Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Merangkak Di Sana-sini

Koran kampus mengharap bantuan rektor dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Ketentuan rektor harus ditaati. Yang membangkang, tidak akan memperoleh izin terbit. (md)

13 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALANNYA seret. Terbit 2 kali sebulan dengan 8 halaman, oplahnya 10.000 saja. Jika terjual, mungkin baru 45% dari seluruh biayanya tertutup. Dari iklannya diharapkan 35%. Defisitnya yang sekitar 20% dari jumlah ongkos diatasinya dengan bantuan Rektor UI. Begitulah Salemba di Jakarta memasuki usia 3 tahun pekan ini. Ada sekitar 20 koran kampus seperti Salemba ini yang mengharapkan bantuan rektor di berbagai perguruan tinggi Indonesia. Suara mereka, tentu saja, harus selalu mematuhi ketentuan rektor masing-masing. Mereka ditertibkan. Jika membangkang, seperti yang terjadi di IKIP Yogyakarta, rektor jelas tak akan mengizinkannya terbit. Para pengasuh Derap, mahasiswa di kampus IKIP Yogya pernah menolak "berkonsultasi" mengenai isi koran. Artinya, mereka menolak untuk disensor, hingga edisi 21 Oktober 1978 disita oleh biro rektor IKIP itu sebelum sempat beredar. Padahal "isinya tak ada apa-apa. Sebagian besar soal pendidikan, malah bisa menguntungkan pemerintah," kata seorang mahasiswa di sana. Umumnya koran kampus terkena pembreidelan menjelang SU-MPR, Maret 1978, sejalan dengan langkah pihak penguasa untuk mengatasi gejolak mahasiswa. Sesudah tenang kembali, satu demi satu koran kampus diizinkan terbit. Belum seluruhnya bisa hidup kembali, karena berbagai rintangan. Kasus Derap Mabasiswa suatu contoh. Ada pula rintangan karena tadinya koran kampus menjadi organ Dewan Mahasiswa. Sedang DM dibekukan sampai sekarang. Media ITS di Surabaya, misalnya, masih belum muncul kembali karena persoalan DM ini. Demikian pula nasib Alma Mater dari IPB, tapi pihak mahasiswa di Bogor itu tampaknya kini bersedia menyesuaikan diri supaya koran kampusnya bisa terbit lagi. Alat Rektor? Penyesuaian diri yang agak pahit dialami para pengasuh Media Airlangga, Surabaya. "Semua naskah harus diperiksa rektor dulu," kata Ibnu Parna, pemimpin redaksinya. "Pada mulanya kami tidak mau. Tapi setelah saya pikir panjang, saya terima juga syarat itu." Maka koran kampus Airlanggar itu sejak Agustus terbit dengan oplah 5.000. Universitasnya membantu Rp 80.000/bulan. Setelah 5 kali terbit, ia mendapat peringatan, gara-gara ada judul berita Bapak-bapak, berilah contoh. Isi tulisannya mengenai hidup sederhana yang dihubungkan dengan paket 15 Nopember. "Apabila terjadi sekali lagi, Saudara dapat dikenakan sanksi administrasi/kurikuler," tulis Pembantu Rektor III Sudarso Djojonegoro. Sejak itu, Pemred Ibnu Parna mengatakan: "Ya, kita menahan diri." Tidak selalu ketat dari biro rektor. "Kami pernah mengkritik rektor dan penguasa kampus, tapi tidak ditegor. Sensor hampir tidak ada," ucap Ibnu Subiyanto yang memimpin Gelora Mahasiswa, disingkat Gema, dari kampus, UGM, Yogyakarta. Rektor menyerahkan pada kebijaksanaan Subiyanto dkk. Ini berbeda dengan sikap tetangganya di IKIP. Sikap luwes juga dijumpai di Unhas, Ujung Pandang. Identitas, media kampusnya, sangat bergantung pada anggaran universitas, bahkan mencapai 75% dari seluruh biayanya. "Ia selalu menggelitik," komentar Pembantu Rektor III Kadir Sanusi. Tapi "rektor cuma nyengir." Sanusi mengatakan Unhas memerlukan alat kontrol. "Kalau melulu berpihak pada pimpinan Unhas, lebih baik tak usah terbit saja." Tapi sebagian mahasiswa menilai lain. Ketika diadakan dengar pendapat baru-baru ini, suara mahasiswa menuduh Identitas kini cuma sebagai "terompet rektor" yang baik. Pemimpin redaksinya, Anwar Arifin, kebetulan menjadi dosen juga. Sebetulnya dia harus mencari mahasiswa sebagai penggantinya. "Kalau ada mahasiswa yang sanggup dan mau menggantikan saya, saya akan mengundurkan diri," kata Arifin. Dengan Honor? Di kampus ITB, Bandung, terdapat 8 penerbitan. Tiga di antaranya -- Kampus, Integritas dan Berita-Berita ITB dikelola sepenuhnya oleh mahasiswa. Beroplah kecil, ketiganya sangat merangkak untuk terbit. Mungkin sukar dipercaya pengakuan mereka tentang tiadanya subsidi ITB. Terutama daya tahan Berita-Berita ITB -- terbit sejak 1961, tertua dari seluruh koran kampus yang ada -- mengagumkan. "Kami semuanya bekerja sebagai hobi, tanpa dibayar," kata Idris Gege, pemred untuk periode 1977-78. Salemba dari kampus UI tidak sepeuhnya dikelola tenaga sukarelawan. Anggota redaksinya mendapat imbalan Rp 15.000/bulan. Tidak pula semua mahasiswa dalam kelompok pengasuhnya. Ada 4 karyawannya yang digaji tetap. "Sebenarnya Salemba mempunyai potensi menjadi koran umum," kata pemred Anony Zeidra Abidin. Potensi itu pernah dibuktikannya sebelum dibreidel, Pebruari 1978, ketika oplahnya mencapai 50.000. Bukan hanya di lingkungan kampus UI, juga di lapangan Banteng Jakarta, ia dijual orang ketika itu Zaman itu tak mungkin kembali lagi baginya. Tapi dalam menghadapi HUT sekali ini, ia dianggap berkelakuan baik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus