MINYAK belum sama sekali tersisihkan, tapi pamornya sebagai sumber penerimaan negara, tampaknya, kian suram saja. Selain harganya cenderung turun, kini muncul beberapa negara yang berani menawarkan kontrak bagi hasil (KBH) yang lebih simpatik ketimbang Indonesia. Vietnam memberlakukan KBH 65:35. Ini berarti dari setiap pengeboran, 65% menjadi bagian Vietnam, sedangkan investor asing kebagian 35%. Tak heran jika negeri yang baru bangkit itu, dilirik banyak pemodal. Gawatnya, Rusia beserta negara-negara Eropa Timur dan Myanmar alias Burma juga melakukan hal yang sama. Sebaliknya Indonesia, hingga saat ini rumus KBH masih 80:20 untuk daerah perbatasan dan 75:25 untuk pengeboran lepas pantai dengan kedalaman minimal 1.500 meter. Wajarlah, bila sistem bagi hasil yang ditawarkan negeri ini jadi tampak tak bermutu di mata investor. Wajar pula apabila jumlah KBH yang diteken terus menurun. Kalau tak salah, dalam dua tahun terakhir, hanya 10 KBH baru yang diteken. Padahal dulu, tiap tahun mi-nimal ada 15 KBH. Pemerintah tentu tak bisa tinggal diam. Menurut seorang pejabat tinggi, Departemen Pertambangan & Energi tengah mempersiapkan sebuah aturan main baru. Sistem KBH akan diubah menjadi 65:35. ''Tapi ini masih usul,'' kata pejabat tersebut. Paket Insentif 1993 -- demikian aturan baru itu dinamakan -- juga akan menaikkan harga beli minyak DMO (Domestic Market Obligation). Dalam setiap kontrak selalu ada klausul yang mengharuskan sebagian minyak yang diperoleh (20%-30%) dijual kepada pemerintah. Nah, selama ini minyak DMO hanya dihargai 15% dari harga pasar internasional. Kini, harga itu akan dinaikkan menjadi 25%. Sulit untuk memastikan apakah usul itu akan diterima atau tidak. Yang jelas, persaingan memperebutkan KBH belumlah meruncing. Seperti kata Dirjen Migas, Suyitno Padmosukismo, ''Belum ada investor yang memindahkan operasinya ke Burma maupun Vietnam.'' Sementara itu, Direktur Eksplorasi dan Produksi Pertamina, G.A.S. Nayoan, melihat ada dua faktor penyebab turunnya jumlah KBH. Pertama, dana eksplorasi memang menurun. ''Kini banyak investor yang mengalihkan dananya dari pencarian sumur baru, ke industri pengilangan yang sudah pasti menguntungkan,'' kata Nayoan. Selain itu, akibat tidak stabilnya harga minyak, sepanjang 1991-92, hampir semua perusahaan minyak turun pendapatannya. Padahal, biaya operasi semakin mahal. Karena itulah di kawasan Asia, Indonesia bukan lagi pilihan pertama. ''Investor semakin selektif dalam mencari kontrak yang paling menguntungkan,'' tuturnya. Apalagi secara geologis, Vietnam dan Burma jauh lebih baik. Nayoan mengibaratkan negeri-negeri pesaing itu seperti Indonesia 20 tahun lalu, yakni ketika minyak mudah didapat. Lain dengan di sini. Yang tersisa kebanyakan berada di lepas pantai, atau di cekungan yang dalam. Contohnya di belahan barat Indonesia, minyak lepas pantai baru ditemukan pada kedalaman 1.500 meter. Masalahnya kini, seberapa banyak pendapatan pemerintah terpangkas akibat KBH yang baru. Jawabnya: sulit diramalkan, harus ditunggu dampaknya, tiga sampai tujuh tahun ke depan. Tapi agaknya, tujuan jangka pendek KBH adalah mempertahankan tingkat produksi yang 1,5 juta barel sehari. Kalau tidak ada kontrak baru, ''Suatu saat, produksi kita pasti menurun,'' demikian komentar seorang pejabat yang tahu banyak perkara lika-liku minyak.Budi Kusumah dan Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini