Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HITUNGAN itu berjalan sejak Kamis pekan lalu. Tim Pelaksana Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang dibentuk- pemerintah diberi waktu bekerja- sepuluh- hari. Mereka mencari ”titik kompromi” besaran total kewajib-an delapan pengutang bantuan likui-ditas Bank Indonesia (BLBI) dengan mencocok-kan hitungan para pengutang dan hitungan pemerintah.
Mudah ditebak: semua pengutang hanya mengakui jumlah kewajiban pokok mereka seperti tertulis dalam Akta Pengakuan Utang. Enam di antaranya sesuai dengan Akta Reformulasi, yakni akta kedua yang ditandatangani pada 2002.
Mereka adalah Ulung Bursa, Atang Latief, James Januardi dan Adi Saputra, Omar Putihrai, serta Lidia Muchtar. Dua lainnya, yaitu Marimutu Sinivasan dan Agus Anwar, tak menandatangani Akta Reformulasi. Karena itu, perhitung-an utang mereka didasarkan pada akta tahun 2000.
Kedua basis perhitungan yang di-pakai- para pengutang berimplikasi pa-da- munculnya perbedaan dengan hitung-an versi pemerintah, yang didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan No. 151/2006 tentang Prosedur Operasi Standar Penanganan PKPS.
Dalam Akta Reformulasi, misalnya-, terdapat terms and conditions soal po-la pembayaran 30 persen tunai dan sisanya- dengan aset. Tapi, menurut skema- yang saat ini berlaku, pemerintah hanya akan menerima pembayaran 100 persen- -tunai, atau minimal mendekati tunai (near cash), misalnya dalam bentuk surat berharga Bank Indonesia atau surat utang negara.
”Kami tidak menerima aset,” kata Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan, J.B. Kristiadi, yang memimpin tim pelaksana itu. ”Bagaimana caranya, terserah mereka.” Dan yang jelas, katanya lagi, tenggat penyelesaian itu akhir tahun ini.
Pemerintah juga berjanji akan mena-gih pembayaran utang itu dengan memperhitungkan pokok kewajiban berikut bunga dan dendanya selama delapan tahun, terhitung sejak kredit dikucurkan pada 1998. Dengan hitungan itu, total kewajiban para pengutang diperkira-kan akan membengkak hingga lima kali jumlah pokok utang mereka.
Untuk mengkalkulasi itu semua, sejak awal Mei hingga Rabu pekan lalu secara bergantian para pengutang itu dipanggil menghadap tim yang beranggotakan 16 orang dari Departemen Keuangan, Polri, Kejaksaan Agung, dan Perusahaan Pengelola Aset—badan pengganti Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
James Januardi bersama Adi Saputra datang sendiri ke Departemen Keuangan pada hari pertama. Hari berikutnya gi-liran Atang Latief, yang diwakili anaknya, Ka-harudin Latief, dan kuasa hukumnya.
Disusul Ulung Bursa, yang da-tang sendiri, dan Lidia Muchtar sehari kemudian diwakili kuasa hu-kumnya, Martin Pongrekun. Lidia sen-diri saat itu sedang di Singapura. Tapi Martin memastikan kliennya akan menyelesaikan kewajibannya. ”Kemungkin-an dengan near cash,” katanya.
Martin menjelaskan, dalam pertemuan dengan tim pelaksana PKPS, ia menyampaikan nilai utangnya berdasarkan Akta Reformulasi Rp 202,8 miliar. Ia tidak tahu apakah angka itu sudah termasuk bunga dan denda yang diperhitungkan pemerintah. ”Pokoknya perhitungan BPPN,” katanya.
Yang juga datang sendiri memenuhi panggilan adalah Omar Putihrai. Sedangkan Marimutu Sinivasan mengutus mantan Direktur Utama Bank Putera, Masyud Ali. ”Belum bisa disebutk-an penyelesaiannya seperti apa,” kata Masyud. Agus Anwar, yang kini bermukim di Singapura, pun hanya diwakili kuasa hu-kumnya.
Kepala Biro Hukum Depar-temen Keuangan, Hadi-anto, yang mengetuai tim kerja di bawah Kristiadi, tak berani memberikan angka perkiraan hasil titik temu itu. Tapi ia mengakui kerja timnya cu-kup berat. ”Kami tim baru, jadi harus memulainya dari awal de-ngan mencocokkan seluruh dokumen versi pemerintah dan pengutang,” katanya.
Diakui pula oleh Kristiadi, pekerjaan mereka menjadi makin berat karena banyak dokumen yang tak lengkap. Meski begitu, ditegaskannya, ”Kami tak membuka tawar-menawar.”
Y. Tomi Aryanto, Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo