Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ancaman Said Iqbal tak terlihat di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada Hari Buruh 1 Mei lalu. Barisan pekerja yang berpawai dari Bundaran Hotel Indonesia ke Jalan Merdeka Utara jauh dari angka seperti yang disebut Iqbal dalam seruannya. "Seratus lima puluh ribu buruh akan beraksi di Jakarta dan 3,5 juta buruh lain di seluruh Indonesia," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia itu saat pencanangan Program Satu Juta Rumah di Ungaran, Jawa Tengah, dua hari sebelumnya atau Rabu dua pekan lalu.
Meski meleset dalam jumlah, Iqbal dan kawan-kawannya membuktikan apa yang dia sampaikan di hadapan Presiden Joko Widodo pada saat acara di Ungaran. Ketika itu, dengan suara lantang Iqbal mengatakan, dalam demo di Istana, para buruh akan menuntut pemerintah agar segera mengesahkan peraturan soal dana pensiun bagi pekerja. Di antara berbagai permintaan lain, urusan jaminan pensiun salah satu tuntutan yang dianggap perlu segera ditetapkan.
Joko Widodo secara khusus memberikan panggung kepada beberapa pemimpin serikat buruh untuk turut berbicara. Sebab, program pembangunan rumah yang dicanangkan itu ditujukan bagi kaum pekerja dan masyarakat berpendapatan rendah lainnya. Menanggapi tuntutan para ketua organisasi dan ancaman buruh menggeruduk Istana, Presiden menjawab dengan santai, "Ya, kalau teriak-teriak saja, ndak apa-apa."
Tanpa didesak buruh pun pemerintah saat ini memang sedang bergegas menggodok aturan soal dana pensiun itu. Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri menyatakan draf peraturan pemerintah itu sudah ada di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diharmonisasi dengan instansi lain. Dari sana, draf akan dibawa ke meja Presiden Jokowi untuk diteken. "Secepatnya," ujarnya di sela acara yang sama.
Rancangan yang dihasilkan dari rapat koordinasi di kantor Kementerian Ketenagakerjaan pada Rabu, 8 April lalu, itu mencantumkan pula aturan masa iuran untuk mendapatkan manfaat atas program ini minimal 15 tahun. Setelahnya, dana pensiun akan diberikan saat usia pekerja 56 tahun. Selain itu, aturan ini hanya berlaku bagi peserta jaminan pensiun yang bekerja di perusahaan swasta, bukan di lembaga negara.
Dalam draf peraturan itu disebutkan pula besaran iuran dana pensiun adalah delapan persen dari gaji pekerja. Dari angka itu, lima persen ditanggung pengusaha, sisanya ditanggung karyawan bersangkutan. Pelaksanaannya akan dibuat serentak mulai 1 Juli mendatang.
Nah, urusan besaran iuran inilah yang masih alot dan jadi ganjalan. Para pengusaha belum bisa menerima dan mengeluh karena harus menanggung beban tambahan. Koordinator Manfaat Jaminan Kesejahteraan Nasional di Asosiasi Pengusaha Indonesia, Timoer Sutanto, menyatakan iuran dana pensiun yang diwajibkan ini akan sangat memberatkan bagi para pengusaha pemberi kerja.
Tanpa jaminan pensiun saja, kata dia, beban kesejahteraan pekerja yang ditanggung pemberi kerja sudah mencapai?18,24-20,74 persen dari gaji. Pengeluaran itu biasanya berupa jaminan kesehatan, tunjangan transportasi dan sebagainya, hingga jaminan hari tua. Ditambah jaminan pensiun, beban kesejahteraan yang harus mereka bayarkan berpotensi naik jadi 26,24-28,74 persen. "Belum lagi tuntutan upah minimum yang terus naik tiap tahun," Timoer menambahkan daftar keluhannya.
Menurut Timoer, pemerintah kurang aspiratif dalam menentukan besaran iuran pensiun ini. Sebab, rapat yang digelar dengan melibatkan perwakilan pengusaha dan buruh selama ini sebenarnya belum mencapai titik kesepakatan. Dari kalangan pengusaha, angka iuran yang diusulkan adalah 5 persen, yang dibagi rata antara perusahaan dan pekerja. Sedangkan perwakilan buruh mengusulkan angka 12 persen, yang bebannya dibagi 9 persen menjadi tanggungan pengusaha dan sisanya mereka bayar sendiri.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya menganggap besaran iuran pensiun yang ada dalam draf pemerintah itu sebenarnya sudah moderat. "Dengan iuran sebesar itu, pekerja masih bisa mendapat manfaat pensiun 30-40 persen dari rata-rata gaji terakhirnya saat masih bekerja," dia menjelaskan.
Elvyn menargetkan, pada 2018, jumlah pekerja formal yang ikut BPJS Ketenagakerjaan akan mencapai 80 persen. "Sementara untuk pekerja informal setidaknya ditargetkan sebanyak 5 persen," kata mantan Direktur Utama PT Jamsostek (Persero) ini.
Dengan alasan berbeda, Wakil Ketua Umum Perkumpulan Dana Pensiun Lembaga Keuangan Nur Hasan Kurniawan mengungkapkan kekhawatirannya melihat rancangan aturan itu. Ia ketar-ketir, kalau aturan yang banyak mengakomodasi kepentingan pekerja ini lolos, industri dana pensiun swasta bakal merugi. Sebab, semua iuran wajib pekerja akan dibayarkan lewat BPJS Ketenagakerjaan.
Lima tahun belakangan, boleh dibilang para pengelola dana pensiun swasta ini menikmati masa keemasan. Bisnis mereka tumbuh rata-rata 20 persen per tahun. "Tapi, dengan adanya peraturan seperti ini, pertumbuhan jaminan pensiun kami bisa minus," ujar Nur Hasan.
Kerisauan para penyedia jasa pengelolaan dana pensiun berdasarkan pada aturan tentang batas atas gaji yang dikenakan iuran pensiun wajib, yakni Rp 10 juta per bulan. Dengan batas setinggi itu, Nur Hasan dan rekan-rekannya akan kehilangan pangsa pasar karyawan kelas menengah-bawah, yang jumlahnya paling besar. Mereka seperti digiring untuk hanya boleh menyasar klien dari kalangan eksekutif bergaji jumbo. Sudah bisa dipastikan persaingan dalam berebut ceruk pasar yang sempit ini jauh lebih ketat.
Lain lagi pandangan pelaksana tugas Ketua Umum Asosiasi Dana Pensiun Indonesia, Suheri, yang justru pesimistis aturan yang sedang dirancang itu nantinya akan bisa berjalan. Sebab, program jaminan hari tua yang iurannya hanya 5,7 persen dan sudah berlangsung sejak 1992 saja nyatanya masih sepi peminat. Sampai hari ini, kata dia, dari 63 juta pekerja sektor formal, baru 15 juta atau 24 persen yang ikut serta. "Program jaminan yang sudah ada saja tidak optimal, mengapa harus membebani pemberi kerja dan pekerja dengan kebijakan baru dan iuran baru?"
Said Iqbal mengakui program jaminan yang masih banyak bolong itu. Tapi pemimpin serikat buruh ini tak mau banyak mempermasalahkan hal yang justru akan melemahkan tuntutan mereka. "Yang penting buruh mendapat pensiun. Seperti pegawai negeri," ujarnya.
Pingit Aria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo