KABAR itu ibarat hujan di tengah kemarau paceklik ekonomi. Ekspor Indonesia pada Oktober lalu mencapai rekor tertinggi selama dua tahun terakhir. Memang angka itu belum melampaui puncak prestasi ekspor di tahun 2000, tapi tetap saja ini berita yang melegakan. Setelah empat tahun dilanda putus asa apakah ekonomi Indonesia bisa merambat naik lagi, kabar ini menghidupkan kembali harapan yang hampir sirna. Sampai Agustus lalu, harapan belum bersemi karena ekspor nonmigas masih lebih kecil dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, mulai September 2002, ekspor tahun lalu sudah terlampaui. Departemen Perindustrian dan Perdagangan pun berani bersuara bahwa tahun ini target pertumbuhan ekspor lima persen bakal tercapai dan akan terus membaik di tahun depan.
Indikasi perbaikan ini sudah terlihat dalam dua bulan terakhir. Setelah turun terus sepanjang Juli-Agustus sampai di bawah US$ 5 miliar, mulai September ekspor kembali menanjak. Pada Oktober lalu, ekspor tercatat US$ 5,32 miliar. "Ini angka bulanan tertinggi dalam dua tahun terakhir," kata Kepala Badan Pusat Statistik, Soedarti Surbakti, awal Desember lalu. Sementara itu, dalam periode Januari-Oktober 2002, ekspor Indonesia mencapai US$ 47,8 miliar. Meskipun angka ekspor sampai Oktober lebih rendah 0,87 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu, tren penurunannya makin kecil. Juli lalu, ekspor Indonesia masih 1,25 persen di bawah tahun sebelumnya. "Kemungkinan ekspor tahun ini bisa mencapai US$ 59 miliar," kata Sudarmasto, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Angka ini melampaui ekspor tahun lalu, yang mencapai US$ 56,3 miliar.
Yang menarik, pencapaian ekspor yang lumayan ini diperoleh justru oleh produk yang memiliki nilai tambah tinggi, seperti lemak dan minyak nabati/hewani, baja dan otomotif, mesin dan alat listrik (termasuk elektronik), serta pulp dan kertas. Ekspor lemak dan minyak nabati/hewani naik sampai 82 persen dibanding ekspor tahun sebelumnya, menjadi US$ 2,14 miliar. Sebaliknya, ekspor barang-barang yang mengandalkan keunggulan komparatif Indonesia (buruh dan faktor produksi yang murah), seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) dan sepatu, justru jatuh cukup signifikan. Ekspor TPT sampai Oktober lalu tercatat hanya US$ 5,8 miliar atau turun 12,4 persen. Sepatu lebih parah lagi, anjlok 24 persen.
Melihat peta bahwa ekspor justru disokong oleh produk yang memiliki nilai tambah tinggi ini, Departemen Perindustrian dan Perdagangan makin yakin bahwa ekspor Indonesia akan terus membaik. Ditambah lagi, tren perekonomian di negara-negara yang menjadi tujuan utama ekspor Indonesia, seperti Amerika Serikat dan Jepang, juga terlihat mulai membaik. Pertumbuhan ekonomi Negeri Abang Sam diperkirakan lebih tinggi dari prediksi sebelumnya, yang hanya 2,5 persen. Jepang juga diperkirakan mampu tumbuh sedikit di atas 1,5 persen. Jika ekonomi dua negara itu pulih, Indonesia bisa tersenyum melihat angka ekspornya. Maklum, dua negara ini menyerap sekitar 37 persen ekspor Indonesia.
Benarkah senyum bisa ditebarkan sekarang? Nanti dulu. Itu baru prediksi dari institusi yang mengurus soal ekspor. Lain lagi pendapat Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia, Benny Sutrisno, dan ekonom Dradjad Wibowo, yang tak percaya ekspor Indonesia akan melampaui tahun lalu. Menurut Benny, ekspor pada September-November selalu tinggi karena belahan bumi utara seperti Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat memasuki musim dingin dan berbarengan dengan itu ada persiapan perayaan Natal dan Tahun Baru. Pada saat itu, importir ketiga kawasan itu selalu melakukan pembelian barang untuk persiapan hari-hari besar itu. "Ekspor akan kembali turun pada Desember karena barang sudah masuk toko," kata Benny.
Apalagi, ujar Benny, daya saing produk Indonesia belakangan ini makin merosot. Tingkat bunga di Indonesia rata-rata mencapai 19 persen, jauh lebih tinggi ketimbang Vietnam, misalnya, yang cuma 11,5 persen. Di luar itu, pabrikan Indonesia masih harus menghadapi tarif listrik yang terus naik tiap tiga bulan, harga bahan bakar yang makin mahal, perburuhan, sampai urusan peraturan daerah yang bejibun jumlahnya. "Banyak pemerintah daerah yang bertindak seperti penjajah dengan memajaki rakyat sebanyak-banyaknya," kata Presiden Direktur APAC Inti Corpora ini. Dengan kondisi seperti itu, sulit bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara lain.
Laporan terbaru Global Competitiveness Report 2002-2003 yang dirilis World Economic Forum pertengahan November lalu jelas menunjukkan penurunan itu. Peringkat daya saing Indonesia dilihat dari pertumbuhan ekonomi turun dari 64 ke 67 (dari 80 negara), dan dari sisi mikroekonomi anjlok dari peringkat 55 ke posisi 64. Sebaliknya, peringkat negara-negara pesaing Indonesia seperti Cina, Vietnam, Malaysia, dan Thailand justru meningkat. Bahkan Indonesia kini sudah di bawah Vietnam. Indonesia pernah menduduki posisi terbaik versi World Economic Forum pada 1997. Ketika itu, Indonesia menduduki peringkat 15 dari 53 negara yang disurvei.
Kondisi ini makin dipersuram, kata Dradjad Wibowo, kalau melihat keadaan di tingkat mikro (perusahaan). Selama setahun ini Indonesia disibukkan oleh hengkangnya banyak perusahaan asing yang kebanyakan berorientasi ekspor. Paling tidak, sampai Oktober lalu sudah ada delapan perusahaan Korea Selatan yang kabur. Dari industri tekstil dikabarkan ada 40-an perusahaan yang bangkrut. Belum lagi perginya Sony dan Matsushita. Di industri kayu pun Indonesia babak-belur karena kelangkaan bahan baku membuat biaya produksi meningkat.
Jika ukuran mikro ini yang dipakai, ucap Dradjad, Indonesia layak prihatin. "Kita lihat realisasi ekspor sampai triwulan pertama tahun depan," kata ekonom Indef ini. Kalau kenaikannya terus berlanjut, Indonesia boleh berharap ekspor akan naik terus. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, sudah seharusnya keyakinan yang berlebihan dibuang jauh-jauh. Dia menyarankan agar pemerintah memberikan stimulus fiskal dan berbagai kelonggaran agar sektor riil bisa bergerak. Menurut dia, Presiden Megawati Soekarnoputri seharusnya juga turun tangan mengatasi berbagai masalah di sektor industri. "Contohlah Korea Selatan. Di sana, presiden bertemu secara terbuka dengan para pengusaha. Keluhan pengusaha akan langsung ditanggapi," kata Dradjad. Sayangnya, Indonesia bukan Korea Selatan.
M. Taufiqurohman, Levi Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini