Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setengah Resep Perbaikan Ekonomi

11 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pelaku pasar memulai perdagangan pekan ini dengan galau. Ada banyak sinyal negatif yang harus mereka perhatikan. Dari luar, harga minyak mentah Brent mendadak bergejolak. Sempat melewati US$ 70 per barel, harga Brent melonjak 55 persen dibandingkan dengan awal 2015, yang berkisar US$ 45. Analis pun mulai bertanya: inikah akhir era minyak murah?

Di sisi lain, negosiasi Yunani dengan para kreditornya praktis buntu. Jika Yunani bangkrut, hengkangnya Yunani dari persekutuan mata uang euro adalah keniscayaan. Guncangan yang timbul karenanya pasti merembet ke seluruh penjuru bumi. Ini bisa terjadi satu-dua pekan mendatang.

Di Jakarta, sinyal negatif tak kalah dominan. Pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2015 yang hanya 4,7 persen menegaskan kelesuan ekonomi. Respons pemerintah justru memantik melorotnya rupiah. Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Bank Indonesia menurunkan suku bunga pelan-pelan. Ini resep klasik. Suku bunga yang lebih murah dapat menggairahkan ekonomi. Masalahnya, penurunan suku bunga pasti membuat nilai rupiah luruh.

Kabar tentang pernyataan Kalla saja sudah cukup membuat kurs tengah dolar-rupiah naik menjadi Rp 13.177 per dolar, dibandingkan dengan Rp 12.937 pada pekan sebelumnya. Jika BI benar-benar menurunkan bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur pada 19 Mei mendatang, bersiaplah. Yang paling pertama terasa justru hantaman lebih telak karena merosotnya rupiah. Eksportir kita mungkin sedikit terbantu, tapi masyarakat dan industri yang lebih luas justru kian sengsara.

Sebab, dolarisasi pada ekonomi kita sudah amat parah. Dari sewa mal, ongkos pelabuhan, sampai barang elektronik, semua memakai dolar. Begitu rupiah merosot, dari pedagang gorengan hingga industri mobil bakal terkena dampaknya karena naiknya semua harga. Imported inflation ini murni karena perubahan kurs, bukan karena pertumbuhan. Jika tak terkendali, bukannya memperbaiki ekonomi, pelemahan rupiah dan inflasi yang menyertainya justru dapat menciptakan pusaran yang kian menyedot ekonomi Indonesia ke bawah.

Pasar juga tak bisa banyak berharap dari berbagai proyek infrastruktur yang ramai menjadi berita. Setidaknya ada dua pertanyaan. Apakah uang pemerintah cukup, mengingat penerimaan pajak di bawah anggaran? Kalau toh uangnya cukup, apakah kapasitas birokrasi sanggup menggulirkan proyek-proyek raksasa itu segera? Melihat hutan-rimba birokrasi ataupun regulasi yang jadi penghambat, senjang waktu hingga tiga tahun sudah terhitung lancar untuk sebuah proyek besar di Indonesia agar mulai bergulir.

Percepatan belanja pemerintah juga cuma setengah resep. Separuhnya lagi adalah reformasi ekonomi agar kian menarik sebagai ajang investasi. Sebab, sebesar apa pun belanja pemerintah, ia tak akan cukup menciptakan pertumbuhan tujuh persen sebagaimana cita-cita Joko Widodo. Jika Presiden ingin merombak ekonomi dari konsumtif menjadi produktif, yang ia janjikan di mana-mana, banjir investasi di sektor riil adalah syarat mutlak. Perbaikan iklim berusaha tidak akan terwujud hanya lewat upacara dan sekadar retorika.

Yopie Hidayat (mantan Wartawan Tempo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus