Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANDA-tanda kandasnya proposal direksi PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI) untuk meminang PT Bank Permata Tbk. makin lengkap saja. Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagai pemilik 99,12 persen saham BNI, sampai akhir pekan lalu tak terlihat antusias lagi terhadap rencana penggabungan kedua bank itu. "Belum ada keputusan apa pun dari Menteri," kata Deputi Bidang Privatisasi dan Restrukturisasi Menteri Negara BUMN, Mahmuddin Yasin.
Pertengahan bulan lalu, penolakan lebih tegas disuarakan oleh manajemen Permata. Komisaris Utama Permata, Aditiawan Chandra, bahkan mengatakan, bak kembang desa yang sedang mekar-mekarnya, Permata tak layak dijodoh-jodohkan tanpa dimintai persetujuan. "Ini bukan zaman Siti Nurbaya," katanya.
Meski pernyataan itu kemudian buru-buru dipoles oleh Direktur Utama Permata, Agus Martowardojo, bahwa Permata tidak dalam posisi menerima atau menolak, aspirasi mereka toh tak bisa diabaikan. Agus dan kawan-kawan bahkan sudah menyiapkan argumen lengkap untuk mendukung penolakan mereka.
Permata sudah mengambil keputusan untuk tetap menjadi bank yang fokus sesuai dengan ketentuan Arsitektur Perbankan Indonesia yang dikeluarkan Bank Indonesia. Dalam rancangan itu terdapat empat model bank yang bisa dirujuk sesuai dengan besarnya modal. Dengan modal Rp 1,7 triliun dan aset senilai Rp 29 triliun, manajemen menilai pilihan untuk fokus itu lebih tepat ketimbang merger dengan BNI.
Sebagai bank hasil gabungan PT Bank Bali Tbk., PT Bank Universal Tbk., PT Bank Patriot, PT Bank Prima Ekspres, dan PT Bank Artamedia pada September 2002, kondisi Permata dianggap belum siap melakukan merger kedua. Dari sepuluh aspek yang dikaji Agus dan kawan-kawan, hanya faktor proyeksi finansial yang dianggap positif.
Dalam hal lain, seperti budaya perusahaan, dampaknya bagi manajemen, serta kejelasan usaha, merger kedua dinilai akan menemukan kegagalan. "Dari sisi waktu juga tidak memungkinkan," katanya, "Tidak mungkin merger secara hukum dilakukan sekarang, sementara secara operasional baru tahun depan, dan BNI sudah akan dijual Oktober nanti."
Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Mohammad Syahrial, sebagai wakil pemerintah yang menguasai 97,66 persen saham Permata, sejak awal juga menunjukkan ketidaksetujuannya. Bagi Syahrial, yang mengganjal adalah penggabungan ini tak membawa duit tunai bagi pemerintah.
Sebab, dalam proposalnya, Direktur Utama BNI Sigit Pramono mengusulkan pola pertukaran saham (share swap) sebagai cara pembayaran dalam proses penggabungan. Dan sebagai sesama bank pemerintah, Permata dihargai sesuai dengan nilai bukunya saja. "Harga premium tak diperlukan karena toh duitnya hanya akan keluar dari kantong kanan dan masuk kantong kiri," kata Sigit.
Tentu Syahrial berkeberatan. Sesuai dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ada tiga opsi divestasi. Pertama, menjual 71 persen saham dengan cara 51 persen dijual ke investor strategis dan 20 persen dijual melalui pasar modal ke investor terpilih (market placement). Kedua, menjual langsung 71 persen saham dengan menggunakan harga premium. Dan ketiga, pemerintah melepaskan seluruh kepemilikan saham (97,66 persen) kepada investor dengan harga superpremium.
Karena itulah Syahrial bersikukuh, kalaupun BNI berminat, mereka harus membeli melalui mekanisme divestasi biasa. Sebagai ahli waris Badan Penyehatan Perbankan Nasional, PPA memiliki beban yang kurang-lebih sama: menyetor duit ke kas negara. Dalam rencana kerja anggaran perusahaan yang sudah diajukan ke DPR, pengelola aset negara ini menargetkan setoran Rp 1,2 triliun sampai Rp 1,5 triliun tiap tahun.
Untuk mencapai target tahun ini, Syahrial mengakui pihaknya memang mengandalkan penjualan Permata, yang sampai Desember 2003 lalu tercatat memiliki modal Rp 1,3 triliun dan aset sekitar Rp 29 triliun. Ia yakin saat inilah waktu yang tepat menjual Permata. Minat investor juga sangat besar. Itu terlihat dari hasil Investment Summit - Euromoney di London beberapa waktu lalu. "Mereka tahu ini program terakhir divestasi saham bank secara mayoritas. Dari kacamata asing, sektor perbankan kita sangat positif," katanya.
Syahrial bahkan sempat menyebutkan, dari penjajakan awal, pasar menghargai Permata sangat tinggi. Dia mengambil contoh penjualan saham United Overseas Bank (Singapura) baru-baru ini dengan harga 2,7 kali nilai buku. "Padahal itu saham minoritas. Sedangkan kami menawarkan mayoritas. Harganya harus tinggi."
Sigit Pramono hanya tersenyum ketika dimintai tanggapan atas antusiasme Syahrial. Dia mengakui, investor akan menghargai lebih baik sebuah bank dengan bisnis konsumer dan fokus di kredit kecil-menengah seperti Permata. Tapi, dalam penghitungan Sigit, paling banter nilainya 1,5 kali nilai buku, sedangkan untuk harga BNI diperkirakan sekitar 1,3 kali. "Karena itu, kami merencanakan merger."
Jika rencana berjalan mulus, kata Sigit, bank hasil penggabungan BNI dan Permata tetap akan menjalani proses divestasi 30 persen saham, sesuai dengan rencana pemerintah. Harga saham bank gabungan bisa mencapai 1,45 kali nilai buku. Dan karena ukuran bank menjadi jauh lebih besar, setelah ditambah modal BNI yang sekitar Rp 11 triliun, dalam perkiraan Sigit, nilai tambah yang akan diperoleh pemerintah bisa mencapai Rp 1,7 triliun.
Pengamat perbankan Pradjoto sependapat dengan penghitungan Sigit. "Mestinya pemerintah dan DPR mempertimbangkan lebih serius usulan BNI," katanya. Di sisi lain, ia mengakui, pemerintah saat ini sedang membutuhkan uang tunai sebagai penambal anggaran yang terancam bolong besar karena banyak asumsi yang meleset.
Tapi, lepas dari faktor komersial ataupun kepentingan negara, Pradjoto mencurigai kuatnya keinginan menjual cepat Permata secara tunai lebih banyak dipengaruhi motif beberapa pihak untuk memperoleh keuntungan pribadi. "Mereka berpikir untuk jangka sangat pendek," katanya, "Mumpung masih mereka yang menjabat. Toh, tahun depan pemerintahnya sudah berganti."
Bagi Sigit sendiri, sinyal penolakan itu terlalu jelas ditunjukkan. Padahal, jika Permata mengandaikan diri Siti Nurbaya, Sigit justru merasa BNI adalah Syamsul Bahri. Dalam cerita Minang ini, Syamsul pemuda yang hendak menyelamatkan sang dara dari tangan Datuk Maringgih, yang banyak uang dan doyan kawin. Melalui merger ini, BNI berharap akan muncul bank nasional yang sangat kuat di negeri sendiri. "Tapi, kalau ditolak, kami tak akan ngotot."
Y. Tomi Aryanto, Yandi M. Rofiandi, Danto (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo