Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan, pengalihan distribusi MinyaKita ke badan usaha milik negara (BUMN) bidang pangan, khususnya Perum Bulog, tak akan menghapus peran swasta. Menurut dia, swasta tetap dapat mendistribusikan minyak goreng kemasan sederhana itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Swasta kan masih ikut juga, enggak 100 persen(dialihkan ke BUMN pangan). Kan masih jalan seperti biasa, supaya cepat,” ujar Arief kepada wartawan di kawasan Tangerang, Banten, Ahad, 22 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang menjadi fokus pemerintah, Arief mengatakan, jangan sampai harga MinyaKita di atas harga eceran tertinggi (HET), yakni Rp 15.700 per liter. Dengan didistribusikan Bulog dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau RNI ia meyakini harga akan tetap di angka itu.
Eks Direktur Utama PT RNI ini berharap, tak ada kenaikan harga MinyaKita di level konsumen. Sebab, MinyaKita merupakan pemenuhan kebutuhan domestik (DMO). Karena alasan yang sama, ia membantah harga MinyaKita masih melambung lantaran harga minyak sawit mentah (CPO) dunia naik.
Menurut Arief, bahan baku MinyaKita berasal dari DMO produsen minyak sawit. “Kita bicaranya kan ini DMO. Jadi kita enggak bicara yang lain-lain,” kata Arief kepada wartawan di Graha Mandiri, Jakarta, Senin, 9 Desember 2024.
Arief menjelaskan, perusahaan-perusahaan minyak sawit yang mengantongi Persetujuan Ekspor (PE) berkewajiban menyisihkan sejumlah produksinya untuk dalam negeri. DMO itu kemudian yang diproduksi menjadi MinyaKita.
Pengalihan distribusi kepada BUMN pangan bertujuan mengerek harga MinyaKita yang melonjak menjelang Natal dan tahun baru (nataru). Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Rabu, 20 November 2024, Menteri Perdagangan Budi Santoso mengungkap hingga Selasa, 19 November 2024 lalu, rata-rata harga nasional MinyaKita mencapai Rp 17 ribu per kilogram.
Kala itu, ia berujar ada wilayah dengan harga yang lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET). Ada pula yang sama dengan HET. “Tetapi secara nasional memang naik,” katanya.
Kenaikan harga MinyaKita terutama terasa di wilayah Indonesia Timur. Di sana, harga minyak goreng lebih tinggi dari rata-rata harga nasional. Menurut Budi Santoso, kenaikan harga terjadi sebesar 8,8 persen di atas HET atau sebesar Rp 15.700.
Budi Santoso mengaku telah menemukan penyebab melambungnya harga minyak goreng ini. Menurut dia, kenaikan harga ini disebabkan terbentuknya rantai distribusi yang lebih panjang dibanding ketentuan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2024.
“Yang seharusnya distribusinya itu kan dari produsen, D1, D2, dan pengecer, namun di lapangan ini terjadi beberapa transaksi dari pengecer ke pengecer,” kata Budi Santoso.
Pilihan Editor: Yang Muda yang Sulit Mendapat Kerja