murah,
pajak yang tinggi, kegagalan panen serta bala penyakit menular
menyebabkan penduduk resah mencari pegangan hidup.
Dalam lingkungan seperti inilah Kiahie Ngabdoollah muncul
sebagai 'Kiai Agung Tunggul Wulung', seorang panglima perang
kepercayaan Raja Joyoboyo. Nama 'Tunggul Wulung' memang
mengingatkan akan kebesaran Raja Joyoboyo dan ramalan-ramalan
mengenai Nusantara yang amat populer di kalangan rakyat Jawa
khususnya jikalau kehidupan menjadi terlalu sumpek. Sejak pecah
Perang Diponegoro harapan tentang bakal datangnya 'Ratu Adil'
sudah mengisi hati para petani di Jawa.
Dalam semangat mileniaristik semacam ini Kiai Ibrahim Tunggul
Wulung tak henti-hentinya berkhotbah tentang pembebasan rakyat
dari kerja-paksa dan pajak. Ia suka sekali mengutip kata-kata
Yesus dalam 'Khotbah di Bukit': ' . . . yang lemah lembut
hatinya akan memiliki bumi (tanah)'.
Khotbah tersebut ditafsirkan oleh para pengikutnya sebagai suatu
janji bahwa di masa depan mereka akan memiliki tanahnya sendiri
dan bebas dari kerja-paksa. Ramalan-ramalan Joyoboyo tentang
'Kerajaan masa depan' adil, sejahtera dan damai nampaknya juga
banyak mengilhami sang kiai. Seorang raja eskatologis yang
muncul dari rakyat miskin kemudian akan membangun kotanya di
hutan Ketangga. Di tahun 1867 orang-orang di Desa Bondo yakin
bahwa desa tersebut akan didirikan kerajaan, dan Tunggul Wulung
akan dijadikan raja !
Tunggul Wulung tidak mengangkat senjata, karena mungkin ia tak
tahu siapa sebenarnya yang harus dilawan. Meskipun ia sempat
melatih anak-anak muda di desanya dengan latihan baris-berbaris
seperti pasukan 'kumpeni Walondo' dengan senapang terbuat dari
kayu. Tapi sikapnya cukup membuat para pengikutnya menjadi 'para
pemalas' di mata para pegawai Belanda yang sibuk mengejar
'buah-buah produksi'.
Ini mungkin bisa ditafsirkan sebagai salah satu jenis 'gerakan
protes' gaya Jawa yang sifatnya pasif dan tanpa kekerasan. Sikap
pasif dan tanpa kekerasan terhadap penjajahan seperti ini
kemudian (tak selang berapa lama) kita temukan lagi dalam
bentuknya yang lebih massal dalam gerakan para petani yang
diteladani oleh Samin. Surosentiko Samin, seorang petani dari
daerah sekitar Blora.
*) Ditulis berdasarkan naskah A.G. Hoekema Kyai Ibrahim Tunggul
Wulung lebih kurang 1800 -1885) Apollos Jawa, Majalah LPS-DGI,
Peninjau, 1980, no. 1 hal 1 - 21).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini