Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Minyak Jelantah: Alternatif Biodiesel Tanah Air yang Belum Tergarap Regulasi

Minyak jelantah muncul sebagai alternatif menjanjikan untuk biodiesel tanah air. Namun, ketidakpastian regulasi masih jadi penghambat.

9 Desember 2023 | 09.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja memindahkan minyak jelantah di lokasi pengepul minyak jelantah kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu, 16 Februari 2022. Hasil minyak jelantah yang didapatkan pengepul kini menurun dari biasanya yang mampu mendapatkan 1 ton minyak jelantah dalam sehari. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketersediaan bahan bakar nabati menjadi isu penting dalam rangka menjaga keberlanjutan energi dan mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan. Kajian yang dilakukan oleh Traction Energy Asia menunjukkan bahwa minyak jelantah memiliki potensi besar untuk dijadikan bahan baku biofuel. Meskipun inovasi minyak jelantah untuk biodiesel bukan hal baru di dunia, pemanfaatan minyak jelantah di Indonesia masih sangat kurang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Refina Muthia Sundari, Research Manager dari Traction Energy Asia menuturkan bahwa minyak jelantah adalah alternatif yang menjanjikan untuk Indonesia. Sebagai salah satu eksportir terbesar minyak jelantah, Indonesia memiliki peluang besar di pasar internasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Harga di internasional itu lebih tinggi karena sudah ada kebijakan untuk menggunakan bahan baku yang tidak melibatkan alih fungsi lahan. Harganya sekitar Rp 18.000 per liter,” tutur Refina, dalam acara Talkshow dan Launching Buku Cerita Tentang Hulu-hilir Sawit Hari Ini dan Esok "Dampak Kebijakan Biodiesel terhadap Pasokan Minyak Goreng" di Melawai, Jakarta Selatan pada Kamis, 7 Desember 2023.

Dari segi harga, minyak jelantah (UCO) pun cenderung lebih kompetitif dibandingkan dengan CPO (minyak kelapa sawit) dalam konteks ekspor. Penggunaan minyak jelantah juga memberikan keuntungan karbon kredit yang besar kepada produsen biofuel. “Artinya ketika produsen menggunakan UCO atau minyak jelantah sebagai bahan baku biofuel, maka dia akan mendapatkan insentif yang besar dari pemerintahnya,” Refina menjelaskan.

Melalui kajian yang dilakukan bersama Pertamina pada 2022 dan 2023, menunjukkan bahwa biodiesel dari minyak jelantah sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI)

“Kalau kita bandingkan dengan biodiesel CPO (minyak kelapa sawit) yang SME (soy methyl ester), itu memang ada beberapa parameter yang tertahan. Tapi sebenarnya itu kan B100 atau UCO100, bener-bener kita 100 persen dari minyak jelantah,” Refina memaparkan. Menurutnya, jika minyak jelantah dijadikan campuran dengan biodiesel yang ada sekarang, dari sisi kelayakan sudah sesuai dengan SNI. Jadi, bisa dikatakan bahwa minyak jatah layak untuk dijadikan bahan baku biofuel. 

Terkait dengan ketersediaan minyak jelantah, kajian Traction Energy Asia menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi ketersediaan minyak jelantah sekitar 1,2 juta kiloliter per tahun. “Dari hasil proyek kita juga bersama Pertamina, kita lihat kalau misalkan minyak jelantah ini kalau dikonversi menjadi biofuel, yield-nya (keuntungan) ini cukup besar,” Refina melanjutkan. 

Dengan yield (keuntungan) mencapai 90 persen, minyak jelantah dapat menjadi kontributor signifikan dalam pencapaian alokasi B35 (campuran bahan bakar nabati dari minyak kelapa sawit). “Itu bisa berkontribusi ke 8,2-8,5 persen untuk alokasi B35,” lanjutnya.

Namun, menurut Refina, implementasi minyak jelantah sebagai bahan bakar alternatif di Indonesia masih menghadapi beberapa kendala. “Kalau teknologinya sudah ada, cuman memang kalau misalkan kita bandingkan dengan fossil fuel yang biasa, itu pasti akan lebih mahal,”. Regulasi di Indonesia juga dinilai belum memadai. “Minyak jelantah ini memungkinkan sekali untuk dikembangkan, memang kendalanya kita belum punya regulasi untuk mengatur tata kelola dan tata niaganya,” 

Di sisi lain, jaminan ketersediaan dan pengelolaan logistik minyak jelantah yang belum siap juga menjadi tantangan, di mana saat ini belum ada yang bisa menjamin apakah minyak jelantah dapat terus-menerus dikumpulkan untuk kebutuhan produksi biofuel. “Dari hasil penelitian kita juga melihat bahwa lebih dari 70 persen masyarakat itu masih membuang minyak jelantah ke  pembuangan air secara langsung,” Refina melanjutkan. 

Ia juga menyoroti kurangnya lembaga yang mengumpulkan minyak jelantah secara serius. “Kebanyakan pengumpul minyak jelantah yang ada sekarang ini akhirnya menjual atau mengekspor,”

Minyak jelantah bisa menjadi jawaban untuk meningkatkan ketahanan energi Indonesia dan mengurangi dampak lingkungan. Namun, tantangan dan upaya bersama dari pemerintah, perusahaan, dan masyarakat diperlukan agar potensi minyak jelantah dapat dimaksimalkan menjadi alternatif bahan bakar yang berkelanjutan.




Adinda Jasmine

Adinda Jasmine

Bergabung dengan Tempo sejak 2023. Lulusan jurusan Hubungan Internasional President University ini juga aktif membangun NGO untuk mendorong pendidikan anak di Manokwari, Papua Barat.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus