DI Thaif, ibukota Arab Saudi di musim panas, ke 13 anggota
organisasi pengekspor minyak (OPEC) kembali bersidang mulai 7
Mei ini. Mereka tak berdebat tentang harga-harga minyak yang
sekarang. Tapi, sebagaimana diputuskan dalam sidang OPEC di
Karakas, ibukota Venezuela akhir Desember tahun lalu, pokok
masalah yang dibahas adalah hasil dari komisi yang diketuai
Sheik Zaki Yamani, Menteri Minyak Arab Saudi, tentang strategi
jangka panjang OPEC.
Apa hasil yang keluar dari kota sejuk di pegunungan Arab Saudi
itu akan segera kelihatan. Tapi yang lebih dulu bisa dipastikan
adalah ini Iran, yang kini merasa dikeroyok oleh kelompok negara
industri di bawah pimpinan Presiden Jimmy Carter, akan
menghimbau sidang agar membantunya.
Tapi itu pula yang agaknya tak mudah diberikan oleh
"saudara-saudaranya". Selain Iran sudah baku hantam di
perbatasan dan saling mencaci dengan Irak, banyak negara minyak
Arab seperti Kuwait dan Arab Saudi, tak begitu suka dengan rezim
Khomeini yang berharat mengekspor revolusinya.
Senjata Minyak
Ketika Menteri Luar Negeri Iran Sadeq (hotbsadeh diutus Dewan
Revolusi Iran ke beberapa negara Arab, koran-koran di Kuwait
terang-terangan memuat sikap para pemimpin negeri minyak itu
yang "akan berpihak pada Irak bila pecah perang dengan Iran".
Akankah ekonomi Iran, yang kini cuma memprodusir 1 juta barrel
minyak sehari, menjadi bangkrut? Bagi negara yang masih dibakar
semangat revolusi seperti sekarang, ukuran-ukuran ekonomi bisa
menyesatkan. Tapi bagaimana pun Iran, untuk melumasi
revolusinya, mau tidak mau membutuhkan uang dari minyak.
Kini AS sudah mengenakan sanksi ekonomi terhadap Iran. AS sudah
menghentikan penjualan barang-barang yang diperlukan Iran,
kecuali bahan makanan dan obat-obatan. Itu pun, sebagaimana
dikatakan jurubicara Presiden Carter, ditekan sampai "pada
tingkat yang minimum. segitu pula AS tak akan membeli
barang-barang dari Iran termasuk minyak. Dan sebelumnya sebanyak
US$ 8 milyar kekayaan yang disimpan di bank-bank AS telah
dibekukan pemerintah Carter.
Ekspor dari AS ke Iran selama 1978 tercatat hampir US$ 3,7
milyar, atau rata-rata sekitar US$ 300 juta sebulan. Dua bulan
terakhir ekspornya hanya $ 5 juta ke Iran. Sedang impor AS dari
Iran yang dua tahun lalu mencapai US$ 2.877 juta -- US$ 75 juta
Iebih banyak dari tahun 1977 -- dua bulan lalu boleh dibilang
sudah nihil.
Iran di masa pemerintahan Reza Pahlevi merupakan sekutu dagang
Amerika yang akrab. Dari seluruh impor Iran di tahun 1977 yang
berjumlah US$ 14,07 milyar, sebanyak 18% datang dari Jerman
Barat, 17% dari AS, Jepang 16% dan andil Inggris 8%. Selebihnya
sekitar 40% berasal dari berbagai negara lain.
Terputusnya hubungan dagang Iran AS tentu tak akan melumpuhkan
ekonomi negeri yang sedang berevolusi itu. Tapi yang menarik
adalah sikap Jepang yang mulai solider juga dengan masalah para
sandera AS di Teheran. Jepang, pembeli terbesar minyak dan
barang-barang lain dari Iran, sudah pula mengancam akan
mengurangi perdagangannya dengan Iran, kecuali kegiatan
kontraktornya.
Dir-Ut perusanaan raksasa Nippon Steel sudah menyatakan
perusahaannya siap menghentikan ekspor bajanya ke Iran, begitu
Jepang secara resmi mengenakan embargo terhadap Iran. Dan
perkembangan terakhir adalah dari Iran yang sudah menghentikan
penjualan minyak ke Jepang. Bukan karena Jepang sudah ikut
solider dengan AS. Tapi lebih disebabkan karena Jepang sudah
berani bilang "tidak" terhadap tuntutan Iran untuk menaikkan
harga kontrak minyak dengan US$ 2,50 menjadi US$ 35 per barrel.
Jepang berani bersikap agak keras karena sudah berhasil
mengurangi ketergantungan minyak dari Iran dari 18% pada 1978
menjadi 10% selama tahun lalu. Lagipula Presiden Carter telah
membisikkan ke telinga YM Masayoshi Ohira, AS akan sanggup
menyisihkan minyaknya kalau saja Jepang berteriak kekurangan
akibat distopnya ekspor dari Iran.
Diduga Iran akan menjual 530.000 barrel minyaknya -- yang
biasanya diekspor ke Jepang setiap hari -- ke negara-negara blok
Timur. Tapi selagi Iran merintis ke arah sana, timbul komplikasi
baru yang datangnya dari Irak. Musuh bebuyutan Iran itu ternyata
telah menggunakan senjata minyak di samping senjata peluru untuk
melemahkan posisi Iran. Caranya? Irak telah menurunkan sedikit
harga minyaknya dan menggenjot produksi dari 3,3 juta menjadi 4
juta barrel sehari. Akibatnya banyak langganan minyak Iran yang
lari ke Irak. Betapa sakitnya pukulan Irak itu nyata dari reaksi
Ayatullah Khomeini yang menuding negara tetangganya itu sebagai
"kaki-tangan imperialis Amerika". Irak di bawah Partai Ba'ath
yang berkuasa, tetap merupakan negara di kawasan Timur Tengah
yang tergolong anti AS. Baghdad tak punya hubungan diplomatik
dengan Washington.
Kalau reaksi negara sesama OPEC sulah sejauh itu, ke mana lagi
Iran harus berpaling kalau bukan ke tetangganya yang di utara
Uni Soviet dan para satelitnya di Eropa Timur. Dalam soal
dagang Ayatullah pun ternyata bisa bersahabat dengan golongan
Marxis. Baru-baru ini suatu misi perdagangan Iran telah bertolak
ke Moskow untuk memperluas hubungan dagang kedua negara. Iran
mengharapkan agar Uni Soviet bisa menggantikan peranan AS
sebagai partner dagang utama Iran.
Dengan Rumania sudah ditandatangani persetujuan Iran akan
menambah penjualan minyak ke sana dengan 60% menjadi 100.000
barrel sehari dengan harga kontrak US$ 35 per barrel. Sebagai
imbalan, Rumania akan meningkatkan penjualan gandum, traktor dan
barag-barang industri lainnya ke Iran. Dan tahun lalu Polandia
telah membeli 7 juta barrel minyak Iran, sedang bulan lalu
Cekoslovakia menandatangani kontrak pembelian 1,5 juta barrel
minyak Iran untuk tahun ini.
Ali Akbar Moinfar, Menteri Perminyakan Iran barusan pulang dari
Bulgaria sesudah menawarkan minyak ke negara itu. Dan Sojaheddin
Fattami, Deputi Menteri Perdagangan Iran, belum lama ini
mengakhiri kunjungannya di Berlin Timur, setelah singgah di
beberapa negara sosialis lain.
Bulan Madu
Jaminan minyak Iran itu tidak mustahil akan menggairahkan
rencana pembangunan negara-negara blok Timur itu. Suatu hal
yang membuat kuatir para pemimpin di sana, karena Uni Soviet
merasa tak sanggup lagi mengalirkan minyaknya ke sana setelah
tahun 1982. Dan sekali kelompok negara komunis itu mampu
menyesuaikan kilang-kilang minyak mereka dengan minyak mentah
yang masuk dari Iran, dan mengatasi masalah pengangkutan minyak
ke negeri masingmasing, Iran mungkin tak terlalu membutuhkan
instalasi industri yang mereka beli dari Barat.
Suatu tindakan Iran yang agaknya di luar perhitungan negara
Barat adalah keputusan untuk menarik seluruh deposito mereka
dari bank-bank Eropa. Seperti diumumkan Gubernur Bank Setra
lran Ali Reza Nobari baru-baru ini di Hamburg, dengan
meningkatnya ancaman terhadap kekayaan Iran di bank-bank Eropa,
maka Iran terpaksa menarik semua depositonya untuk ditempatkan
di bank-bank negeri komunis, di samping Austria dan Swiss yang
netral.
Kalau itu benar terjadi, maka komplitlah bulan madu antara Iran
dengan Rusia: Satu negara Islam telah mempercayakan uangnya
kepada negara komunis -- suatu hal yang untuk banyali orang
hampir tak masuk akal. Tak diketahui berapa persisnya jumlah
uang Iran yang akan dipindahkan itu. Tapi ada yang menduga
seluruh kekayaan Iran. Di bank-bank Eropa itu mencapai US$ 9
milyar.
Dengan uang sebesar itu Iran masih bisa bebas berbelanja ke mana
saja di luar AS, MEE dan Jepang. Negara industri dari Dunia
Ketiga seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Brazil dan India
sudah mampu membuat barang-barang industri dengan lisensi dari
AS, MEE atau Jepang. Negara-negara tadi sudah bisa membuat
barang-barang yang dibutuhkan Iran. Bisa diharapkan mereka dalam
waktu dekat ini akan berpaling ke Iran. Itu pula sebabnya banyak
pengamat skeptis skeptis ekonomi AS dan para sekutunya akan bisa
mencekik mati ekonomi Iran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini