Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pasar Bernama Cina

8 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CARILAH tempat berdagang sampai ke negeri Cina. Negeri Tirai Bambu itu dalam beberapa tahun ke depan diyakini bakal masuk ke posisi tiga besar negara tujuan ekspor Indonesia. Ia akan menyodok dari posisinya yang saat ini ada di peringkat kelima. Padahal, selama bertahun-tahun, Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura mendominasi barang ekspor Indonesia dengan menguasai hampir separuh produk ekspor. Pertumbuhan ekonomi Cina yang sangat pesat dan arus investasi asing yang sangat deras masuk ke sana dalam beberapa tahun terakhir jelas membutuhkan pasokan energi yang sangat besar. Dan, Indonesia punya peluang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pesatnya kebutuhan energi Cina terlihat dari aktivitasnya dalam dua tender pembelian gas dalam jumlah yang sangat besar tahun ini. Provinsi Guangdong memerlukan 3 juta ton gas per tahun dan tendernya jatuh ke tangan Australia. Indonesia yang kalah di Guangdong kemudian mendapat ganti di Provinsi Fujian. Untuk itu, kilang gas Tangguh di Papua akan memasok gas 2,5 juta ton senilai US$ 340 juta per tahun mulai tahun 2007. Tak lama lagi, Provinsi Jiangshu juga bakal membeli gas 2,6 juta ton per tahun dari Kilang Badak, Kalimantan Timur. Nilainya mungkin tak berbeda jauh dari Tangguh, sekitar US$ 350 juta. Dua kontrak jangka panjang ini (25 tahun) terang akan menambah pemasukan bagi Indonesia. Selama ini pun, permintaan minyak dan gas (migas) Cina dari Indonesia sudah sangat besar. Setiap tahun, ekspor migas Indonesia ke sana mencapai US$ 600 juta. Cina hanya kalah dari Jepang dan Korea Selatan, yang membeli gas dari Indonesia senilai US$ 1,5 miliar dan US$ 1,2 miliar per tahun. Sementara itu, secara keseluruhan ekspor Indonesia ke Cina mencapai di atas US$ 2 miliar. Tahun lalu, Indonesia mengekspor US$ 2,2 miliar. Sejauh ini, berdasarkan angka resmi, Indonesia mencatat surplus rata-rata hampir US$ 400 juta. Tak hanya migas yang diandalkan Indonesia untuk menggaruk keuntungan dari pasar Cina, kini ekspor nonmigas pun sedang dipasarkan. Suatu hal yang menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Komite Cina, Sharif Cicip Sutardjo, masih ada peluang untuk ditingkatkan. Yang diandalkan antara lain kayu, pulp dan kertas, serta crude palm oil (CPO). Ketiga produk ini menguasai 60 persen barang ekspor ke Cina. "Cina banyak membutuhkan produk alam karena pasokan dalam negeri kurang, sementara permintaannya sangat besar," kata Sharif. Sayangnya, tren pertumbuhan ekspor nonmigas, terutama ketiga produk tadi, kini justru menurun. Hal seperti inilah yang seharusnya digarap dengan serius agar pundi-pundi keuangan negara membesar. Tidak seperti sekarang. Meskipun beberapa kali misi dagang dikirim ke Cina dan bahkan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati sudah berkunjung ke sana, diplomasi dagang ini belum menunjukkan hasil optimal. Ini terlihat dalam soal CPO. Indonesia cuma bisa memasok sekitar 400 ribu ton per tahun, sementara Malaysia bisa mengirim hampir empat kali lipatnya. MT, Levi Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus