JALANNYA seret. Terbit 2 kali sebulan dengan 8 halaman, oplahnya
10.000 saja. Jika terjual, mungkin baru 45% dari seluruh
biayanya tertutup. Dari iklannya diharapkan 35%. Defisitnya yang
sekitar 20% dari jumlah ongkos diatasinya dengan bantuan Rektor
UI. Begitulah Salemba di Jakarta memasuki usia 3 tahun pekan
ini.
Ada sekitar 20 koran kampus seperti Salemba ini yang
mengharapkan bantuan rektor di berbagai perguruan tinggi
Indonesia. Suara mereka, tentu saja, harus selalu mematuhi
ketentuan rektor masing-masing. Mereka ditertibkan. Jika
membangkang, seperti yang terjadi di IKIP Yogyakarta, rektor
jelas tak akan mengizinkannya terbit.
Para pengasuh Derap, mahasiswa di kampus IKIP Yogya pernah
menolak "berkonsultasi" mengenai isi koran. Artinya, mereka
menolak untuk disensor, hingga edisi 21 Oktober 1978 disita oleh
biro rektor IKIP itu sebelum sempat beredar. Padahal "isinya tak
ada apa-apa. Sebagian besar soal pendidikan, malah bisa
menguntungkan pemerintah," kata seorang mahasiswa di sana.
Umumnya koran kampus terkena pembreidelan menjelang SU-MPR,
Maret 1978, sejalan dengan langkah pihak penguasa untuk
mengatasi gejolak mahasiswa. Sesudah tenang kembali, satu demi
satu koran kampus diizinkan terbit. Belum seluruhnya bisa hidup
kembali, karena berbagai rintangan. Kasus Derap Mabasiswa suatu
contoh.
Ada pula rintangan karena tadinya koran kampus menjadi organ
Dewan Mahasiswa. Sedang DM dibekukan sampai sekarang. Media ITS
di Surabaya, misalnya, masih belum muncul kembali karena
persoalan DM ini. Demikian pula nasib Alma Mater dari IPB, tapi
pihak mahasiswa di Bogor itu tampaknya kini bersedia
menyesuaikan diri supaya koran kampusnya bisa terbit lagi.
Alat Rektor?
Penyesuaian diri yang agak pahit dialami para pengasuh Media
Airlangga, Surabaya. "Semua naskah harus diperiksa rektor dulu,"
kata Ibnu Parna, pemimpin redaksinya. "Pada mulanya kami tidak
mau. Tapi setelah saya pikir panjang, saya terima juga syarat
itu." Maka koran kampus Airlanggar itu sejak Agustus terbit
dengan oplah 5.000. Universitasnya membantu Rp 80.000/bulan.
Setelah 5 kali terbit, ia mendapat peringatan, gara-gara ada
judul berita Bapak-bapak, berilah contoh. Isi tulisannya
mengenai hidup sederhana yang dihubungkan dengan paket 15
Nopember. "Apabila terjadi sekali lagi, Saudara dapat dikenakan
sanksi administrasi/kurikuler," tulis Pembantu Rektor III
Sudarso Djojonegoro. Sejak itu, Pemred Ibnu Parna mengatakan:
"Ya, kita menahan diri."
Tidak selalu ketat dari biro rektor. "Kami pernah mengkritik
rektor dan penguasa kampus, tapi tidak ditegor. Sensor hampir
tidak ada," ucap Ibnu Subiyanto yang memimpin Gelora Mahasiswa,
disingkat Gema, dari kampus, UGM, Yogyakarta. Rektor
menyerahkan pada kebijaksanaan Subiyanto dkk. Ini berbeda dengan
sikap tetangganya di IKIP.
Sikap luwes juga dijumpai di Unhas, Ujung Pandang. Identitas,
media kampusnya, sangat bergantung pada anggaran universitas,
bahkan mencapai 75% dari seluruh biayanya. "Ia selalu
menggelitik," komentar Pembantu Rektor III Kadir Sanusi. Tapi
"rektor cuma nyengir."
Sanusi mengatakan Unhas memerlukan alat kontrol. "Kalau melulu
berpihak pada pimpinan Unhas, lebih baik tak usah terbit saja."
Tapi sebagian mahasiswa menilai lain. Ketika diadakan dengar
pendapat baru-baru ini, suara mahasiswa menuduh Identitas kini
cuma sebagai "terompet rektor" yang baik. Pemimpin redaksinya,
Anwar Arifin, kebetulan menjadi dosen juga. Sebetulnya dia harus
mencari mahasiswa sebagai penggantinya. "Kalau ada mahasiswa
yang sanggup dan mau menggantikan saya, saya akan mengundurkan
diri," kata Arifin.
Dengan Honor?
Di kampus ITB, Bandung, terdapat 8 penerbitan. Tiga di antaranya
-- Kampus, Integritas dan Berita-Berita ITB dikelola sepenuhnya
oleh mahasiswa. Beroplah kecil, ketiganya sangat merangkak untuk
terbit. Mungkin sukar dipercaya pengakuan mereka tentang
tiadanya subsidi ITB.
Terutama daya tahan Berita-Berita ITB -- terbit sejak 1961,
tertua dari seluruh koran kampus yang ada -- mengagumkan. "Kami
semuanya bekerja sebagai hobi, tanpa dibayar," kata Idris Gege,
pemred untuk periode 1977-78.
Salemba dari kampus UI tidak sepeuhnya dikelola tenaga
sukarelawan. Anggota redaksinya mendapat imbalan Rp
15.000/bulan. Tidak pula semua mahasiswa dalam kelompok
pengasuhnya. Ada 4 karyawannya yang digaji tetap. "Sebenarnya
Salemba mempunyai potensi menjadi koran umum," kata pemred Anony
Zeidra Abidin.
Potensi itu pernah dibuktikannya sebelum dibreidel, Pebruari
1978, ketika oplahnya mencapai 50.000. Bukan hanya di lingkungan
kampus UI, juga di lapangan Banteng Jakarta, ia dijual orang
ketika itu Zaman itu tak mungkin kembali lagi baginya. Tapi
dalam menghadapi HUT sekali ini, ia dianggap berkelakuan baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini