INI benar-benar tindakan subversi ekonomi. Gerundelan itu meluncur dari mulut seorang developer di Bandung. Tapi dia tidak tahu, kepada siapa rasa geramnya harus ditujukan: produsen, distributor, agen, atau toko pengecer. Ya, siapa di antara mereka yang menimbun semen? Tak seorang pun tahu. Lebih mengherankan lagi, Pemerintah sekalipun tak tahu di gudang siapa bubuk abu-abu itu tertimbun. ''Kami akan mencoba menelusuri, di mana letak kemacetannya,'' kata Menteri Akbar Tandjung di Bandung, pekan lalu. Sebagai menteri yang mengurusi masalah perumahan, Akbar tentu prihatin atas raibnya semen dari pasaran. Ia khawatir, target pengadaan rumah pada Pelita VI (72 ribu unit per tahun) tidak terpenuhi. Kalaupun terpenuhi, harganya akan lebih mahal dan tidak terjangkau rakyat kecil. Hampir di seluruh pelosok Nusantara, dalam tiga bulan terakhir ini, tak ada lagi istilah HPS atawa harga pedoman setempat. Di Bandung, para pengecer melego semen dengan harga Rp 7.500 per sak (40 kilo) atau Rp 1.500 di atas HPS. Di Yogyakarta dan Surabaya, konsumen harus membayar Rp 1.000 hingga Rp 2.000 lebih mahal dari harga wajar. Tapi, di Manado, harga semen melesat ke Rp 17.500 per 40 kilo. Padahal, HPS di sana cuma Rp 7.050. Kali ini Pemerintah bereaksi cepat. Melalui Dirjen Industri Kimia Dasar, Wardijasa, Pemerintah menyatakan bahwa untuk sementara keran ekspor semen ditutup. Betul, penyetopan ekspor ini belum bisa menjamin pasar lokal dengan segera dibanjiri stok. Apalagi produsen biasanya sudah terikat kontrak penjualan dengan pembeli di luar negeri. Tapi upaya ini patut dihargai. Soalnya, kegiatan ekspor merupakan salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya pasok semen di pasar lokal. Seperti diketahui, tahun ini Pemerintah menetapkan kuota ekspor semen sebesar 3,5 juta ton. Realisasinya hingga Agustus lalu baru 812 ribu ton. Jadi, bukan mustahil, sejak September produsen menggenjot ekspornya habis-habisan. Jangan lupa, harga jual semen ekspor lebih menguntungkan ketimbang harga dalam negeri. ''Di kawasan Asia, harga semen Indonesia paling murah,'' kata Hashim Djojohadikusumo, pemilik PT Semen Cibinong. Bandingkanlah dengan harga semen di Filipina yang US$ 92 per ton, sedangkan HPS kita jatuhnya hanya US$ 72. Sementara ekspor dilarang, Menteri Akbar Tandjung mengusulkan agar -- selain membangun pabrik baru -- Pemerintah juga melepaskan semen ke mekanisme pasar. Sebab, dengan HPS-pun, ''Harga semen tetap saja mahal, dan Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa,'' katanya usai membuka pameran perumahan di Bandung. Usul Menteri ini didukung Hashim. Katanya, HPS semen sebenarnya tak perlu. Buktinya, bahan bangunan lain seperti besi, baja, batu, pasir, dan kayu, tanpa diatur-atur, tetap tersedia. ''Makanya, saya tidak setuju HPS.'' Tapi, lain lagi saran para wakil rakyat di DPR RI. Ada yang mengusulkan agar semen diatur seperti beras diatur Bulog. Kalau perlu, Pemerintah membetuk sebuah lembaga yang bertugas menampung dan mendistribusikan semen. Dengan demikian, pengadaan maupun penyerapannya bisa langsung dipantau. Jadi, tidak seperti sekarang, tak seorang pun tahu di mana semen bersembunyi. Padahal, kalau melihat tingkat produksi yang mencapai 19,2 juta ton per tahun dan tingkat kebutuhan yang 17,6 juta ton, seharusnya pasok semen Indonesia berlebih.Budi Kusumah dan Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini