Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang teman menjelaskan kepada saya kenapa ia tak ingin jadi presiden. ”Karena si Anjing,” katanya. Ia mengaku ini sebuah jawaban yang congkak, karena sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa ia pernah membaca tentang Diogenes, orang Sinop, yang lahir di kota di pantai Laut Hitam itu pada sekitar tahun 412 Sebelum Masehi.
Diogenes adalah sebuah legenda tersendiri. Aristoteles memanggilnya ”si Anjing”, atau, dalam bahasa Yunani, ”Kyon”. Filosof yang aneh ini, yang hampir 30 tahun lebih tua ketimbang Aristoteles, tak berkeberatan. Pandangan hidupnya memang bisa membuat ia dimaki.
Ia seorang penampik yang radikal. Ia memilih untuk tak punya apa pun. Ambisinya yang terbesar adalah untuk tak punya ambisi. Anak bankir dari wilayah Ionia ini (si ayah diketahui memalsukan uang dan diharuskan meninggalkan Sinop) akhirnya jadi seorang yang hidup seperti pertapa. Ditolaknya kekayaan dan tak diharapkannya penghargaan orang lain. Yang pokok, baginya, adalah auterkeia, ”swasembada”.
Setiap hari ia berjubah kasar, bertongkat, dan membawa kantong. Ia hidup dari derma sedapatnya. Bila ia minta makanan kepada seseorang, ia selalu bertanya adakah orang itu telah memberikan sesuatu kepada orang lain; bila belum, ia akan meminta agar dirinya janganlah jadi penerima terakhir.
Kenikmatan hidup dijauhinya dengan ekstrem: ia akan bergulung di pasir yang terik di musim panas dan memeluk patung yang tertutupi salju di musim dingin. Terkadang ia tinggal di sebuah bilik kecil yang disediakan salah seorang temannya, atau, bila itu tak ada, ia akan tidur di pendopo Kuil Zeus di Athena atau di dalam pithos, bak besar di Metroum, kuil ibu dewa-dewa.
Ada yang melihat persamaan antara perilaku Diogenes dan ajaran Kristen dan Buddhisme: memandang hidup dengan mengambil jarak dari hidup itu. Dalam salah satu kuliah filsafat di Collège de France di tahun 1984, Michel Foucault menyebut Diogenes sebagai pelopor gerakan yang menjadikan hidup sebagai ”lain”. Mungkin, kata Foucault, tema ini ikut membuka pintu bagi berkembangnya pandangan zuhud agama Kristen kemudian.
Tapi sudah tentu ada beda antara Buddha, Yesus, dan Diogenes. Si Anjing menyalak keras dan bisa menggigit. Menurut sebagian orang, dari sanalah asal-usul kata ”sinis” yang kita pakai hari ini. ”Sinisisme” (cynicism dalam bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin cynicus, terjemahan atas kata Yunani kynikos, ”seperti anjing”. Dari laku para pengikut Diogenes kemudian—yang menyebalkan banyak orang—kata itu akhirnya jadi penanda sikap yang hanya mau melihat cacat manusia, bukan budi baiknya.
Diogenes sendiri tak demikian. Tapi ucapan-ucapannya memang ketus. Niatnya adalah memprovokasi orang untuk bertukar pikiran. Ia mencegah mereka pasif. Ia bukan saudagar kata-kata bagus yang bisa membuat hadirin tenang dan senang. Bahkan ia bisa kurang-ajar: konon ia tak ragu untuk berak dan masturbasi di depan orang, sebagai sebuah ekspresi ”tak-ada-rasa-malu” (anaideia). Mungkin baginya ”malu” adalah bagian dari ketidakbebasan.
Memang ada sikap angkuh di situ. Plato benar. Pada suatu hari Diogenes menginjak-injak permadani miliknya, sambil berujar: ”Lihat, kuinjak-injak sikap jumawa Plato.” Plato pun menyahut: ”Ya, Diogenes – dengan sikap jumawa yang lain.”
Tapi sikap jumawa itu berkait dengan kemerdekaan diri. Kita ingat kisah yang termasyhur ini: pada suatu hari Iskandar Agung datang ke tempat si Anjing berbaring seraya berjemur. Orang kuat dari Makedonia ini memperkenalkan diri: ”Aku, Iskandar Agung.” Sang filosof menjawab: ”Aku, Diogenes, si Anjing.” Ia acuh tak acuh. Kepada Iskandar ia pun berkata, kasar: ”Jangan berdiri di situ, menghalangi matahari.”
Kisah ini agaknya cuma bagian dari sebuah fantasi, tapi yang penting ialah gambaran tentang hubungan kekuasaan yang tiba-tiba ternyata problematik. Foucault menguraikannya dengan cemerlang berdasarkan risalah yang dituturkan oleh Dio Prusaeus, seorang filosof yang dalam pembuangan selama 14 tahun mengikuti jalan kaum Sinis, mengembara miskin di dekat Laut Hitam, hampir dua milenium yang lampau.
Dalam risalah Dio Prusaeus, status Iskandar dan Diogenes digambarkan sebagai sebuah paradoks: si Anjing yang tak punya apa-apa justru lebih tinggi tarafnya. Sebab Iskandar adalah sebuah kekurangan: ia butuh kekuasaan, dan dengan itu perlu pasukan, kekayaan, dan juga kesediaan rakyat Makedonia untuk patuh. Sebaliknya Diogenes: ia sudah dalam tahap auterkeia.
Tentu saja Iskandar mampu membinasakan Diogenes yang kurang ajar itu. Tapi si Anjing menghadirkan sebuah dilema, ketika ia berkata: ”Kau punya kemampuan dan sanksi hukum untuk membunuhku. Tapi cukup beranikah kamu untuk mendengarkan apa yang benar dari mulutku, atau kau pengecut?”
Di sini sebuah ”permainan parrhesiastik”, di mana kemerdekaan bicara berlangsung, dijalankan dengan penuh risiko. Tapi pada akhirnya tampak, kekuasaan sang raja bukanlah satu-satunya kekuasaan. Ada kekuasaan ala Diogenes—sebuah titik nol dalam bak kosong yang mengandung kekuatan tersendiri.
Itu sebabnya teman saya tak ingin jadi presiden. Meskipun ia tak menjalani hidup zuhud seperti kaum Sinis, ia tahu ada ukuran tentang kekuasaan-dan-kekuatan yang berbeda-beda yang harus diakui dalam hidup masyarakat.
Ia kembali bercerita tentang si Anjing. Pada suatu hari, di sebuah pertandingan atletik dan lomba kuda, Diogenes datang untuk meletakkan mahkota pemenang di kepalanya sendiri. Ketika ia hendak diusir, ia menjelaskan bahwa ia melakukan itu karena ia telah berhasil memenangi sebuah ”lomba”: ia telah mengatasi kemiskinan, pengasingan, dan putus asa. Bukankah hal itu lebih sulit ketimbang melempar cakram, bertanding gulat, dan lari cepat?
Membuat kekuasaan dan ukurannya jadi beragam—dan menunjukkan bahwa kekuasaan itu bisa hinggap di mana-mana—itulah sebenarnya yang dicapai Diogenes. Mungkin karena menyadari hal ini konon Iskandar pernah berkata: ”Seandainya aku bukan Iskandar, aku ingin jadi Diogenes.”
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo