Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA politikus bergegas memasuki ruang kerja Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta Abraham Lunggana alias Lulung, Selasa siang pekan lalu. Tiga di antara mereka juga Wakil Ketua DPRD DKI: Mohammad Taufik, Triwisaksana, dan Ferrial Sofyan. Dua lainnya Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Maman Firmansyah dan Sekretaris Fraksi Partai Hanura Fahmi Zulfikar.
Selama hampir dua jam, para politikus itu membahas perkembangan terakhir pengusutan kasus korupsi pengadaan uninterruptible power supply (UPS) oleh Kepolisian RI. Lulung membuka pembicaraan dengan memaparkan apa saja yang ditanyakan penyidik polisi. Sehari sebelum kumpul-kumpul dadakan itu, penyidik memeriksa Lulung di Markas Besar Polri.
Seorang politikus yang hadir dalam pertemuan itu menuturkan, Lulung senewen karena, dari jajaran pimpinan DPRD, dialah yang paling awal terseret. Lulung pun meminta bantuan kelima koleganya mencari tahu mengapa polisi bersemangat mengusut kasus korupsi pengadaan alat penyimpan daya listrik itu. "Dia curiga ada lobi agar polisi mempercepat pengusutan," ujar politikus DPRD itu.
Kendati membenarkan adanya pertemuan tersebut, Lulung menyangkal meminta koleganya mencari tahu motif polisi menggeber penyidikan kasus UPS. Menurut politikus Partai Persatuan Pembangunan ini, pertemuan itu hanya membahas kinerja Dewan. Kalaupun pengusutan kasus UPS disinggung, itu sekadar untuk memberikan dukungan moril bagi anggota Dewan yang diperiksa polisi.
DALAM sebulan terakhir, radar penyidik Markas Besar Polri memang sedang mengarah ke Kebon Sirih-sebutan yang merujuk pada kantor DPRD DKI. Senin dua pekan lalu, polisi menggeledah ruang kerja Lulung di lantai sembilan dan ruang kerja Fahmi Zulfikar di lantai lima gedung DPRD. Polisi menyita komputer meja dan cakram padat berisi salinan Pokok Pikiran Komisi E DPRD DKI Jakarta. Menurut Lulung, semua barang itu bukan miliknya. "Itu titipan dari ruang Komisi E," ujarnya.
Ketika ruang kerjanya digeledah polisi, Lulung mengaku sedang menjadi pembicara di sebuah forum di Manado. Seharusnya hari itu juga ia menjalani pemeriksaan perdana di Markas Besar Polri. Namun polisi baru bisa memeriksa Lulung tiga hari setelah penggeledahan itu. Tak sampai sepekan, ia kembali diperiksa.
Kepala Subdirektorat V Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Besar Muhammad Ikram mengatakan Lulung diperiksa karena jabatannya sebagai koordinator Komisi E. "Sejauh ini, ia diperiksa sebagai saksi atas tersangka Alex Usman," kata Ikram pekan lalu.
Alex Usman adalah bekas Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat. Dia menjadi tersangka pertama kasus korupsi pengadaan 49 unit UPS pada 2014. Tersangka berikutnya adalah Kepala Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Pusat Zaenal Soleman. Keduanya merupakan pejabat pembuat komitmen dalam proyek senilai lebih dari Rp 380 miliar tersebut. Polisi menahan Alex sejak Jumat dua pekan lalu.
KASUS UPS mencuat pada Januari lalu, ketika Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menemukan program titipan DPRD dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2015. Nilai program titipan yang kemudian disebut Basuki "anggaran siluman" itu mencapai Rp 12 triliun dari total Rancangan APBD yang diajukan ke DPRD sebesar Rp 72 triliun.
Basuki curiga usul siluman juga masuk anggaran tahun sebelumnya. Karena itu, Gubernur menyuruh anak buahnya menyisir APBD 2014. Hasilnya, ditemukan sekitar 12 ribu mata anggaran yang mencurigakan. Yang paling mencolok adalah pengadaan UPS di 49 sekolah di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat.
Basuki semakin curiga karena pengadaan barang serupa kembali muncul pada Rancangan APBD 2015. Gubernur langsung menolak memasukkan anggaran titipan itu pada APBD 2015. Untuk proyek UPS 2014 yang telanjur dilelang, Basuki memilih melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Belum sempat KPK bergerak, polisi lebih dulu menyelidiki kasus korupsi pengadaan alat penyimpan daya ini. Semula, kasus ini ditangani Kepolisian Daerah Metro Jaya. Sejak awal Maret lalu, polisi memeriksa ratusan saksi, dari kepala sekolah hingga perusahaan pemenang tender. Belakangan, Markas Besar Polri mengambil alih kasus tersebut.
Seorang penyidik polisi mengatakan, dari keterangan para saksi yang diperiksa Polda Metro saja, peran Lulung dan Fahmi Zulfikar dalam pengadaan UPS sudah terang-benderang. "Bila mau menjerat Lulung, ya, pintu masuknya lewat Fahmi," kata penyidik itu pekan lalu.
Menurut sang penyidik, sebagai koordinator Komisi E, Lulung berperan mengawal program titipan yang disamarkan dalam pokok pikiran komisi itu. Lulung-lah yang memastikan program tersebut masuk rancangan anggaran yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Adapun Fahmi, kata penyidik itu, "Berperan sebagai pelaksana lapangan."
Komisi E yang dikoordinasi Lulung, menurut penyidik tadi, tergolong paling "basah" dibandingkan dengan empat komisi lain di DPRD. Komisi E antara lain membidangi pendidikan, kesehatan, dan olahraga. Dalam "mengawal" anggaran, Lulung tidak terjun langsung. "Ia menurunkan orang kepercayaannya," ujar penyidik.
Seorang pejabat di Balai Kota DKI Jakarta membenarkan kabar tentang keterlibatan orang yang diduga utusan Lulung. Sepanjang Juli-Agustus 2014, ada dua "orang asing" yang hampir saban hari mendatangi ruang input data proyek di lantai 11 gedung Balai Kota. Kepada pegawai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, kedua orang itu memperkenalkan diri sebagai Erwin dan Kris. "Orang di sini mengenal mereka sebagai anak buah Lulung," kata si pejabat, Rabu pekan lalu.
Erwin dan Kris tak hanya memastikan proyek UPS masuk draf APBD. Mereka bahkan berani memerintah anggota staf Badan Perencanaan Pembangunan Daerah menghapus mata anggaran yang bertabrakan dengan program titipan Dewan itu.
Menurut si pejabat, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah saat itu, Andi Baso, juga terkesan memberi lampu hijau kepada kedua orang tersebut. Namun Andi mengaku tidak tahu-menahu tentang dua orang itu. "Enggak pernah dengar tuh," ujar Andi melalui telepon. Rabu pekan lalu, polisi memeriksa Andi seputar proses penganggaran itu.
Lulung pun membantah mengenal dan mengutus kedua orang itu ke kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. "Jangan semua dikaitkan dengan saya," katanya. Sejumlah anggota staf Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di DPRD DKI Jakarta juga mengaku tidak mengenal Erwin dan Kris.
Disangkal di sana-sini, jejak Erwin dan Kris tak bisa dihapus begitu saja. Di hadapan penyidik, Alex Usman juga menyebut peran kedua orang itu. Menurut Alex, Erwin tak hanya mengurus soal input pokok pikiran Dewan. "Dia juga perantara untuk urusan suap," ujar salah seorang saksi yang dekat dengan Alex.
Menurut saksi itu, Alex pernah bercerita bahwa uang jatah anggota DPRD dalam proyek UPS tak kurang dari Rp 15 miliar. Uang itu dititipkan Alex kepada Erwin dalam bentuk tunai dan cek secara bertahap sepanjang Juli-Agustus tahun lalu. Namun, kepada sahabatnya itu, Alex mengaku tak tahu persis bagaimana uang itu dibagi-bagikan di Kebon Sirih.
Untuk menutupi uang upeti itu, menurut penyidik, nilai proyek UPS digelembungkan hingga dua kali lipat. Tiap unit UPS yang didatangkan dari Cina paling mahal harganya Rp 3 miliar, sudah termasuk pajak dan laba perusahaan. Namun harga perkiraan sendiri yang disodorkan Alex pada 2014 adalah Rp 5,9 miliar per unit. Dalam APBD Perubahan 2014 yang disetujui DPRD, sebanyak 49 paket pengadaan UPS masing-masing dianggarkan Rp 6 miliar.
Lulung menolak dikait-kaitkan dengan semua pengakuan Alex. "Kenal dia saja enggak," ujarnya. Setali tiga uang, Fahmi pun mengaku tidak mengenal Alex. Padahal, ketika berbincang dengan Tempo pada pertengahan Maret lalu, Fahmi mengaku kenal dekat dengan Alex sejak menjadi pengurus Golkar Jakarta Barat dan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia.
Kuasa hukum Alex, Eri Rosatria, mengatakan tak mengetahui persis cerita suap tersebut. "Klien kami memang mengatakan banyak anggota Dewan yang terlibat." Yang pasti, kata Eri, di depan penyidik, Alex akan buka-bukaan.
Syailendra Persada, Dewi Suci Rahayu, Yolanda Ryan Armindya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo