Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMBISI Pertamina membeli minyak mentah dari Rusia tak pernah terdengar lagi sejak Mei tahun lalu. Pada Februari lalu, dalam rapat dengar pendapat dengan PT Pertamina (Persero), anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Ramson Siagian, menanyakan sesumbar Pertamina tersebut. "Kenapa enggak beli minyak Rusia?" kata politikus Partai Gerindra itu kepada Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, dan negara-negara Barat mengembargo minyak mentah Negeri Beruang Merah, Kremlin mengobral minyak mereka, Volga-Ural, campuran minyak asam berat yang diproduksi di kawasan Ural dengan minyak ringan Volga dari Siberia Barat. Beberapa negara yang tak masuk blok Barat, seperti India dan Cina, langsung memborong minyak Rusia itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun berlalu, tak ada kabar lagi mengenai kelanjutan rencana Pertamina membeli minyak Rusia. Nicke menjelaskan, Pertamina mengimpor minyak mentah bukan berdasarkan asal negara produsen. Pertamina mencoba semua opsi. "Yang menentukan minyak mahal atau murah itu spesifikasinya," tuturnya. "Biasanya, kalau minyak murah, sulfurnya tinggi."
Di situ letak masalahnya, menurut Nicke. Bukan soal Rusia, bukan pula perkara Iran—yang juga terkena embargo dagang Amerika Serikat. Sebab, mayoritas kilang Pertamina hanya sanggup mengolah minyak mentah dengan kandungan sulfur rendah alias minyak ringan. "(Hanya kilang) Balongan yang bisa mengolah crude murah dengan sulfur tinggi (minyak berat)," ujar Nicke.
Mayoritas minyak Iran—88 persen—masuk kategori sedang-berat dengan kandungan sulfur tinggi. Tentu minyak itu tak cocok dengan kilang Pertamina kendati harganya cocok. Namun Iran juga punya minyak ringan. Bahkan lembaga informasi energi Amerika Serikat (IEA) mencatat Iran menghasilkan minyak ringan dengan kandungan sulfur hanya 1,46 persen, mirip-mirip minyak ringan Arab yang biasa diimpor Pertamina. Menurut IEA, minyak ringan Iran berasal dari Provinsi Khuzestan dan paling banyak dari Lapangan Ahwaz, Karanj, serta Aghajari.
Kapal pengangkut minyak mentah "Pure Point" milik Rusia terlihat di pelabuhan di Karachi, Pakistan, pada 11 Juni 2023. REUTERS/Karachi Port Trust
Laporan S&P Global pada Mei 2021 bahkan menyebutkan Iran telah mencampur minyaknya agar kandungan sulfurnya rendah supaya bisa memuaskan permintaan Cina—pasar terbesar mereka saat ini. Selama ini, berdasarkan hasil pengujian minyak mentah yang diterbitkan Perusahaan Minyak Nasional Iran (NIOC), kandungan sulfur minyak kualitas terbaik mereka masih 1,46 persen dengan gravitasi API 33,6—ukuran berat minyak terhadap air. API di atas 10 berarti ringan alias minyak mengambang di atas air.
Namun, menurut pedagang minyak yang menjadi sumber S&P Global, nilai API minyak Iran yang masuk ke Cina sudah di atas 35. Dalam perdagangan internasional, minyak mentah dengan API lebih dari 34 dianggap minyak mentah ringan.
Seorang pedagang minyak yang biasa mengurus minyak Iran di Asia Tenggara membenarkan analisis laporan S&P Global tersebut. Sekarang, kata dia, kandungan sulfur minyak Iran ada yang hanya 0,7 persen. Minyak mentah menjadi makin berharga ketika gravitasi API meningkat dan kandungan belerang atau sulfurnya menurun. Kilang tidak memerlukan teknologi rumit dan upaya berat untuk mengolahnya menjadi produk bahan bakar minyak.
Hal yang sama berlaku buat minyak Rusia. Laporan South China Morning Post pada Januari lalu menyebutkan minyak mentah Rusia yang berat seperti Ural banyak dicampur dengan minyak mentah lain yang lebih ringan, lalu disimpan di tangki-tangki di Singapura untuk dijual ke seluruh dunia. Singapura membolehkan impor minyak dan produk minyak Rusia, tapi melarang institusi keuangan yang berbasis di negara kota itu mendanai segala jenis pembiayaan yang berkaitan dengan barang atau perusahaan Rusia. Pedagang minyak tersebut menjelaskan, pencampuran minyak berat dengan minyak ringan bisa dilakukan di atas kapal langsung pada saat transshipment.
Minyak Rusia dan Iran kini menjadi primadona berkat harganya yang miring. Laporan Reuters pada Februari lalu menyebutkan kilang di Provinsi Shandong, Cina, mendapatkan minyak Rusia dengan harga US$ 5 per barel lebih murah dibanding patokan minyak mentah Brent. Diskon minyak Rusia dan Iran kini bisa sampai US$ 6 per barel.
Harga miring itu yang membuat minyak Rusia membanjiri India. Laporan The Indian Express pada April lalu menjelaskan bahwa dua pertiga lebih minyak mentah yang diimpor India merupakan minyak Rusia—sebagian besar Ural. Rusia juga menjadi eksportir minyak terbesar ke Cina dengan porsi 23,8 persen pada dua bulan pertama 2023, menyalip Arab Saudi yang selama ini menjadi eksportir minyak terbesar Negeri Tirai Bambu. Agaknya situasi inilah yang membuat Pertamina ngiler melihat minyak Rusia dan Iran yang bebas berseliweran ke India dan Cina.
Pada November 2022, beberapa bulan setelah Pertamina bilang akan mengimpor minyak Rusia, Pahala Mansury, yang saat itu menjabat Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara—kini Wakil Menteri Luar Negeri—menjelaskan alasan Pertamina sulit mengimpor langsung minyak mentah dari dua negara yang diembargo Amerika Serikat tersebut. Masalahnya ada di sumber pendanaan Pertamina yang kebanyakan berasal dari surat utang global. "Kalau Pertamina mengimpor dari sana, ada kemungkinan pemegang bond menarik utangnya dan itu akan menyulitkan keuangan Pertamina," ucap Pahala kepada Tempo ketika itu.
Dari US$ 5,861 miliar (Rp 88,362 triliun) utang pihak ketiga Pertamina pada 2022, sebanyak US$ 4,743 miliar berkurs dolar. Sebagian besar digunakan untuk memodali pembelian minyak mentah, gas bumi, dan produk minyak. Selain itu, biasanya—apalagi jika pemberi utang merupakan investor Barat—ada klausul tidak membiayai setiap barang yang dibeli dari negara-negara yang terkena embargo Amerika Serikat seperti Iran dan Rusia.
Pertamina mengakui situasi keuangannya saat ini yang menyulitkan mereka membeli minyak murah dari negara-negara tersebut. "Pada dasarnya kami selalu berusaha mencari sumber minyak mentah yang sesuai dengan kilang Pertamina dengan harga lebih murah," ujar Hermansyah Nasroen, Sekretaris Perusahaan PT Kilang Pertamina Internasional, pada Kamis, 27 Juli lalu. "Tapi tetap mempertimbangkan potensi risiko finansial, termasuk global bond yang diterbitkan Pertamina dan transaksi finansial lain."
Kini, ketika negara lain menikmati minyak murah Rusia dan Iran, di atas kertas Pertamina hanya bisa mengandalkan pasokan minyak dari negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Kebetulan minyak-minyak dari sana cocok dengan kilang Pertamina yang hanya bisa mencerna minyak ringan. "Minyak mentah dari wilayah Afrika rata-rata memiliki ketersediaan dan karakteristik yang sesuai dengan desain kilang Pertamina saat ini, yaitu minyak mentah jenis sweet," tutur Hermansyah. Minyak Nigeria tercatat sebagai minyak mentah impor terbanyak yang ditelan Pertamina.
Pertamina tak pernah mengimpor minyak langsung dari produsen. Pertamina Energy Trading Ltd alias Petral, yang dulu bertugas mengimpor minyak buat Pertamina, sudah bubar. Mereka dulu yang banyak mengimpor minyak mentah dari para pedagang dengan harga beli lebih mahal dibanding mengimpor langsung dari produsen.
Sempat diisi divisi Integrated Supply Chain Pertamina, peran mencari minyak impor kini dipegang langsung oleh Kilang Pertamina Internasional, yang bertugas mencari sekaligus mengolah minyak mentah menjadi bahan bakar. Di tangan KPI, tidak semua minyak diimpor dari produsen atau perusahaan minyak nasional (NOC). "Sebanyak 35 persen minyak mentah masih dari impor," kata Hermansyah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Retno Sulistyowati berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Minyak Murah Kilangnya Payah"