Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir satu jam waktu yang dibutuhkan menyusuri Sungai Cikeas di Bekasi, Jawa Barat, ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tali tambang yang melintang untuk penyeberangan warga, badan sungai sempit, dan dasar yang dangkal akibat sedimentasi memperlambat perjalanan. "Kalau enggak dangkal, paling setengah jam sampai. Kadang-kadang speedboat-nya berhenti nabrak sampah," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Kamis pekan lalu, menceritakan pengalamannya menjajal rute itu.
Dua pekan sebelumnya, bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Budi Karya memang sengaja mencoba sendiri jalur air darat (inland waterway) Cikarang Bekasi Laut (CBL). Dengan speedboat, didampingi Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (IPC) Elvyn G. Masassya, mereka melihat langsung bakal kanal sepanjang 25 kilometer yang akan menghubungkan kawasan industri di sekitar Cibitung, Cikarang, dan Karawang ke Pelabuhan Tanjung Priok tersebut.
Setelah diperbaiki, jalur itu diyakini dapat meningkatkan efektivitas pengangkutan logistik dari dan ke timur Jakarta. Ini akan menjadi alternatif moda transportasi yang lebih modern dan hemat biaya. Dengan tongkang, sekali seret, 100-200 kontainer bisa terangkut. Bandingkan dengan truk, yang hanya bisa memuat satu kontainer. Artinya, tongkang dengan kapasitas angkut hingga 150 kontainer setara dengan rangkaian truk pengangkut peti kemas sepanjang 3 kilometer. "Ini solusi mengurangi kepadatan lalu lintas di jalan tol Cikampek dan ring road Jakarta," ujar Budi.
Setelah bertahun-tahun pelaksanaannya tertunda, pemerintah mendorong PT Pelindo II segera membangun CBL Inland Waterways. Kini Pelindo tinggal menunggu peraturan presiden sebagai payung hukumnya. Pada kuartal keempat tahun ini, Sungai Cikeas akan mulai dikeruk agar bisa beroperasi penuh pada 2019. "Sekarang merampungkan administrasinya," kata Elvyn Masassya, Jumat pekan lalu.
Selain mengeruk dan melebarkan kanal hingga 70 meter, Pelindo akan membangun terminal air darat di Kawasan Industri Cikarang. Lahan seluas 52 hektare sudah disiapkan di tepi dermaga kanal sepanjang 1.600 meter. Bila selesai dibangun, lokasi ini bisa melayani hingga 1,6 juta unit ekuivalen dua puluh kaki (TEUs). Akses jalan darat juga akan dibuka Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sepanjang 4,2 kilometer ke jalan tol Cilincing-Cibitung.
Pengembangan inland waterway memang sulit dielakkan. Beban jalan dari dan ke Pelabuhan Tanjung Priok sudah tidak mungkin lagi ditambah. Jakarta terlalu padat dan lalu lintasnya macet di mana-mana. Sedangkan moda transportasi harus dibuat lebih cepat dan murah agar arus logistik makin lancar. "Biaya angkut logistik akan turun banyak kalau jalur ini bisa direalisasi," kata Elvyn. "Beban jalan berkurang, macet berkurang, dan jalur air pastinya bebas pungli," tuturnya.
Selain itu, kata Elvyn, pengoperasian tongkang sebagai moda alternatif di CBL Inland Waterways akan menambah volume arus keluar-masuk barang di Pelabuhan Internasional Tanjung Priok. Ini sejalan dengan konsep "konsolidasi kargo" yang diterapkan Pelindo sebagai operator dan Kementerian Perhubungan sebagai regulator setahun terakhir. Mereka mendorong semua eksportir di Jawa dan Sumatera mengirim barangnya lewat Jakarta, tidak lagi via Singapura.
Selama ini, pengusaha Indonesia biasanya menggunakan kapal kecil untuk mengirim barang ke Singapura. Di sana, barang dikumpulkan sebelum dipindahkan ke kapal besar dan dikirim ke negara tujuan. Maka tidak aneh bila negara kecil di ujung Semenanjung Malaka itu menjadi pintu ekspor tak kurang dari 4,6 juta TEUs produk ekspor Indonesia per tahun. "Kalau sepertiganya saja lewat Priok, sudah lumayan itu," ujar Elvyn.
Mimpi menyalip Singapura sudah lama bergaung, tapi realisasinya selalu jauh panggang dari api. Karut-marut sektor pelabuhan di negeri ini dipicu oleh paket kebijakan 21 November 1988 yang mendorong deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan dan hubungan laut. Sejak itu, kapal-kapal asing nyaris bebas keluar-masuk penjuru Tanah Air untuk ekspor-impor. Akibatnya, Priok tak pernah berkembang menjadi pelabuhan hub internasional, meski pada 2005 berlaku asas cabotage yang mengharuskan semua kapal berbendera Indonesia.
Kali ini, Budi Karya mendukung penuh rencana Pelindo II mengembangkan Tanjung Priok. Dengan kebijakan konsolidasi kargo, Priok bakal menjadi pelabuhan pengumpul (transshipment port) untuk kapal-kapal kecil dari daerah. "Ini penting sebagai bentuk kemandirian bangsa, kebanggaan nasional," kata Budi.
Untuk itu, Pelindo sudah berbenah. Modernisasi didorong di segala lini, termasuk peningkatan infrastruktur agar mendekati standar internasional. Saat ini kedalaman pelabuhan itu sudah 14 meter dan akan bertambah menjadi 16 meter pada 2020. Banyak peralatan sudah sesuai dengan standar internasional, sehingga kecepatan dan produktivitasnya bersaing dengan pelabuhan di luar negeri.
Walhasil, kini biaya jasa pelabuhan atau terminal handling cost (THC) di Priok lebih murah dibanding Singapura. THC di Priok diklaim sebesar US$ 95 untuk kontainer 20 kaki. Sedangkan di Singapura, untuk ukuran sama, dikenakan biaya US$ 138,2. Karena itulah, pekan lalu, untuk pertama kalinya kapal raksasa milik maskapai pelayaran asal Prancis, Compagnie Maritime d'Affretement-Compagnie Generale Maritime (CMA-CGM), berlabuh di Priok.
Kedatangan kapal itu merupakan inisiatif Pelindo II untuk membuka pelayanan pengiriman kargo langsung dari Pelabuhan Tanjung Priok ke pantai barat Amerika Serikat. CMA-CGM menyiapkan 17 kapal untuk mengirim kargo setiap minggu. "Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia ada kapal berkapasitas di atas 8.500 TEUs datang ke sini," ujar Elvyn.
Sayangnya, tiga kapal CMA-CGM yang datang belum bisa terisi penuh. Kapal CMA-CGM Titus yang berlabuh pada 10 April terisi 1.508 TEUs, kapal CMA-CGM Tancredi (datang 17 April) terisi 1.672 TEUs, dan kapal CMA-CGM Ottelo (datang 24 April) terisi 1.698 TEUs. Artinya, kapal itu rata-rata hanya terisi 40 persen dari kapasitas.
Jika kondisi ini berlanjut, bukan tak mungkin pelayaran langsung (direct call) CMA-CGM tidak bertahan lama. "Kalau volume kargo dari Indonesia tak bertambah, bisa saja," kata Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Ilham Masita. Dia menunjuk sejumlah maskapai Eropa dan Amerika yang juga pernah melakukan pelayaran langsung ke Priok tapi hanya bertahan sebulan atau dua bulan karena tak ada muatan. Saat ini, CMA-CGM tak terlalu merugi karena Tanjung Priok hanya destinasi tambahan bagi kapal mereka. Setelah dari Indonesia, mereka menaikkan barang dari Vietnam dan Thailand.
Arsip di Direct Service PT Jakarta International Container Terminal menunjukkan tren yang dikhawatirkan Zaldy. Pada 2000, kapal MV Texas dengan kapasitas 3.052 TEUs dan panjang 289 meter masuk ke Priok, melayani pengiriman langsung ke Eropa. Pada 2012, Maersk Line dengan kapal MV Maersk Diadema dengan kapasitas 4.542 TEUs dan panjang 250 meter juga masuk untuk melayani rute Jakarta-Fremantle, Australia. Tapi kedatangan kapal-kapal ini tak berlanjut.
Menurut Zaldy, hanya ada satu cara agar kapal-kapal raksasa itu menjadikan Priok sebagai bagian dari pelayaran regulernya. "Importir dan eksportir Indonesia harus mengubah preferensinya," ujarnya. Ini tak gampang. Musababnya, meski THC-nya sudah lebih murah dibanding Singapura, pengguna pelayanan pelabuhan kita masih terbebani biaya-biaya tambahan lain. Biaya sewa gudang di Priok, misalnya, kini melonjak karena kapal CMA-CGM hanya datang seminggu sekali.
Seminggu saja barang ditahan, kata Zaldy, kenaikan biaya logistik mencapai 10-15 persen. "Ujungnya sama saja, tidak efektif. Apalagi bunga bank makin gede," tuturnya. Selain itu, Zaldy menambahkan, pengusaha kerap harus menanggung biaya double handling bila harus melakukan transshipment ke Priok.
Apalagi kini banyak industri sudah menjauh ke Cikarang, Cibitung, dan daerah lain. Bahkan industri garmen dan furnitur--yang banyak mengekspor produk ke pasar Amerika dan Eropa--sekarang pindah semua ke Jawa Tengah. Upah minimum regional yang lebih murah di sana mendorong pengusaha merelokasi pabrik.
Budi Karya bukannya tak menyadari adanya beban biaya lain-lain yang harus ditanggung pengusaha. Tapi, kata dia, double handling atau single handling bukanlah isu utamanya. Selama ini, semua pelayaran ekspor-impor juga harus double handling di Singapura. "Jadi sekarang, kalaupun double handling, terjadinya di negara sendiri," ujarnya.
Menurut Budi, salah satu kunci pembenahan sistem logistik nasional adalah menghilangkan ego sektoral. Pelabuhan Teluk Lamong di Jawa Timur, misalnya, tidak bisa beroperasi maksimal karena sempat ngotot ingin menjadi pelabuhan hub meski kapasitasnya kecil. Akibatnya, banyak potensi pengiriman barang justru lari ke negara lain. "Sekarang saya minta semua BUMN pokoknya harus ke Priok," kata Budi.
Elvyn membenarkan. Menurut dia, kebijakan konsolidasi kargo justru membuat biaya logistik semakin murah. Pelindo II pernah membuat simulasi pengiriman barang dari Semarang ke Cina dan mampir di Singapura. Ternyata biayanya lebih mahal Rp 1 juta per kontainer dibanding bila mampir ke Tanjung Priok. Apalagi sekarang Pelindo menerapkan diskon progresif. Semakin besar kapal, semakin besar diskonnya.
Ketua Indonesian National Shipowners Association Carmelita Hartoto mendukung niat pemerintah menyalip Singapura. Tapi dia mengingatkan, pelayanan Priok haruslah setara atau lebih baik. Pemerintah juga mesti memberikan insentif. "Kuncinya, begitu kapal datang, jangan ada pungli-pungli lagi," katanya.
Agus Supriyanto, Ayu Prima Sandi, Abdul Malik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo